Minggu, Agustus 19, 2007

Kursi Kosong

Akhir-akhir ini dan di masa-masa yang akan datang saya harus menyisihkan waktu untuk mengunjungi Subang. Karena harus nengok anak pertama saya yang mondok di salah satu pesantren di sana. Seperti yang saya lakukan kemarin, Ahad, 12 Agustus 2007. Alhamdulillah ada bus tiga perempat dari Cikarang ke Subang langsung. Saya memilih bis karena pergi sendirian. Ongkosnya akan menghabiskan isi dompet kalau naik mobil sendiri. Bensin cepek ceng dan tol dua puluh ribu itu sudah pasti. Belum lagi capeknya dengkul dan tangan selama mengemudi mobil.

Dengan naik bis umum saya cuma merogoh dua puluh enam ribu pulang-pergi ditambah dua ribu untuk parkir motor. Dan bisa bisa nyantai menghabiskan 1 atau setengah buku selama dalam perjalanan. Itupun diselingi ngantuk yang sering datang menyerang.

Tapi, kemarin saya mengalami nasib kurang baik. Sepanjang jalan dari Cikarang sampai Subang saya tidak kebagian kursi. Berdiri selama hampir dua setengah jam. Dengan tangan gandolan besi gantungan agar badan tidak roboh ketika bis berbelok ke kanan atau ke kiri. Alhamdulillah dalam posisi tidak enak ini, saya bisa melalap setengah buku kecil sejarah sahabat Nabi. Jadi meskipun kaki-tangan pegel, tapi hati rasanya tentrem. Meskipun perikehidupan para sahabat mulia itu sering menyindir ’penyimpangan-penyimpangan’ yang sering saya lakukan.

Saya tidak akan menceritakan isi buku itu. Karena banyak hak menarik lainnya yang saya catat dalam hati dalam kepenatan perjalanan saya ini. Pengalaman yang sayang untuk dilupakan. Sayang kalau tidak diambil ibroh darinya.

Ketika naik dati Jababeka, saya tidak menyangka penumpang sedemikian banyak. Karena sudah lama menunggu, saya naik saja meskipun tidak dapat kursi. Sampai menjelang masuk tol Cikarang Barat penumpang makin banyak. Artinya makin banyak yang berdiri. Begitu masuk tol, saya sudah menata hati, berarti minimal saya akan berdiri sampai keluar pintu tol Cikampek. Kalau beruntung, di sana nanti banyak penumpang yang sekarang asyik duduk di kursi pada turun. Lalu saya akan kebagian kursi kosong. Dengan optimisme demikian, saya tata hati saya dengan membenamkan diri dalam buku milik anak saya yang berjudul ’Ngefans sama Sahabat Nabi’ karya Bang Andi Bustoni, redaktur Majalah Sabili.

Walhasil bis sampai di Kopo, penumpang sebagian turun. Yang berdiri berebut kursi kosong. Banyak laki-laki berhati baik mempersilakan para Ibu dan wanita untuk menempati kursi kosong yang ditinggalkan penumpang. Meski demikian baru separuh yang dapat tempat duduk. Saya juga tidak ikut berebut kursi, karena saya juga laki-laki. Meski kaki juga sudah pegel, hampir sejam berdiri.

Keluar tol, bis langsung berangkat lagi menuju Subang. Banyak penumpang naik turun. Satu demi satu penumpang yang berdiri kebagian kursi. Tinggal bertiga, seorang bapak tua, anak muda dan saya yang setengah tua. Sampai Sadang biasanya banyak yang turun, kali ini Allah memberi rizki berlebih kepada awak bus. Justru penumpang bertambah. Wal hasil, saya bertiga masih harus bertahan berdiri. Sambil mata ngantuk dan kaki pegel.

Tabiat orang capek berdiri, lalu mendapat kursi rasanya nikmat sekali. Demikian yang saya perhatikan. Banyak penumpang yang sekarang gilirannya mendapatkan kursi, menikmati butul posisinya. Saat-saat awal melepas pegel-pegel di kaki. Saat berikutnya menikmati empuknya kursi, dengan meluruskan punggung dengan rileks. Saat berikutnya mata terlelap. Oh, sungguh nikmat.

Saya berdiri sambil menyenderkan badan saya sekenanya pada salah satu pinggiran sandaran kursi. Posisi terbaik dari posisi tidak enak yang saya rasakan sering mengganggu pemilik kursi. Kadang tas saya menyentuh bahu pemilik kursi. Kadang posisi saya, menyebabkan mereka tidak bisa santai menyandarkan kepalanya. Seakan saya mengancam kedudukan mereka. Padahal sejam yang lalu dia masih senasib dengan saya. Sama-sama penumpang tak berkursi. Sama-sama menjadi penumpang yang tak mapan. Jangankan duduk, berdiripun tak seimbang. Sama-sama harus mempertahankan tubuh agar tetap tegak, ketika bis membelok ke kanan dan ke kiri. Sekarang sudah punya kursi. Lupa betapa tidak enaknya berdiri seperti saya ini. Betapa sulitnya tetap harus tegak ketika bis melaju kencang dan tiba-tiba sang sopir menginjak rem karena ada penumpang yang mau naik. Masih syukur bisa melepas penatnya kaki. Masak kepalanya tersenggol sedikit saja, mata harus melotot.

Dalam kondisi demikian saya melihat sebuah kursi diduduki anak kecil balita. Ibunya ada di sebelahnya. Setahu saya tadi ada penumpang wanita dewasa di sebelahnya. Dan si balita dipangku ibunya. Berarti penumpang wanita dewasa tadi sudah turun. Ada Bapak Tua di sebelahnya masih berdiri tegak, meski saya yakin pasti kakinya pegel. Karena saya juga merasakan hal itu. Sudah dua jam berdiri dan digoyang di atas bis.

Ibu dan balita yang tadi ketika naik juga tak kebagian kursi. Kini diam-diam telah duduk. Bahkan sekarang menduduki dua kursi. Saya menepuk bahu Sang Bapak. Saya persilakan Sang Bapak duduk di kursi yang diduduki balita itu. Saya konfirmasi kepada Si Ibu apakah benar kursi itu kosong. Dengan santai Si Ibu menjawab, entahlah kemana penumpang yang tadi turun di peristirahatan. Maka tanpa banyak berfikir saya persilakan Sang Bapak duduk di kursi kosong itu. Dan Si Balita lebih pas jika duduk di pangkuan Si Ibu saja. Dalam kondisi demikian, balita yang belum diwajibkan bayar masih dalam tanggung jawab ibunya. Sang Bapak yang sudah sepuh lebih berhak duduk di kursi empuknya.

Memang kursi itu enak. Sering melenakan. Bahkan membuat kita lupa akan nasib kita dulu ketika belum punya apa-apa. Lalu ketika sudah duduk kita sering lupa terhadap lingkungan sekitar. Karena dengan duduk mata kita suka mudah terpejam. Kalau satu sudah dimiliki, dua tentu lebih nikmat. Paha yang pegal memangku sang balita barangkali membuat si Ibu meletakkan balitanya di kursi kosong. Kenapa tidak? Meskipun ada Bapak Tua berdiri di sebelahnya dengan kaki pegel. Yang dari tadi kalah bersaing dalam memperbaiki nasibnya. Memperebutkan kursi kosong.

Cikarang, 13 Agustus 2007

Tidak ada komentar: