Kamis, Agustus 30, 2007

Bulan Itu Datang Lagi

Oleh: Choirul Asyhar

Aku lupa umur berapa aku memasuki usia aqil baligh. Anggap saja umur 15 tahun. Berarti sudah 26 kali aku menjalani kewajibanku melaksanakan shaum Ramadhan. Dua puluh enam kali bukanlah jumlah yang sedikit untuk mengangkat derajatku menjadi manusia bertaqwa. Manusia yang paling mulia. ”Inna akramakum ’indallaahi atqaakum” Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa di antara kalian.

Tapi di bulan Sya’ban ini, di mana separuh awal telah kita lewati, aku belum apa-apa dari kalimat taqwa itu sendiri. Empat belas hari lagi aku akan memasuki tahap ke-27 penggemblenganku menjadi manusia taqwa. Seingatku, paling tidak sepuluh tahun terakhir aku selalu bersemangat menyambutnya. Mempersiapkan diri agar aku lulus menjalani training Ramadhan ini.

Kusiapkan fisik, dengan berlatih melaksakan puasa sunnah Senin-Kamis. Sayang persiapan sering terganggu dengan kesenangan duniawi. Karena ngobrol lama sepanjang malam Senin atau malam Kamis, sering membuat aku tak terbangun sahur. Sehingga puasaku gagal esok harinya. Akhirnya latihanpun seadanya. Kadang puasa Senin saja, kadang Kamis saja. Kadang full Senin-Kamis dalam sebulan, tapi sering Cuma tiga-empat hari saja.

Kusiapkan juga ruhiyahku. Alhamdulillah di masjid-masjid mulai banyak diadakan kajian tarhib Ramadhan satu atau dua bulan sebelumnya. Ilmu tentang ibadah Ramadhan di ajarkan di dalamnya. Semangat ruhiyah menjalani Ramadhan lebih baik dari tahun kemarin senantiasa muncul setiap tahun. Tapi pelaksanaanya selalu harus di kawal kiri kanan agar tak luntur di tengah jalan.

Untuk melatih ketahanan semangat sholat lima waktu di masjid dan shalat tarawih selama Ramadhan, aku juga harus mencanangkan tekad sholat lima waktu di masjid dan sesekali tahajud semaksimal mungkin. Tanpa latihan, mustahil tiba-tiba kita mahir selama Ramadhan nanti.

Tilawah Al Qur’an juga harus dilatih lebih kenceng, kalau mau berhasil mengisi hari-hari sepanjang Ramadhan dengan tilawatul Quran. Karena kita tahu bulan Ramadhan disebut juga dengan syahrul Quran. Bulan di turunkannya Al Quran. Aku selalu bertekad menghatamkan Al Quran minimal sekali dalam bulan Ramadhan ini. Karena itu mulai beberapa bulan yang lalu, tak ada nyala cahaya warna warni dari tabung TV di rumahku. Karena acara TV ini yang sering membuat kita gagal mencapai tujuan-tujuan ruhi.

Kesiapan financial. Ini kata ustadzku juga harus disiapkan. Dalam sebuah hadits disampaikan bahwa selama Ramadhan Rasulullah bersedakah seperti angin yang bertiup kemana-mana setiap saat. Ini menggambarkan, beliau cepat sekali mendistribusikan hartanya sebagai sedekah. Seakan tak ada waktu bagi hartanya untuk ngendon di pundi-pundi hartanya. Tak ada deposito. Apalagi yang berjangka panjang. Karena bagi beliau salallahu’alaihi wasallam, harta miliknya adalah harta yang telah diinfakannya. Dengan infak dia telah menabungnya di akhirat, melalui teller-teller kaum miskin, fakir, dan anak yatim. Yang tidak diinfakkan, bukanlah milik kita karena setiap saat bisa hilang digondol maling. Yang didepositokan bisa dibawa kabur bankernya ke Singapur. Yang ditanamkan sebagai modal usaha bisa lenyap karena krismon dan lesunya dunia usaha.

Subhananallah. Kesiapan ini yang sangat sulit aku miliki. Meski tak banyak, aku masih punya uang untuk diinfakkan. Tapi secepat angin yang menerobos ke segala penjuru relung-relung kantong-kantong fakir-miskin-yatim? Bisakah aku? Teller-ku masih di perutku, keluargaku, renovasi rumahku, motor baruku, asuransi keluargaku, usaha baruku, baju lebaranku, buka puasa yang enak-nikmat-mewah di rumahku, persiapan mudikku dan angan-anganku, dan angan-anganku, dan angan-anganku lainnya

Oh, deposito Muhammad Rasulullah Salallahu ’alaihi wa sallah ternyata berjangka sangat panjang sampai masa keabadian di sisi Allah. Depositonya tak bisa ditarik. Bukan tiga bulan, enam bulan, atau satu tahun. Tapi sampai masa jatuh temponya tiba. Bertemu muka dengan-Nya di surga. Depositoku .... tak tahulah aku kenapa aku menyimpannya di situ.

Tidak! Aku sudah tahu sebabnya. Iman yang tipis menakut-nakutiku melihat masa depan. Itulah jawabannya. Maka sekali lagi aku bertekad dalam tarbiyah ke-27 bulan Ramadhanku ini aku ingin meningkatkan imanku itu. Kalau sampai mencapai taqwa, pastilah itu karena karunia Allah yang tak terkira semata.

La’allakum tattaqun..... Menjadi angan-anganku berikutnya. Oh, indahnya menjadi manusia mulia di sisi-Nya.

Allahumma bariklanaa fii Sya’ban wa ballighnaa Ramadhan.

Cikarang, 17 Sya’ban 1428/30 Agustus 2007

Rumah Untuk Rakyat

Tanggal 28 Agustus 2007 ada peresmian 4500 rumah untuk pekerja di Kompleks Kota Serang Baru, Cikarang. Saya, pak RW 07 Cikarang Baru dan seorang Ibu pengurus majlis taklim di wilayah kami mendapat undangan menyaksikan acara ini. Tidak tanggung-tanggung acaranya. Yang mengundang bukan pihak pengembang tapi Kementrian Perumahan Rakyat. Yang meresmikan juga pejabat nomor wahid negeri ini. Siapa lagi kalau bukan Presiden SBY.

Dalam sambutannya, Pak SBY mendorong pengusaha perumahan atau pengembang agar terus membangun rumah bagi rakyat setingkat rumah sederhana sehat (RSS), agar para buruh dapat hidup tetang dan tentram di rumahnya sendiri. Beliau juga menyampaikan bahwa untuk keperluan itu tahun ini pemerintah memberikan subsidi bagi rumah sederhana sehat (RSS) sebesar 300 milyar rupiah. Dan tahun depan subsidi ditingkatkan hampir 300% menjadi 800 milyar rupiah.

Wow, subsidi? Terlintas pertanyaan dalam hati: kok di Cikarang harga jual rumah tipe 21 dengan luas tanah 60 m2 masih berkisar 50 jutaan. Ini adalah harga biasa. Malah kalau pengembang menjual tanah saja dan kita membangun sendiri, dengan uang sebanyak itu insya Allah akan mendapatkan rumah yang sedikit lebih baik kualitasnya. Tapi buruh mana punya uang kontan untuk membangun sendiri. Wal hasil dapatlah rumah kredit dengan kualitas seadanya. Jadi siapa yang merasakan subsidi itu? Jangan-jangan pengembang perumahanlah yang mendapatkannya karena mereka menjual dengan harga pasar dengan kualitas seadanya.

Dalam brosur-brosur penjualan rumah, disebutkan bahwa subsidi dalam bentuk bunga bank yang lebih kecil daripada rumah tipe 45 ke atas. Jadi selisih bunga itulah yang akan ditalangi oleh pemerintah kepada bank penyedia dana. Oh, terima kasih Pak SBY dengan subsidinya. Tapi apakah mencapai sasaran?

Dalam perjalanan pulang, saya bertemu seorang guru teman istri saya. Dengan anggapan saya banyak duit (Alhamdulillah, semoga anggapan ini menjadi doa bagi saya. Amin), dia mengompori saya untuk membeli 3 unit untuk membuka usaha sekolah TK. Praktek demikian memang sudah lazim dilakukan oleh para pengusaha. Toko material sering membeli 2-3 rumah di sudut yang sering ada kelebihan tanahnya. Jalan-jalan strategis sudah diborong pengusaha retail dan rumah makan sehingga 1-2 tahun kedepan disulap fungsinya menjadi pertokoan.

Pengembang sering tutup mata terhadap hal ini. Bahkan cenderung menyambut baik. Dengan banyak berdirinya pertokoan ini, maka warga akan mudah mendapatkan barang-barang kebutuhannya. Warga tidak perlu keluar perumahan untuk belanja kebutuhan sehari-harinya. Belum lagi jika investor minimarket waralaba mulai menjejakkan kakinya. Warga akan beruntung mendapatkan barang berkualitas dengan harga murah plus hadiah-hadiah pada even-even khusus.

Pengusaha ini pasti membeli rumah dengan harga yang sama dengan harga rumah untuk buruh pabrik itu. Jadi mereka juga menerima subsidi yang diberikan pemerintah. Subsidi yang semestinya untuk buruh dan rakyat yang uangnya pas-pasan. Bukan untuk mereka yang sebagain di antaranya membangun tokonya ini bukan sebagai toko pertama. Di mana ada perumahan baru dibuka, mereka segera menjadi pembeli pertama di jalan-jalan protokol.

Bagaimana pengembang tidak tutup mata terhadap kedatangan mereka. Pengembang jualan rumah. Dan mereka adalah pembeli rumah. Mana ada penjual menolak pembeli. Apalagi keberadaan pengusaha-pengusaha ini justru dapat menarik pembeli-pembeli rumah selanjutnya. Rumah-rumah jadi laku terjual. Maka tak heran jika sebentar lagi akan terpasang spanduk di pintu gerbang yang mengumumkan bahwa rumah-rumah tahap I telah terjual habis dan pembangunan tahap kedua segera dimulai. Plus himbauan: Segera booking sebelum harga naik!

Kalau toko-toko suka mempromosikan bahwa harga barangnya turun, demi menarik pembeli. Tidak demikian dengan pengembang rumah. Mereka justru menjadikan kenaikan harga sebagai alat promosi untuk menarik pembeli. Lalu kalau harga rumah naik, maka apalah arti subsidi itu.

Para pengusaha yang mengambil hak rakyat untuk mendapatkan rumah murah itu, bukan saja merebut hak rakyat, tapi justru menaikkan harga rumah rakyat. Maka yang belum kebagian pada pembagunan tahap pertama, akan gigit jari pada tahap selanjutnya.

Jadi pemerintah harus mencari jalan, bagaimana agar subsidi yang dikucurkan benar-benar dinikmati oleh rakyat. Bukan oleh pengembang dan pemilik toko. Terlintas dalam benak saya, kalau untuk mendapatkan keringanan biaya rumah sakit, pasien harus membawa surat miskin. Tidak ada salahnya juga untuk mendapatkan rumah rakyat harus melampirkan surat sejenis pada aplikasi kreditnya.

Cikarang Baru, 30 Agustus 2007

Rabu, Agustus 29, 2007

Serial Peluang Korupsi - 4:

Di Pabrik (3)

Di Bagian Logistik bisa juga hal ini terjadi. Banyak perusahaan cargo dan freight forwarder dimiliki oleh beberapa manajer logistik dari beberapa perusahaan asing. Seorang Manajer Bagian logistic PT. XYZ bersama dengan Manajer Bagian Logistik PT. MNO dan Manager Bagian logistic PT. RST plus seorang praktisi freight forwarding berkongsi mendirikan perusahaan freight forwarding. Apa yang terjadi? Minimal semua aktivitas ekspor impor ketiga PT itu diserahkan pengelolaannya kepada freight forwarder milik ketiga manager tadi. Wow, uenaak tenaannn……. Ketika menjadi asisten manajer logistic saya pernah ditawari kongsi semacam ini oleh seorang rekan yang sudah malang melintang di dunia freight forwarding. Saya menolak karena terbayang betapa kepala saya akan pusing ketika harus memutuskan vendor yang harus menangani aktivitas ekspor impor yang saya komandani, karena konflik kepentingan yang berkecamuk di kapala saya.

Komisi, uang terima kasih, hadiah, profit sharing, apapun namanya selalu jadi hantu yang menyenangkan bagi siapa saja yang menduduki jabatan sebagai pembuat keputusan. Baik itu di instansi pemerintah maupun perusahaan swasta. Baik itu kepala bagian maupun petugas lapangan. Baik itu berhubungan langsung maupun tidak langsung asal masih bisa dihubung-hubungkan.

Hantu yang menyenangkan? Ya. Saya sebut hantu karena selalu terjadi di ’kegelapan’. Pembicaraan gelap di ruang tertutup, hubungan gelap melalui telepon yang penuh dengan kusak-kusuk, transfer gelap ke rekening gelap. Tapi menyenangkan, karena semua kegelapan itu berarti uang. Yang meskipun kadang-kadang jumlahnya tidak banyak, tapi mampu menggenapkan yang sedikit menjadi banyak. Rumah kontrakan menjadi milik. Kamar kumuh menjadi kamar mewah. HP butut menjadi bluetoeth. Motor kredit menjadi lunas. Mobil tua menjadi muda kembali. Warung tetangga yang hampir bangkrut diakuisisi jadi garasi mobil. Kubangan becek di belakang rumah menjadi kolam renang. Pekarangan dan rumah tetangga menjadi lapangan tennis.

Ternyata transaksi B to B beranak menjadi transaksi B to P (Business to Person) atau bahkan P to P (Person to Person). P to P terjadi ketika seorang sales merelakan sebagian komisi penjualan yang diterimanya untuk diberikan kepada penanggungjawab dari pihak pembeli. Karena kalau tidak demikian dapurnya tidak bisa mengepul karena sales itu hidup dari komisi penjualan.

B to P terjadi karena Perusahaan supplier telah mafhum bahwa bertransaksi dengan perusahaan lain, jika mau langgeng harus dilakukan pendekatan personal dengan menejernya atau siapapun yang menjadi decision maker. Istilah teman saya yang pengusaha palet kayu, harus ada dana untuk me-maintain orang dalam agar paletnya bisa langgeng diterima di dalam. Besarnya bisa 5% dari nilai invoice. Jadi syarat barang bisa masuk dalam teori marketing disamping quality, quantity, delivery, payment term juga ada maintainance fee. Susunan urutan ini tidak mencerminkan prioritas. Bisa jadi maintenance fee menjadi kunci pembuka, yang selanjuti diikuti dengan payment term, delivery, quantity dan quality. Atau apapun yang penting maintenance fee ada diurutan pertama. Karena itu harus dibahas di depan agar tidak kecele di kemudian hari.

Siapa yang kecele? Bisa supplier bisa juga buyer.
Supplier yang alergi dengan maintenance fee biasanya tidak mau membicarakan hal ini, karena khawatir bisnisnya akan gagal sebelum order pertama. Dia menghindari pembicaraan menyerempet ke hal-hal ini. Kalau toh ada biasanya dengan bahasa yang abu-abu. Tidak tegas ada atau tidak.

Buyer yang ‘malu-malu’ juga demikian. Kalau malu saja bolehlah dipertahankan karena malu itu sebagian dari iman. Karena malu jadi tidak minta. Rasa malunya membuatnya terhindar dari permintaan uang hangat ini. Rasa malu membuat dia bersih.

Tapi kalau malu tapi mau membuat buyer tidak berani blak-blakan. Sindiran sering terlontar agar suplier dengan antenanya yang bagus bisa menangkap sinyal-sinyal yang dikeluarkan dari mulut si buyer. Sayangnya supplier meskipun antenanya bagus dan sudah menangkap signal maksud supplier, pura-pura tidak bisa menangkap sehingga jawabannya masih belum nyambung.

Walhasil, jika demikian setelah transaksi bisnis kedua-dua akan kecele. Supplier kecele karena apa yang selama ini dianggapnya berhasil memasarkan barang tanpa maintenance fee, terkaget-kaget ketika saat invoice dicairkan ternyata buyer minta persenan.
Buyer juga bisa kecele, karena bisa jadi ternyata supplier yang menurutnya sudah mengerti bahasa sandinya, ternyata benar-benar (pura-pura) tidak faham sehingga tidak ada persenan yang masuk ke kantong buyer.

Jika salah satu di antara dua ini terjadi maka supplier jangan harap akan ada repeat order, karena buyer pun juga telah sesumbar dengan kalimat yang sama, ”awas lu, jangan harap ada repeat order”. Meskipun kalimat ini hanya ada dalam hati tapi itu bisa terealisasi.

Saya pernah mengalami hal ini ketika menjadi supplier produk pendidikan ke sebuah koperasi sekolah. Ketika melakukan transaksi B to B ke koperasi, sudah disepakati adanya profit sharing dengan lembaga koperasi. Hal ini dilakukan karena koperasi adalah lembaga profit center juga. Tapi setelah transaksi ternyata pengurus juga minta bebarapa persen setelah invoice cair. Jadi saya tidak menerima pembayaran senilai invoice yang saya buat. Karena sudah dipotong untuk pengurus koperasi sekolah. Jadi profit selain diterima oleh koperasi yang nantinya menjadi SHU yang dibagikan kepada anggota, juga ada profit lain yang tak dibukukan yang masuk ke kas pengurus sebagai individu-individu. Maka itu ada yang bilang koperasi apapun semuanya KUD juga. Ketua Untung Duluan. Saya tersinggung karena saya juga pernah jadi ketua sebuah koperasi karyawan. Jangankan untung malah pemakaian pulsa HP saya nambah karena harus sering menggunakan HP untuk menghubungi supplier maupun anggota dalam kegiatan saya.

Karena itu maintenance fee harus dibicarakan di awal sebelum transaksi pertama dilakukan. Ada atau tidak. Kalau buyer ngotot harus ada maintenance fee maka supplier dapat segera memutuskan. Go ahead atau go back! Kalau keduanya faham dan sepakat tidak perlu ada maintenance fee, maka bersyukurlah bahwa transaksi bisnis yang murni bakal terealisasi. Memang kesepakatan yang kedua ini sudah langka, tapi insya Allah masih ada di jaman sekarang ini. Dan semoga makin tumbuh dan berkembang karena meningkatnya kinerja KPK. Dan seiring itu bertumbuhanlah pula rasa malu yang berarti bunga-bunga iman sudah mulai bermekaran di taman hati para eksekutif.

Selasa, Agustus 21, 2007

Tangan di Atas


Oleh: Choirul Asyhar

Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Demikian salah satu ajaran Islam, demi memotivasi agar umatnya lebih banyak menjadi pemberi. Dan sebaliknya malu menjadi penerima. Apalagi sebagai peminta-minta. Bertebaran ayat Al Quran mengajarkan agar kita menginfakkan sebagian rizki kita. Bahkan hampir selalu berdampingan dengan perintah menegakkan sholat. Sebuah kewajiban yang identik dengan Islam itu sendiri. Meskipun banyak muslim yang tak sholat akan marah bila disebut kafir. Padahal Rasulullah mengatakan yang membedakan muslim dan kafir adalah sholatnya.

Kembali ke laptop! Eh... kembali ke topik. Berarti memberi adalah suatu amalan yang tinggi derajatnya. Karena perintahnya selalu disandingkan dengan perintah sholat.
Tapi betapa banyak kita tak peduli dengan ajaran ini. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Banyak pengemis di mana-mana. Di perumahan pengemis banyak berdatangan. Hampir setiap hari 2-3 pengimis mampir ke rumah saya. Apalagi kalau kita beri beberapa rupiah, bisa dipastikan besok atau lusa akan datang lagi.

Rasulullah mengatakan mengemis diperbolehkan jika benar-benar tidak ada yang dimakan untuk hari ini. Artinya boleh dalam keadaan darurat saja. Jadi tidak boleh dijadikan profesi. Apalagi sampai-sampai dengan mengemis bisa menabung, membiayai kebutuhan lainnya, bahkan membangun rumah.

Ngomong-ngomong membangun rumah, kabarnya di salah satu sudut Jawa ada desa yang sebagian besar penghuninya berprofesi sebagai pengemis di kota. Tapi kalau kita mampir ke sana, kita akan berdecak kagum. Ternyata rumah-rumah mereka di sana jauh lebih luas dan indah dibandingkan rumah kita sendiri yang sering mereka kunjungi.

Ada satu lagi gejala baru. Tidak hanya rumah pribadi yang dibangun dengan mengemis. Banyak rumah Allah yang dibangun dengan mengemis di jalanan. Panitia menyebar petugas-petugas yang siap dengan jaring untuk menangkap uang yang dilempar oleh pengemudi dan penumpang mobil yang lewat di jalan raya. Tidak jauh dari tempat mesjid akan dan sedang dibangun, di sana juga ada seorang yang bertindak sebagai MC untuk menyampaikan maksud dan tujuan diadakannya ‘jaringan amal’ ini. Serta menyemangati pengguna jalan untuk beramal dengan segala imbalan do’a-do’anya.

Anda sedang memasuki daerah Jaringan Amal. Kalimat ini memang pernah saya baca ketika melintasi sebuah daerah di pantura. Saya kaget istilah apa pula ini. Teman saya memelesetkan dengan Amal Network. Padahal maksud jaringan adalah menangkap sedekah yang dilempar oleh pengendara mobil dengan sebuah jaring yang biasa dipakai anak-anak untuk menangkap kupu-kupu itu.

Mengemis atau tangan di bawah ternyata tidak Cuma dilakukan oleh orang miskin (yang lalu jadi kaya) dan panitia pembangunan masjid. Di banyak tempat juga banyak pengemisnya. Di kantor-kantor pemerintah maupun di kantor swasta.

Ketika memasuki kantor kelurahan, siapkan uang kecil sebagai uang lelah pak sekdes mengetik surat. Kalau tidak dikasih, kemungkinan besar –saya tidak berani mengatakan ‘pasti’- beliau cemberut. Kata anak muda, ”minta sih enggak, tapi kalau nggak ngasih ‘awas lo!”. Di kantor kecamatan juga demikian. Mengurus KTP, kita tidak bisa memberi uang sekedarnya. Meskipun itu berarti 5-10 ribu yang berarti sudah lebih dari biaya sebenarnya. Sudah ada tarip tak resmi tapi besarannya pasti. Kalau ini jelas-jelas diminta oleh petugas. Di kantor polisi ketika melapor kehilangan dompetpun, kita diminta uang administrasi. Padahal uang kita sudah hilang bersama dompetnya. Di kantor bea cukai apalagi. Setiap dokumen berarti uang. Mengeluarkan barang minta uang, memasukkan barang minta uang.

Di kantor swasta juga banyak pengemis. Kalau mau dagangan kita dibeli, bagian pengadaan barang minta komisi. Tidak ada komisi, tidak ada repeat order.

Tapi yang menggembirakan adalah adanya komunitas yang semangat untuk menjadi tangan di atas. Saking semangatnya bahkan karyawan atau buruh yang terima gaji bulanan itu disebut kelompok tangan di bawah. Karena selalu menerima uang dari majikan setiap bulan. Bayangkan, menerima gaji setiap bulan sebagai hak saja disebut kelompok tangan di bawah. Apalagi yang sengaja minta-minta pungli dan komisi. Entah apa mereka menyebutnya.

Mental tangan di bawah apalagi yang berarti mengemis, malak, minta komisi, pungli dan sebagainya harus sedikit demi sedikit dikikis. Diganti dengan mental beramal, berikhtiar dan berdo’a. Selalu memberi. Tidak selalu meminta. Dengan menyebut komunitas tangan di atas mereka punya cita-cita menjadi orang yang menggaji. Bukan lagi jadi orang yang terima gajian setiap bulan. Mereka pengen menjadi pengusaha yang menebar rahmat bagi umat. Apa ada? Lihat aja di: http://www.tangandiatas.com/.

Semoga Allah selalu membimbing mereka menggapai cita-cita mulia.

Cikarang Baru, 21 Agustus 2007

Senin, Agustus 20, 2007

Uang BOS

Oleh : Choirul Asyhar

Sejak kepemimpinan Presiden SBY, di dunia pendidikan ada istilah Uang Bos. Tentu maksudnya bukan Bos dalam arti juragan, pemilik pabrik, pejabat, tauke, pengusaha dan sejenisnya. Tapi maksudnya adalah Bantuan Opersional Sekolah. Uang ini diberikan oleh pemerintah sebagai konpensasi kenaikan harga BBM. Jadi subsidi harga BBM dicabut lalu dialihkan kegunaannya diantaranya untuk bantuan operasional sekolah ini.

