Rabu, Agustus 01, 2007

Pilkada Jakarta 2007


Calon Independen, Dicari!
Oleh: Choirul Asyhar

Persaingan perebutan kursi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta dalam pilkada Agustus ini bakal seru. Karena hanya ada dua calon pasangan yaitu Adang Daradjatun–Dani Anwar yang diusung oleh PKS dan Fauzi Bowo–Prijanto yang diusung oleh keroyokan partai-partai besar plus partai-partai kecil sehingga membentuk total koalisi 20 partai politik.
Yang tak kalah seru adalah partai ‘kecil’ PKS dikeroyok oleh 20 partai besar dan kecil. Dalam pemilu 2004 PKS adalah pemenang pemilu untuk wilayah Jakarta dengan mengantongi 24% suara. Tetapi seketika menjadi sangat kecil ketika dikeroyok oleh tiga partai besar (Golkar, PDIP dan PPP) plus partai kecil yang kalau ditotal mencapai ‘representasi’ 72% suara yang diperoleh pada pemilu 2004.
Spektakuler! Sebuah partai kecil dikeroyok 20 partai besar kecil. Pasangan yang pertama dengan slogan “Ayo Benahi Jakarta” bertekad mengubah Jakarta menjadi lebih bersih, lebih peduli dan lebih bermoral. Pasangan yang kedua melawan pasangan pertama. Meskipun –menurut keyakinan penulis- bukan berarti Fauzi-Prijanto tidak setuju dengan slogan pasangan pertama tersebut. Siapa sih yang tidak setuju Jakarta lebih bersih, lebih peduli dan lebih bermoral? Pasti semua setuju. Kalau toh diam-diam tidak setuju, pasti tidak mau dikesankan sebagai kurang bersih, kurang peduli dan kurang bermoral.
Tetapi pengeroyokan ini bagaimanapun menimbulkan spekulasi bahwa pendukung Fauzi-Prijanto hendak rame-rame mempertahankan status quo. Mereka hendak mempertahankan Jakarta yang modern dengan ciri heterogen, hedonis, materialis bahkan kapitalistis. Juga sebagai kota bisnis plus hiburan malam. Termasuk mempertahankan keberadaan ‘surga’ bagi penikmat kehidupan malam dan derivatnya.
Spekulasi ini dapat dideteksi oleh pernyataan ketakutan sekelompok masyarakat penentang Adang-Dani. Misalnya, kalau PKS menang hiburan malam akan ditutup. Seakan Jakarta bukan lagi Jakarta tanpa hiburan malam. Bahkan ada yang menganggap pengeroyokan ini perlu dilakukan karena ini adalah perang ideologi. Jadi ada ideologi non-PKS di satu sisi melawan ideologi PKS di sisi lain. Apa yang dimaksud ideologi non-PKS dan apa itu ideologi PKS, tidak ada yang berani mengatakan dengan gamblang: ideologi apa melawan ideologi apa.
Perseteruan antar dua kubu menimbulkan keprihatinan kelompok lain diluar partai-partai. Entah apa sebenarnya yang diprihatinkan oleh kelompok non-partisan ini. Apakah khawatir Fauzi-Prijanto menang? Yang berarti ‘tidak akan ada perubahan’ bagi Jakarta. Alias status qou. Atau mengkhawatirkan PKS kalah? Sehingga kalau bisa hendak memecah suara pendukung Fauzi-Prijanto. Atau tidak sudi jika salah satu dari kedua pasangan itu menang, karena kedua pasangan dianggap tidak bakal bisa menyerap aspirasi kelompok non partisan ini. Karena lebih banyak membawa kepentingan parpolnya masing-masing. Maka dimunculkan kesan perseteruan ini adalah mewakili kepentingan partai-partai yang haus kekuasaan.
Karena partai membawa kepentingan politik tertentu, maka pasangan yang diusung partai dianggap tidak independen. Pasangan ini dianggap kepanjangan tangan partai politik pengusungnya, jadi pasti loyal kepada partainya. Dan karena lebih mementingkan partai otomatis tidak memikirkan rakyat.
Pasangan barupun dimunculkan sebagai jagoan baru kelompok non-partai ini. Dikesankan pasangan dari kelompok non partai ini tidak membawa kepentingan partai tertentu. Tidak memiliki agenda mementingkan masa depan partai tertentu, karena itu disebut independen. Sehingga pasti banyak waktu untuk memikirkan sebesar-besar kemakmuran rakyat karena mereka tidak haus kekuasaan. Inilah logika berfikir yang dikembangkan untuk menggiring opini masyarakat. Benarkan demikian?

Apakah Parpol itu?
Menilik namanya, partai politik adalah partai yang berorientasi politik. Politik menurut definisi ilmu politik adalah aktifitas mengerahkan segala kekuatan untuk mencapai kekuasaan. Ada definisi lain: Politik adalah siasat untuk mengatur masyarakat demi kemaslahatan masyarakat itu. Kedua definisi ini menurut penulis kedua-duanya benar. Dengan mencapai kekuasaan seorang atau sekelompok orang bisa mengatur masyarakatnya. Dengan peraturan akan tercipta kemaslahatan bersama.
Jadi tidak ada kejanggalan jika parpol berorientasi meraih kekuasaan. Justru aneh dan janggal jika parpol tidak punya keinginan berkuasa. Justru itulah maka mereka membentuk parpol. Kejanggalan lainnya adalah jika organisasi masyarakat -bukan orpol- juga punya hidden agenda mencapai kekuasaan. Jadi agar sepak terjangnya tidak diendus bermotif politik maka digunakanlah baju ormas atau LSM. Fenomena ini sudah bukan rahasia lagi. Jadi mereka ini sebenarnya mirip dengan organisasi politik bawah tanah yang berlindung di bawah nama ormas yang seolah-olah anti-politik.

Pasangan Independen
Dengan pengakuan atas parpol-parpol dan permakluman akan tujuan parpol yaitu mencapai kekuasaan itulah maka muncul undang-undang pemilu ataupun pilkada. Peraturan ini mengatur bahwa pasangan calon harus didukung minimal 15% suara yang diperoleh dari parpol saat pemilu terdahulu. Jadi peraturan ini sebagai konsekuensi logis dari pengertian politik itu sendiri. Termasuk di dalamnya pengucuran bantuan dana kampanye dan penggalangan dana masing-masing kandidat melalui parpol-parpol.
Lalu muncul wacana pasangan calon independen yang berasal dari non-partai. Karena dianggap merdeka dari intervensi kepentingan partai maka disebut independen. Tapi benarkah mereka independen, itu soal lain yang mesti dicermati. Tuduhan bahwa pasangan yang diusung parpol, tidak independen karena disetir oleh partai, maka tidak memihak rakyat, sangat tidak otomatis masuk akal jika dengan demikian lalu dimunculkan logika baru: pasangan non-partai berarti independen dan berarti memihak rakyat.

Benarkah Mereka Independen?
Kalau pasangan Adang-Dani didukung PKS, Fauzi-Prijanto didukung koalisi 20 partai, lalu siapa pendukung pasangan independen? Ormas, LSM, paguyuban-paguyuban MTO (masyarakat tanpa organisasi), OTB (organisasi tanpa bentuk) dan lain-lain. Memang mereka bukan parpol, tapi bukan berarti tanpa kepentingan. Bahkan meskipun bukan parpol, tidak mustahil mereka punya kepentingan politik. Buktinya mereka mengusung calon –yang katanya- independen itu untuk mencapai kekuasaan politik yaitu menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta.
Belum lagi jika pengusaha dan konglomerat turun tangan ikut mendukung mereka. Pasti tidak hanya dukungan kosong, dana, daya, bahkan –bisa jadi- darah pasti ikut digelontorkan. Lalu pesan sponsor politikus ekonomi ini disisipkan kepada calon independen. Jika demikian maka bisakah pasangan itu nanti jadi pemimpin yang independen?
Tambah runyam jika tangan asing ikut turun dalam percaturan perebutan jabatan gubernur dan wakil gubernur ini. Lalu independen yang bagaimana yang bisa dilakonkan oleh pasangan independen ini. Independen dari parpol, tapi tidak dari kepentingan-kepentingan lain yang justru jauh lebih banyak dan macam-macam. Jadi calon independen akan menjadi anak panah liar yang melesat dari busur gaib.
Bagaimana dengan keberpihakan kepada rakyat? Ya, sama sulitnya dengan menebak keberpihakan para calon yang diusung partai politik. Kalau pasangan calon dukungan parpol dianggap sibuk membawa agenda parpol, ‘pasangan independen’ bisa jadi malah lebih sibuk memperjuangkan aspirasi sponsor-sponsor gaibnya.
Hanya saja untuk menilai pasangan calon dukungan parpol kita bisa melacak track record parpol pendukungnya. Tidak demikian dengan calon independen. Kita sulit melacak track record backing-backing nya. Disamping karena jumlahnya banyak, juga tidak jarang tidak tampak oleh mata telanjang alias gaib juga. Kalau pasangan calon dukungan parpol setelah terpilih ternyata menyimpang, kita bisa mengarahkan telunjuk kita kepada parpol pendukungnya. Tapi jika pasangan independen terpilih kemudian menyeleweng, kemana telunjuk kita harus diarahkan? Karena rakyat telah kehilangan jejak.

Tidak ada komentar: