Rabu, April 28, 2010

Kalau L/C jadi Dokumen Politik

Kasus L/C ”fiktif” banyak dihembus-hembuskan polisi, politikus, media berita dan lain-lain. Tidak ada penjelasan yang lengkap apa bagaimana L/C fiktif itu. Hal ini membawa ingatan saya saat pertama kali belajar L/C lebih dari 15 tahun yang lalu. Dikatakan dalam buku, bahwa L/C (singkatan dari Letter of Credit) adalah suatu jaminan pembayaran dari bank dalam perdagangan luar negeri. Atau perdagangan ekspor impor.

Dalam perdagangan tanpa L/C, pembeli langsung membayar kepada penjual. Jadi harus ada kepercayaan satu sama lain. Misalnya Anda akan membeli barang dari penjual di luar negeri. Kalau penjual percaya kepada Anda, maka dia akan kirim barang meskipun Anda belum bayar. Tetapi jika dia tidak percaya, dia akan minta Anda bayar dulu baru barang dikirim. Kini giliran Anda yang khawatir: ”Kalau saya bayar ternyata barang gak dikirim gimana, dong?” Maka jika tidak ada yang mau mengalah, dua-duanya ragu maka transaksi jual beli tak akan terjadi.

Karena itu bank menjembatani dengan menerbitkan L/C. Jadi Anda cukup memohon kepada banker Anda untuk membukakan L/C untuk Anda. Isinya kurang lebih: Anda akan membeli barang tertentu sekian unit dengan harga sekian kepada penjual Anu dengan alamat lengkap. Tak hanya itu disitu tercantum pengiriman dengan kapal atau pesawat terbang, tanggal berapa terakhir harus dikirim. Boleh dikirim parsial atau harus sekaligus dalam satu pengiriman. Yang terakhir Anda mencantumkan tanggal kadaluarsa L/C tersebut. Artinya jika melewati tanggal tersebut L/C sudah tak berlaku lagi. Jadi jika penjual tidak mengirim barang pada tanggal yang ditentukan, atau membiarkan L/C sampai kadaluarsa, berarti transaksi tak terjadi.

Setelah banker Anda menerbitkan L/C maka banker Anda menyampaikan L/C ini ke bank korespondensinya di negara asal penjual di luar negeri. Biasanya bank korespondensi ini adalah bankernya si penjual. Lalu bank di luar negeri ini akan menyampaikan kepada si penjual. Begitu menerima L/C ini maka penjual menyiapkan pengiriman barang.

Setelah barang dikirim, penjual akan menyetorkan dokumen-dokumen bukti pengiriman barang kepada bankernya di negaranya. Dokumen itu adalah Bill of Lading yang dikeluarkan oleh perusahaan pelayaran penerima titipan barang penjual. Atau Airway bill jika penjual mengirimkan melalui pesawat terbang. Selain dokumen itu biasanya ada dokumen Invoice yang berisi nilai barang, Packing List yang berisi kemasan barang, serta dokumen-dokumen lain yang diminta dalam L/C. Sebagai pembeli, Anda biasanya mencantumkan syarat selain tiga dokumen itu, juga dokumen-dokumen lain yang biasanya disyaratkan oleh negara kita. Misalnya untuk produk makanan, ada dokumen Phitosanitary Certificate, Country of Origin, sertifikat fumigasi dan lain-lain.

Sepanjang dokumen yang diminta di dalam L/C itu lengkap, maka banker si penjual di luar negeri akan membayar nilai barang itu kepada penjual atau pengirim barang. Lalu banker si penjual akan menagih pembayaran kepada banker Anda di Indonesia. Dan pada gilirannya Anda akan ditagih membayar oleh banker Anda.

Sampai disini kita akan paham bahwa L/C adalah dokumen bisnis yang dikeluarkan oleh bank. Kalau ada yang fiktif siapa yang diuntungkan?

Sampai saat ini saya belum menemukan penjelasan bagaimana L/C itu bisa disebut fiktif. Maka saya bertanya-tanya apa untungnya importir ”membuat” L/C fiktif, kan dia yang beli. Kalau dia beli barang yang tak pernah ada, berarti dia akan ditagih pembayaran oleh bankernya. Apa untungnya?

Kata Bea Cukai, impor barang itu tak pernah ada. Kalau demikian berarti bank tidak membayar apapun kepada pengirim barang. Jadi siapa yang dirugikan?

Saya ingat beberapa kali saya menerima L/C dari pembeli di luar negeri, tapi karena produksi sedang jatuh, kami tidak bisa memenuhi order yang diminta di L/C. Akhirnya kami hanya gigit jari karena melewatkan peluang ini. Pembelipun akhirnya maklum dan memutuskan untuk membeli ke produsen lain. Kalau pembeli tetap ngotot mau beli dari kami, dia tinggal minta banker nya untuk mengamandemen tanggalnya. Atau mengeluarkan L/C baru. Gitu aja....

Jadi sepuluh tahun lebih berkecimpung dengan L/C, kami tidak pernah dipersoalkan jika akhirnya transaksi tak terjadi. Tidak jadi ekspor bukan berarti L/C yang saya terima fiktif.

Kalau ada yang dirugikan itu adalah pembeli, yang sudah capek menunggu barang. Dan penjual sendiri yang tidak jadi dapat untung karena tak jadi menjual barangnya. Ini namanya opportunity loss. Tapi ini wajar saja. Karena L/C memang murni dokumen bisnis.

Kalau L/C sudah jadi dokumen politik muncullah hal-hal yang aneh-aneh.

Ada yang bisa menambah informasi? Sehingga saya jadi paham kenapa gonjang-ganjing ini terjadi?

Cikarang Baru, 12 Jumadil Ula/ 27 April 2010