BOS diberikan kepada sekolah-sekolah. Jumlahnya sebanding dengan jumlah muridnya. Jadi uang yang diterima setiap sekolah adalah perkalian dari sejumlah uang tertentu dengan jumlah total murid setiap sekolah. Jadi setiap sekolah menerima uang BOS sejumlah itu. Untuk SD menerima Rp 19.000 x jumlah murid sekolah tersebut. Atau setiap murid SD menerima 19.000 rupiah per bulan.

Untuk SD swasta uang tersebut bisa dipakai untuk mensubsidi SPP siswa yang rata-rata di atas 75.000 per bulan. Untuk SD Negeri karena SPP-nya gratis, uang BOS bisa digunakan sebagai pengganti uang POMG, sumbangan ini-itu, uang buku dan lain-lain. Seperti diketahui umum meskipun katanya sekolah gratis, SD Negeri ternyata tidak sepi dari tarikan biaya ini itu. Jadi gara-gara si BOS, murid sekolah atau orang tuanya bisa bernapas lebih lega. Semua mendapat bantuan BOS sehingga dana untuk bayar sekolah bisa dipakai untuk menambah belanja bumbu dapur dan lauk-pauk di rumah.

Tapi dasar BOS, memberi sesuatu tapi penggunaannyapun ditentukan. Tujuannya agar tidak salah pakai atau disalahgunakan. Misalnya untuk memperbaiki dapur rumah guru. Itu sangat menyimpang, meskipun gara-gara dapur rumah guru bocor, bu guru jadi tidak nyaman masaknya, sehingga masakannya masih setengan matang, lalu bikin sakit perut kalau dimakan, selanjutnya guru tidak bisa mengajar karena berbaring sakit. Akibatnya murid di sekolah memperpanjang jam main bolanya karena kelasnya tidak dihadiri guru.

Belakangan, di Kabupaten Bekasi, uang BOS serentak dipakai untuk mensubsidi harga buku yang selama ini terkenal mahal karena penerbit ambil untung 50% lebih. (Sssst.... ini sih katanya juga untuk kesejahteraan guru, karena yang 30% dikembalikan untuk guru yang capek-capek mengepak buku untuk murid-muridnya. Sssstt..... lagi.... 10% untuk oknum kepala sekolah atau bagian pengadaannya yang tanpa persetujuannya penerbit Anu tidak akan bisa menjual bukunya langsung ke sekolah).

BOS datang maka orang tua sedikit terbantu dengan masalah harga buku. Paling tidak ada satu atau dua buku gratis. Karena sudah dibayar dengan uang si BOS. Agar uang BOS yang sedikit itu bisa dapat buku murah maka Diknas menjalin kerjasama dengan penerbit untuk mendapatkan harga khusus. Akses langsung penerbit buku ke sekolah dikurangi. Juga sebaliknya akses sekolah langsung ke penerbit juga berkurang. Paling tidak dari 12 buku per anak, tinggal 10 buku yang dijual oleh sekolah. Dua gratis, karena sudah dibayar oleh Diknas menggunakan uang BOS.

Orang tua murid senang, guru tersenyum meski agak kecut. Bisa karena omset kurang, bisa juga karena kualitas isi buku gratis itu kurang bagus. Ada penerbit-penerbit anyar muncul sebagai rekanan Diknas dalam pengadaan buku gratis itu. Gurupun bertanya-tanya apa criteria pemilihan buku atau penerbit tersebut.

Untuk menjembatani hal-hal yang kurang sehat, Diknas yang bijaksana membolehkan sekolah memilih sendiri buku gratisnya. Deal dengan penerbit dengan harga BOS. Nanti bukti pembayarannya ditukarkan dengan uang BOS di kantor Diknas. Bagus… Transparan… Harga juga terkontrol sehingga sekolah tidak main mark up harga.

Dengan kesepakatan itu maka di Cikarang ada seorang kepala sekolah yang dikenal jujur dan lurus melaporkan pembeliannya kepada kantor Diknas untuk ditukar uang BOS. Seharusnya semuanya lancar jika kesepakatan diikuti. Tapi petugas menolak, karena nama penerbit buku yang dibeli sang kepala sekolah tidak ada dalam list kantor Diknas. Sang kepala sekolah baru tersadar ternyata ada kesepakatan lain yang harus diteken antara penerbit dengan kantor Diknas.


Cikarang, 31 Juli 2007

Pertaruhan Menentang Tuhan

(renungan buat pengidap Sipilis)

Oleh: Choirul Asyhar

Sekelompok orang pintar berkata
Dengan akal ciptaan Allah Tuhan seluruh alam semesta
Bahwa Allah telah mengutus Jibril membawa wahyu Nya
Namun Jibril salah alamat menyampaikannya
Lalu penerima wahyu yang disebut Nabi itu salah kutip pula
Maka Quran tidak steril dari salah omong Sang Nabi
Karena itu dia bukan lagi kitab suci
Jadilah Islam bukan agama paling benar
Lalu semua agama baik dan benar adanya
Sebenarnya takut berkata semua agama salah
Bahkan yang benar tak adalah agama itu
Atau setiap saat siapa saja bisa menciptakan agama
Kebebasan beragama diubah jadi kebebasan berkeyakinan
Tak ada bimbingan wahyu
Maka yang ada hanyalah bimbingan nafsu

Taruhan sudah diletakkan di meja
Genderang perang sudah di tabuh berkali-kali
Manusia melawan Tuhan
Berbekal akal pikiran pemberian-Nya
Akal yang terbatas mau meraba Allah.

Allah Pengasih meskipun Perkasa
Allah Pengampun meski murka-Nya bisa sangat dahsyat
Akal dianugerahkannya sebagai amanah
Tapi manusia menukarnya untuk kemewahan
Kehidupan dunia yang setetes dari selautan isi akhirat

Tapi itu kan kata Nabi
Kata sahabat fulan melalui bapaknya fulan
Dari sahabatnya fulan lagi, dari dari dari
Wow banyaknya rantainya
Itu rantai manusia yang bisa lupa
Maka muncul tanya
Benarkah Nabi berkata demikian

Belajarlah pada ulama salaf
Ilmunya segudang sebelum menafsirkan sabda Tuhan
Zuhudnya tak tertandingi sehingga steril dari kepentingan dunia
Oh siapa pula mereka?
Mereka manusia juga
Bisa salah bisa lupa, bisa ngaku-ngaku

Suhanallah!
Sedang Nabi dicurigai kesuciannya
Firman Allah dilecehkan kemurniannya
Apatah lagi para sahabat
Apatah pula para ulama salaf
Begitu juga fatwa-fatwanya

Apalagi ulama sesama anak bangsa
Seumur teman sepermainan
Main gundu bersama sekarang mengeluarkan fatwa
Akal sama-sama pemberian Sang Pencipta

Sama?
Tidak!
Ulama punya akal pemberian Allah dan tidak tergadai
Sedang para penentang tak lagi punya apa-apa
Karena akalnya telah digadaikan
Dengan rumah dan mobil mewah
Dengan beasiswa dan biaya hidup
Dengan kawalan polisi penjaga keselamatan
Ketika masa mengamuk mau bertamu ke sarangnya
Ketakutan bibir hatinya bergetar
Adakah polisi bisa menjaganya dari datangnya Izrail?

Kepuasannya pada dunia yang sudah digenggamannya
Tanda kekerdilan, padahal akhirat lebih baik dan kekal
Puih!
Itu kan kata Quran
Sedangkan Quran keluar dari mulut Muhammad
Sedang Muhammad manusia biasa yang bisa salah
Lalu dimana agama kalau semua perangkatnya diprasangkakan?

Agama adalah akal, kata Nabi
Maka akal tidak boleh dikekang apalagi diadili

Lho, sekarang mengakui ucapan Nabi
Pilih mana yang cocok lalu pakai
Buang saja mana yang tak sesuai
Pilih pakai apa?
Pakai akal anugerah Allah!
Tapi kemudian Allah tidak diperlukan lagi
Dan sekarang sedang duduk di meja pertaruhan

Kalau Allah kalah, betapa hebatnya akalnya
Kalau Allah menang kemana mereka hendak berlari
Sedang semua jengkal tanah
Semua petak oksigen
Semua deburan ombak
Seluruh hembusan angin
Setetespun air dalam genggaman-Nya
Sedangkan tidak ada selembar daunpun gugur
Kecuali dalam sepengetahuan Allah

Ah, itu kan kata para fundamentalis
Toh, pertaruhan belum selesai
Biarkan langit, bumi, nyamuk, semut,
Virus HIV, setan dan jin yang menyaksikan

Puih.
Air liur dan ludah muncrat bebas keman-mana
Sengaja biar gratis bisa ke Amerika dan dicintai dunia
Manjakan akal hendak menggoyang pohon
Yang akarnya menghunjam dalam ke bumi
Dan batangnya tinggi menembus langit
Buahnya tumbuh setiap saat
Menebar manfaat bagi umat

Lupa shalat dan lupa berzikir
Itu kecil dan barang remeh temeh
Tapi jangan lupa berhitung setiap proposal
Berapa dollar akan dibayar

Mengaku ilmuwan tapi tanpa ilmu menutup cahaya
Mulutnya, tangannya, tulisannya dan baunya
Sekuat tenaga sebesar berapa bayarannya
Hendak menutup cahaya Allah

Tapi Allah malah sempurnakan cahaya-Nya
Walau penyandang dana takkan pernah suka

Sedangkan menjadi manusia tanpa bayangan saja tak bisa
Apatah lagi mau menutup Sang Cahaya
Maka bayang-bayangnya selalu berbicara
Siapa dan apa di balik keberaniannya bertaruh
Dengan Sang Penguasa

Sebenarnya tak perlulah capek, kalau waktunya tiba
Allah akan memadamkan cahaya-Nya
Di liang lahat mereka sehingga proposalnya
Tak ada lagi yang menggubrisnya
Sekutunya yang selalu menyalakan periuknya
Takkan peduli lagi kalau corongnya telah mati
Tak berfungsi lagi

Cikarang Baru, 13 Maret 2007

Minggu, Agustus 19, 2007

Anak Pintar Dilarang Sekolah


(Kecuali Yang Kaya)
Oleh: Choirul Asyhar

Tahun ini saya benar-benar memeras otak dan menguras tabungan. Dua anak saya masuk pesantren. Melanjutnya jenjang pendidikan sekolah lanjutan pertama. Biaya masuknya saja sudah 10 juta lebih. SPP-nya dan biaya hidup mereka berdua sekitar satu tengah juta per bulan. Belum biaya nengok ke sana sebulan sekali.

Pilihan ke pesantren saya dan istri lakukan setelah berdiskusi dengan anak-anak. Pertimbangan salah satunya adalah kehidupan diluar pesantren yang sangat polutif. Tidak hanya udara perkotaan yang kotor dengan karbon monooksida, bising dengan suara knalpot kendaraan bermotor dan gas buangan pabrik. Tapi juga udara sekitar yang kotor dengan pemandangan anak-anak muda yang asik berpacaran. Mulai yang berbaju banyak jendelanya sampai yang berjilbab atasnya tapi pinggulnya nongol. Mulai yang duduk mojok di taman-taman kota, sampai yang berpelukan lekat di atas motor.

Belum lagi udara di rumah yang ruangannya penuh dengan cahaya tivi. Suaranya penuh dengan umpatan dan caci maki mematikan hati nurani. Gambarnya menyedihkan dan membuat orang tua tak habis mengerti. Iklannya menguras kantong baju dan celana. Musik dan video klipnya mengikis habis kepribadian dan jati diri.

Pertimbangan kedua adalah mahalnya biaya sekolah. SPP bulanan sudah ratusan ribu, belum biaya antar jemput, aneka kegiatan dan lain-lain. Itupun masih ditambah biaya les sore atau malam harinya. Biayanya tinggi, waktunya habis. Sehingga ketika tiba dirumah, orang tua tak kebagian waktu untuk berbagi nasehat atau sekedar bercengkeramapun. Anak capek, nyalakan TV. Lalu pulas di depan TV. Jadi bahkan baca doa sebelum tidur pun tak sempat.

Ternyata mahal benar untuk jadi pintar. Ada biaya materi dan biaya sosial. Akhirnya orangtua pun menghabiskan waktunya pula untuk mencari nafkah lebih keras. Demi menutup biaya pendidikan. Maka rumah hanya jadi tempat singgah. Melepas lelah dan membunuh kantuk. Begitu mata terbelalak bangun, berarti saatnya keluar rumah.

Dengan hitung-hitungan ini, maka pendidikan di Pesantren jadi lebih murah. Karena saya tidak perlu lagi mengeluarkan biaya transport, uang makan siang, biaya mencuci pakaian dan lain-lain. Belum lagi covering biaya sosialnya. Saya juga terbantu oleh kegiatan yang ketat di Pesantren, sehingga anak-anak tidak ada waktu dan keinginan untuk membuang-buang waktunya dengan nonton TV, dengerin musik, ngobrol di tempat-tempat nongkrong dan lain-lain. Apalagi memang tidak ada TV di Pesantren. Juga larangan membawa HP, MP3, MP4 dan lain barang elektronik yang cenderung menghabiskan uang dan menyia-nyiakan waktu.

Satu lagi harapan saya menyekolahkan anak di pesantren adalah nanti kalau mereka lulus SMA dari Pesantren mereka bisa meneruskan perguruan tinggi di luar negeri dengan biaya murah, syukur-syukur mendapatkan beasiswa dari negara tujuannya nanti. Tak terbayang jika mereka harus kuliah di dalam negeri. Hanya orang kaya raya yang bisa membayar biaya masuk PT. Coba survey, berapa persen penduduk Indonesia yang memiliki tahungan 50 juta ke atas. Buruh pabrik bergaji 5juta per bulan aja, harus empot-empotan untuk menabung sehingga bisa mencapai jumlah itu. Apalagi yang bergaji minimal. Kalau toh ada, pasti berat sekali mengeluarkan uang sebanyak itu, karena uang itu adalah pesangon yang diterima ketika pabrik tempat kerjanya tutup.

Pasal 29 UUD 45 dan amandemennya memang memayungi kita bahwa pemerintah berkewajiban menyediakan pendidikan dan penghidupan yang layak bagi setiap warga negara. Layaknya sebuah kewajiban, yang menurut ahli fikih, kalau dikerjakan berpahala kalau diabaikan berdosa. Maka pemerintah hendaknya merasa berdosa tidak bisa memenuhi hak-hak warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang layak. Alih-alih merasa berdosa, justru pemerintah malah suka mencabut subsidi pendidikan. Memprivatisasi perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum pendidikan yang harus berupaya sendiri untuk menutup biaya operasionalnya. Jadi perguruan tinggi negeri tak ubahnya dengan PTS yang hidup sendiri. Yang akhirnya memeras kantong wali muridnya.

Tahun ini anak saya masuk SMP, berarti enam tahun lagi masuk perguruan tinggi. Kalau sekarang masuk perguruan tinggi harus bayar 60 – 100 juta. Enam tahun lagi entah berapa juta. Kalau misalnya tetap 100 juta berarti mulai sekarang saya harus menabung 1.4 juta per bulan. Untuk dua anak saya berarti saya harus pandai-pandai menabung 2.8 juta rupiah perbulan. Perlu kesabaran dan ketawakalan yang tinggi agar saya tidak terjerusmus mengikuti jalan pintas apapun untuk mencapainya.

Sebagai warga negara yang cinta dengan pemerintahnya, saya mengingatkan pemerintah agar berupaya keras memenuhi kewajibannya. Jika tidak mereka akan menimbun dosa sepanjang periode pemerintahannya. Kalau demikian, maka jika masa jabatannya habis mereka akan sakit dua kali. Yang pertama post power sindrom. Yang kedua penimbunan dosa. (Semoga amal baiknya masih lebih banyak sehingga kalau mati tetap masuk Surga. Amin).

Kalau masih juga pemerintah kita lupa terhadap kewajibannya ini, maka kita cari pemerintah negara lain saja yang mau mengasihani kita. Membiayai pendidikan anak-anak kita. Dan saya dengar banyak negara di Timur dan Barat juga Timur Tengah menyediakan beasiswa untuk anak-anak kita. Dan yang membanggakan mahasiswa Indonesia yang di negeri sendiri tidak diopeni. Dicuekin kaarena miskin, ternyata berprestasi cemerlang di luar negeri. Lalu ketika pulang ke Indonesia, pemerintah Indonesia tinggal menikmati pengabdian mereka untuk masyarakat. Uenak tenan……… Semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua, sehingga kita bisa menangkap mana kewajiban yang harus ditunaikan dan mana hak yang pantas kita peroleh. Amin.

Cikarang, 19 Agustus 2007

Kursi Kosong

Akhir-akhir ini dan di masa-masa yang akan datang saya harus menyisihkan waktu untuk mengunjungi Subang. Karena harus nengok anak pertama saya yang mondok di salah satu pesantren di sana. Seperti yang saya lakukan kemarin, Ahad, 12 Agustus 2007. Alhamdulillah ada bus tiga perempat dari Cikarang ke Subang langsung. Saya memilih bis karena pergi sendirian. Ongkosnya akan menghabiskan isi dompet kalau naik mobil sendiri. Bensin cepek ceng dan tol dua puluh ribu itu sudah pasti. Belum lagi capeknya dengkul dan tangan selama mengemudi mobil.

Dengan naik bis umum saya cuma merogoh dua puluh enam ribu pulang-pergi ditambah dua ribu untuk parkir motor. Dan bisa bisa nyantai menghabiskan 1 atau setengah buku selama dalam perjalanan. Itupun diselingi ngantuk yang sering datang menyerang.

Tapi, kemarin saya mengalami nasib kurang baik. Sepanjang jalan dari Cikarang sampai Subang saya tidak kebagian kursi. Berdiri selama hampir dua setengah jam. Dengan tangan gandolan besi gantungan agar badan tidak roboh ketika bis berbelok ke kanan atau ke kiri. Alhamdulillah dalam posisi tidak enak ini, saya bisa melalap setengah buku kecil sejarah sahabat Nabi. Jadi meskipun kaki-tangan pegel, tapi hati rasanya tentrem. Meskipun perikehidupan para sahabat mulia itu sering menyindir ’penyimpangan-penyimpangan’ yang sering saya lakukan.

Saya tidak akan menceritakan isi buku itu. Karena banyak hak menarik lainnya yang saya catat dalam hati dalam kepenatan perjalanan saya ini. Pengalaman yang sayang untuk dilupakan. Sayang kalau tidak diambil ibroh darinya.

Ketika naik dati Jababeka, saya tidak menyangka penumpang sedemikian banyak. Karena sudah lama menunggu, saya naik saja meskipun tidak dapat kursi. Sampai menjelang masuk tol Cikarang Barat penumpang makin banyak. Artinya makin banyak yang berdiri. Begitu masuk tol, saya sudah menata hati, berarti minimal saya akan berdiri sampai keluar pintu tol Cikampek. Kalau beruntung, di sana nanti banyak penumpang yang sekarang asyik duduk di kursi pada turun. Lalu saya akan kebagian kursi kosong. Dengan optimisme demikian, saya tata hati saya dengan membenamkan diri dalam buku milik anak saya yang berjudul ’Ngefans sama Sahabat Nabi’ karya Bang Andi Bustoni, redaktur Majalah Sabili.

Walhasil bis sampai di Kopo, penumpang sebagian turun. Yang berdiri berebut kursi kosong. Banyak laki-laki berhati baik mempersilakan para Ibu dan wanita untuk menempati kursi kosong yang ditinggalkan penumpang. Meski demikian baru separuh yang dapat tempat duduk. Saya juga tidak ikut berebut kursi, karena saya juga laki-laki. Meski kaki juga sudah pegel, hampir sejam berdiri.

Keluar tol, bis langsung berangkat lagi menuju Subang. Banyak penumpang naik turun. Satu demi satu penumpang yang berdiri kebagian kursi. Tinggal bertiga, seorang bapak tua, anak muda dan saya yang setengah tua. Sampai Sadang biasanya banyak yang turun, kali ini Allah memberi rizki berlebih kepada awak bus. Justru penumpang bertambah. Wal hasil, saya bertiga masih harus bertahan berdiri. Sambil mata ngantuk dan kaki pegel.

Tabiat orang capek berdiri, lalu mendapat kursi rasanya nikmat sekali. Demikian yang saya perhatikan. Banyak penumpang yang sekarang gilirannya mendapatkan kursi, menikmati butul posisinya. Saat-saat awal melepas pegel-pegel di kaki. Saat berikutnya menikmati empuknya kursi, dengan meluruskan punggung dengan rileks. Saat berikutnya mata terlelap. Oh, sungguh nikmat.

Saya berdiri sambil menyenderkan badan saya sekenanya pada salah satu pinggiran sandaran kursi. Posisi terbaik dari posisi tidak enak yang saya rasakan sering mengganggu pemilik kursi. Kadang tas saya menyentuh bahu pemilik kursi. Kadang posisi saya, menyebabkan mereka tidak bisa santai menyandarkan kepalanya. Seakan saya mengancam kedudukan mereka. Padahal sejam yang lalu dia masih senasib dengan saya. Sama-sama penumpang tak berkursi. Sama-sama menjadi penumpang yang tak mapan. Jangankan duduk, berdiripun tak seimbang. Sama-sama harus mempertahankan tubuh agar tetap tegak, ketika bis membelok ke kanan dan ke kiri. Sekarang sudah punya kursi. Lupa betapa tidak enaknya berdiri seperti saya ini. Betapa sulitnya tetap harus tegak ketika bis melaju kencang dan tiba-tiba sang sopir menginjak rem karena ada penumpang yang mau naik. Masih syukur bisa melepas penatnya kaki. Masak kepalanya tersenggol sedikit saja, mata harus melotot.

Dalam kondisi demikian saya melihat sebuah kursi diduduki anak kecil balita. Ibunya ada di sebelahnya. Setahu saya tadi ada penumpang wanita dewasa di sebelahnya. Dan si balita dipangku ibunya. Berarti penumpang wanita dewasa tadi sudah turun. Ada Bapak Tua di sebelahnya masih berdiri tegak, meski saya yakin pasti kakinya pegel. Karena saya juga merasakan hal itu. Sudah dua jam berdiri dan digoyang di atas bis.

Ibu dan balita yang tadi ketika naik juga tak kebagian kursi. Kini diam-diam telah duduk. Bahkan sekarang menduduki dua kursi. Saya menepuk bahu Sang Bapak. Saya persilakan Sang Bapak duduk di kursi yang diduduki balita itu. Saya konfirmasi kepada Si Ibu apakah benar kursi itu kosong. Dengan santai Si Ibu menjawab, entahlah kemana penumpang yang tadi turun di peristirahatan. Maka tanpa banyak berfikir saya persilakan Sang Bapak duduk di kursi kosong itu. Dan Si Balita lebih pas jika duduk di pangkuan Si Ibu saja. Dalam kondisi demikian, balita yang belum diwajibkan bayar masih dalam tanggung jawab ibunya. Sang Bapak yang sudah sepuh lebih berhak duduk di kursi empuknya.

Memang kursi itu enak. Sering melenakan. Bahkan membuat kita lupa akan nasib kita dulu ketika belum punya apa-apa. Lalu ketika sudah duduk kita sering lupa terhadap lingkungan sekitar. Karena dengan duduk mata kita suka mudah terpejam. Kalau satu sudah dimiliki, dua tentu lebih nikmat. Paha yang pegal memangku sang balita barangkali membuat si Ibu meletakkan balitanya di kursi kosong. Kenapa tidak? Meskipun ada Bapak Tua berdiri di sebelahnya dengan kaki pegel. Yang dari tadi kalah bersaing dalam memperbaiki nasibnya. Memperebutkan kursi kosong.

Cikarang, 13 Agustus 2007

Kamis, Agustus 09, 2007

Pilkada Jakarta, Siapa Yang Menang?


Oleh: Choirul Asyhar


Tanggal 8 Agustus 2007 pukul dua siang, banyak LSM dan tim sukses kandidat melansir perolehan suara sementara. Data dari para saksi di setiap TPS mengalir ke pusat perhitungan masing-masing melalui SMS, telepon dan sebagainya. Teknologi Informasi mempermudah semua pekerjaan ini. Salah satu tim kandidat menyebut ini sebagai data real count. Berbeda dengan Quick Count yang dilakukan dengan mengumpulkan data-data secara sampling dari seluruh TPS yang ada, real count diperoleh dari perolehan data dari seluruh TPS yang ada, yang masuk secara berangsur-angsur.

Data sementara Fauzi-Prijanto (FP) unggul atas Adang-Dani (AD). Perolehannya berkisar antara 55 : 45. Jika perbandingan ini terus terjaga dengan berangsur-angsurnya data yang masuk dari setiap TPS, maka sudah bisa dipastikan FP memenangkan pilkada ini. Dan keduanya akan tinggal mengikuti hari pelantikan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, propinsi paling bergengsi di negeri ini karena kota ini juga merupakan Ibu Kota negara RI.

Bukan mendahului takdir. Tapi jika FP mendapatkan 55% suara maka FP dinyatakan menang. Dan AD yang mendapatkan 45% dinyatakan kalah. Dalam konteks pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur pernyataan ini benar adanya. Tapi bagaimana dengan sudut pandang partai politik sebagai mesin politik?

Seperti dimaklumi FP didukung oleh 20 partai politik. Ke-20 parpol tersebut pada Pemilu 2004 memperoleh 76% suara. Jadi kalau dianggap ke-20 parpol tersebut mewakili 76% warga DKI, berarti ada 21% suara pendukung parpol-parpol tersebut yang tidak memilih FP. Kondisi sebaliknya terjadi pada AD yang hanya didukung oleh satu parpol yaitu PKS. Partai ini dalam Pemilu 2004 hanya didukung oleh 24% warga DKI. Tapi dalam Pilkada kali ini didukung oleh 45% warga DKI. Jadi ada lonjakan dukungan yang luar biasa. Yaitu 21%. Sebuah kenaikan yang fantastis. Meskipun dikeroyok oleh 20 parpol diantaranya 3 parpol besar (Golkar, PDIP, PPP), ternyata AD tidak kalah telak! Malah kalau dilihat dari sudut mekanisasi parpol, hal ini menunjukkan keberhasilan PKS sebagai mesin politik bagi pasangan AD. Diluar dukungan kader militan PKS sendiri yang bisa dipastikan memilih AD, kecuali yang tidak terdaftar dalam DPT, ternyata tim sukses AD bisa menggaet 21% tambahan pendukung. Ini adalah potensi bagus bagi bargaining position PKS dalam berbagai Pilkada lainnya di berbagai daerah yang akan datang dan bahkan pada Pemilu dan Pilpres 2009.

Benar bahwa keroyokan yang dilakukan oleh ke-20 partai berhasil menggagalkan PKS mengantarkan jagoannya untuk menjadi Gubernur dan Wagub. Tapi disisi lain ternyata keroyokan ini justru meningkatkan kedudukan PKS dalam percaturan politik di Jakarta atau bahkan nasional. Bayangkan 20 vs 1 ternyata hanya menghasilkan 55 vs 45. Mestinya secara teoretis menghasilkan sekitar 76 vs 24. Artinya dalam kemenangan ini Parpol-parpol pendukung FP harus segera berbenah diri. Siapa diantara mereka sebenarnya yang tidak atau kurang kontribusinya dalam mobilisasi pendukung dalam pilkada ini. Atau adakah massa dari ke-20 parpol itu yang suaranya terpecah, sebagian ke FP, sebagian lagi ke AD. Fenomena ini adalah gambaran bahwa koalisi elit ke-20 parpol tersebut bukanlah otomatis berarti koalisi massanya. Jika parpol-parpol tersebut yakin akan berhasil memobilisasi massanya maka FP tidak perlu mencari dukungan sampai 20 partai. Cukup 2-3 partai besar saja. Lalu parpol-parpol kecil bisa mengajukan 1 pasang calon lagi. Tapi dukungan yang bombastis ini mau-tidak mau memang menunjukkan bahwa elit 20 parpol tersebut tidak percaya diri untuk bisa mengikat dan memobilisasi massanya. Tampak sekali ketakutan akan kewalahan menghadapi calon PKS, membuat mereka berkumpul melakukan pengeroyokan sehingga dapat mengalahkan AD, meski tidak dengan telak.

Fenomena sebaliknya justru terjadi pada partai pendukung AD. Sendirian ternyata tidak berarti terpencil jauh. Selisih yang tidak terlalu besar jika dilihat dari ‘kebesaran’ lawannya, telah mengatakan hal ini.
Jadi pelajaran dari Pilkada DKI adalah parpol harus berbenah diri menjalin hubungan yang mesra dengan massanya. Atau kalau mau menang Pilkada cukup berkoalisi dengan PKS saja. Ongkos politiknya sangat murah daripada harus menggandeng 20 parpol yang ternyata hanya menghasilkan 55%. Kata Fachry Ali, seorang pengamat politik, kalau 55% itu dibagi 20 parpol berapa rata-rata kontribusi parpol dalam perolehan suara itu. Jadi siapa yang menang?

Cikarang, 8 Agustus 2007

Rabu, Agustus 08, 2007

Serial Peluang Korupsi - 3:

Di Pabrik (2)

Bagian General Affairs juga bisa jadi fitnah kalau tidak memenuhi syarat mental baja dan ikhsan. Iming-iming komisi perusahaan transportasi, catering, supplier alat tulis, cleaning service selalu berseliweran di depan mata.

Seorang teman yang sekarang sukses menjadi pengusaha transportasi melayani puluhan perusahaan di sebuah kawasan industri. Dia berbicara tentang uang komisi ini. Katanya hal ini sudah tidak bisa lepas dari dunia bisnis. Inilah bisnis. Artinya alokasi dana ini sudah dimasukkan dalam biaya produksi. Asal tidak sampai rugi, no problem. Katanya, kalau ada yang tidak mau menerima komisi perbandingannya 1:1000. Tentu saya tidak percaya ucapannya, karena saya tahu pelanggannya belum ada seribu, tapi dia sudah menemukan satu orang manajer yang tidak mau menerima uang beginian.

Bagian Personalia juga demikian. Banyaknya pengangguran menyebabkan setiap orang usia produktif melakukan apa saja asal bisa jadi karyawan. Bagian personalia bisa menjual soal tes penerimaan kayawan, jika tidak kuat memiliki kedua syarat di atas. Kongkalikong dengan perusahaan outsourcing tenaga kerja bisa membuat mata tak henti-bentinya main kedap-kedip. Malah keuntungan sebagai pengusaha outsourcing sering membuat pejabat personalia yang serakah mendirikan perusahaan sejenis untuk mensuplai karyawan bagi perusahaan yang mengamanahinya menjadi pimpinan departemen personalia. Jadi dia jadi supplier bagi dirinya sendiri. Tanpa pesaing.

Hal ini juga bisa dilakukan oleh manajer pembelian. Informasi harga yang ada di tangannya membuat dia dengan mudah mendirikan perusahaan supplier untuk mensupport departemen yang dipimpinnya sendiri. Ditambah dengan adanya wewenang memutuskan supplier mana yang bakal dipilih, lengkap sudah kemudahan untuk menjadikan perusahaan pribadinya menjadi supplier bagi dirinya sendiri. Perusahaan pribadi? Tentu tidak akan tampak dalam akta pendirian perusahaan, karena nama pemilik bisa siapa saja kecuali dirinya. Bisa istri, paman, bibi, tante, bahkan tetangga sebelah rumah.

Ini juga terjadi ketika seorang asisten manajer general affairs ’terpaksa’ mendirikan perusahaan transportasi sendiri untuk mensuplai kebutuhan departemen yang dinakhodainya di sebuah perusahaan asing. Karena apa? Karena tidak tahan melihat keuntungan berseliweran di depan mata. Komisi saja tidak cukup membuatnya nyaman, maka sekalian saja dibangun perusahaan transportasi. Jadi di perusahaan transportasi ini dia menjadi supplier, sementara di posisinya sebagai seorang asisten manajer di perusahaan asing itu dia menjadi buyer. Enakkk tenan........

Rabu, Agustus 01, 2007

Pilkada Jakarta 2007


Calon Independen, Dicari!
Oleh: Choirul Asyhar

Persaingan perebutan kursi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta dalam pilkada Agustus ini bakal seru. Karena hanya ada dua calon pasangan yaitu Adang Daradjatun–Dani Anwar yang diusung oleh PKS dan Fauzi Bowo–Prijanto yang diusung oleh keroyokan partai-partai besar plus partai-partai kecil sehingga membentuk total koalisi 20 partai politik.
Yang tak kalah seru adalah partai ‘kecil’ PKS dikeroyok oleh 20 partai besar dan kecil. Dalam pemilu 2004 PKS adalah pemenang pemilu untuk wilayah Jakarta dengan mengantongi 24% suara. Tetapi seketika menjadi sangat kecil ketika dikeroyok oleh tiga partai besar (Golkar, PDIP dan PPP) plus partai kecil yang kalau ditotal mencapai ‘representasi’ 72% suara yang diperoleh pada pemilu 2004.
Spektakuler! Sebuah partai kecil dikeroyok 20 partai besar kecil. Pasangan yang pertama dengan slogan “Ayo Benahi Jakarta” bertekad mengubah Jakarta menjadi lebih bersih, lebih peduli dan lebih bermoral. Pasangan yang kedua melawan pasangan pertama. Meskipun –menurut keyakinan penulis- bukan berarti Fauzi-Prijanto tidak setuju dengan slogan pasangan pertama tersebut. Siapa sih yang tidak setuju Jakarta lebih bersih, lebih peduli dan lebih bermoral? Pasti semua setuju. Kalau toh diam-diam tidak setuju, pasti tidak mau dikesankan sebagai kurang bersih, kurang peduli dan kurang bermoral.
Tetapi pengeroyokan ini bagaimanapun menimbulkan spekulasi bahwa pendukung Fauzi-Prijanto hendak rame-rame mempertahankan status quo. Mereka hendak mempertahankan Jakarta yang modern dengan ciri heterogen, hedonis, materialis bahkan kapitalistis. Juga sebagai kota bisnis plus hiburan malam. Termasuk mempertahankan keberadaan ‘surga’ bagi penikmat kehidupan malam dan derivatnya.
Spekulasi ini dapat dideteksi oleh pernyataan ketakutan sekelompok masyarakat penentang Adang-Dani. Misalnya, kalau PKS menang hiburan malam akan ditutup. Seakan Jakarta bukan lagi Jakarta tanpa hiburan malam. Bahkan ada yang menganggap pengeroyokan ini perlu dilakukan karena ini adalah perang ideologi. Jadi ada ideologi non-PKS di satu sisi melawan ideologi PKS di sisi lain. Apa yang dimaksud ideologi non-PKS dan apa itu ideologi PKS, tidak ada yang berani mengatakan dengan gamblang: ideologi apa melawan ideologi apa.
Perseteruan antar dua kubu menimbulkan keprihatinan kelompok lain diluar partai-partai. Entah apa sebenarnya yang diprihatinkan oleh kelompok non-partisan ini. Apakah khawatir Fauzi-Prijanto menang? Yang berarti ‘tidak akan ada perubahan’ bagi Jakarta. Alias status qou. Atau mengkhawatirkan PKS kalah? Sehingga kalau bisa hendak memecah suara pendukung Fauzi-Prijanto. Atau tidak sudi jika salah satu dari kedua pasangan itu menang, karena kedua pasangan dianggap tidak bakal bisa menyerap aspirasi kelompok non partisan ini. Karena lebih banyak membawa kepentingan parpolnya masing-masing. Maka dimunculkan kesan perseteruan ini adalah mewakili kepentingan partai-partai yang haus kekuasaan.
Karena partai membawa kepentingan politik tertentu, maka pasangan yang diusung partai dianggap tidak independen. Pasangan ini dianggap kepanjangan tangan partai politik pengusungnya, jadi pasti loyal kepada partainya. Dan karena lebih mementingkan partai otomatis tidak memikirkan rakyat.
Pasangan barupun dimunculkan sebagai jagoan baru kelompok non-partai ini. Dikesankan pasangan dari kelompok non partai ini tidak membawa kepentingan partai tertentu. Tidak memiliki agenda mementingkan masa depan partai tertentu, karena itu disebut independen. Sehingga pasti banyak waktu untuk memikirkan sebesar-besar kemakmuran rakyat karena mereka tidak haus kekuasaan. Inilah logika berfikir yang dikembangkan untuk menggiring opini masyarakat. Benarkan demikian?

Apakah Parpol itu?
Menilik namanya, partai politik adalah partai yang berorientasi politik. Politik menurut definisi ilmu politik adalah aktifitas mengerahkan segala kekuatan untuk mencapai kekuasaan. Ada definisi lain: Politik adalah siasat untuk mengatur masyarakat demi kemaslahatan masyarakat itu. Kedua definisi ini menurut penulis kedua-duanya benar. Dengan mencapai kekuasaan seorang atau sekelompok orang bisa mengatur masyarakatnya. Dengan peraturan akan tercipta kemaslahatan bersama.
Jadi tidak ada kejanggalan jika parpol berorientasi meraih kekuasaan. Justru aneh dan janggal jika parpol tidak punya keinginan berkuasa. Justru itulah maka mereka membentuk parpol. Kejanggalan lainnya adalah jika organisasi masyarakat -bukan orpol- juga punya hidden agenda mencapai kekuasaan. Jadi agar sepak terjangnya tidak diendus bermotif politik maka digunakanlah baju ormas atau LSM. Fenomena ini sudah bukan rahasia lagi. Jadi mereka ini sebenarnya mirip dengan organisasi politik bawah tanah yang berlindung di bawah nama ormas yang seolah-olah anti-politik.

Pasangan Independen
Dengan pengakuan atas parpol-parpol dan permakluman akan tujuan parpol yaitu mencapai kekuasaan itulah maka muncul undang-undang pemilu ataupun pilkada. Peraturan ini mengatur bahwa pasangan calon harus didukung minimal 15% suara yang diperoleh dari parpol saat pemilu terdahulu. Jadi peraturan ini sebagai konsekuensi logis dari pengertian politik itu sendiri. Termasuk di dalamnya pengucuran bantuan dana kampanye dan penggalangan dana masing-masing kandidat melalui parpol-parpol.
Lalu muncul wacana pasangan calon independen yang berasal dari non-partai. Karena dianggap merdeka dari intervensi kepentingan partai maka disebut independen. Tapi benarkah mereka independen, itu soal lain yang mesti dicermati. Tuduhan bahwa pasangan yang diusung parpol, tidak independen karena disetir oleh partai, maka tidak memihak rakyat, sangat tidak otomatis masuk akal jika dengan demikian lalu dimunculkan logika baru: pasangan non-partai berarti independen dan berarti memihak rakyat.

Benarkah Mereka Independen?
Kalau pasangan Adang-Dani didukung PKS, Fauzi-Prijanto didukung koalisi 20 partai, lalu siapa pendukung pasangan independen? Ormas, LSM, paguyuban-paguyuban MTO (masyarakat tanpa organisasi), OTB (organisasi tanpa bentuk) dan lain-lain. Memang mereka bukan parpol, tapi bukan berarti tanpa kepentingan. Bahkan meskipun bukan parpol, tidak mustahil mereka punya kepentingan politik. Buktinya mereka mengusung calon –yang katanya- independen itu untuk mencapai kekuasaan politik yaitu menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta.
Belum lagi jika pengusaha dan konglomerat turun tangan ikut mendukung mereka. Pasti tidak hanya dukungan kosong, dana, daya, bahkan –bisa jadi- darah pasti ikut digelontorkan. Lalu pesan sponsor politikus ekonomi ini disisipkan kepada calon independen. Jika demikian maka bisakah pasangan itu nanti jadi pemimpin yang independen?
Tambah runyam jika tangan asing ikut turun dalam percaturan perebutan jabatan gubernur dan wakil gubernur ini. Lalu independen yang bagaimana yang bisa dilakonkan oleh pasangan independen ini. Independen dari parpol, tapi tidak dari kepentingan-kepentingan lain yang justru jauh lebih banyak dan macam-macam. Jadi calon independen akan menjadi anak panah liar yang melesat dari busur gaib.
Bagaimana dengan keberpihakan kepada rakyat? Ya, sama sulitnya dengan menebak keberpihakan para calon yang diusung partai politik. Kalau pasangan calon dukungan parpol dianggap sibuk membawa agenda parpol, ‘pasangan independen’ bisa jadi malah lebih sibuk memperjuangkan aspirasi sponsor-sponsor gaibnya.
Hanya saja untuk menilai pasangan calon dukungan parpol kita bisa melacak track record parpol pendukungnya. Tidak demikian dengan calon independen. Kita sulit melacak track record backing-backing nya. Disamping karena jumlahnya banyak, juga tidak jarang tidak tampak oleh mata telanjang alias gaib juga. Kalau pasangan calon dukungan parpol setelah terpilih ternyata menyimpang, kita bisa mengarahkan telunjuk kita kepada parpol pendukungnya. Tapi jika pasangan independen terpilih kemudian menyeleweng, kemana telunjuk kita harus diarahkan? Karena rakyat telah kehilangan jejak.