Senin, November 26, 2007

Ka'bah

Ketika pertama kali menyaksikan Ka'bah secara langsung. Saya seperti tak percaya, inikah Ka'bah. Bahkan inikah saya, yang dipanggil Allah untuk menyaksikannya langsung. Dalam jarak beberapa puluh meter saja.

Ungkapan perasaan saya saya tuangkan dalam puisi pendek ini. Karena saya telah kehabisan kata-kata untuk menggambarkannya:


Ka’bah

Oh, aku telah tiba di kota Makkah
Berombongan sekarang menuju Ka’bah
Berbalut kain ihram bersenandung talbiyah
Berjalan cepat menuju al Haram nan megah

Oh, di mana ini halamannya luas sekali
Inilah halaman masjidil haram nan suci
Mendengar tausiyah kami menghentikan langkah kaki
Sebentar lagi aku larut dalam ibadah suci
Warisan Ibrahim Bapak Para Nabi

Oh, inikah Ka’bah
Mata terus menatap hati terus bertanya
Ka’bah yang sering kulihat gambarnya
Kini aku berdiri terpaku di hadapannya

Bismillahi Allahu Akbar
Sambil tangan melambai ke arah hajar aswad
Kecupan jauh isyarat meniru sunnah
Lalu aku terhanyut dalam lautan manusia

Putih-putih mendominasi riak gelombang
Putarannya melawan arah jarum jam
Aku tersedot dalam pusaran tawaf
Tujuh putaran mengitari Ka'bah

Cikarang, 31 Maret 2006
Sajak kenanganku pertama berjumpa Ka'bah awal 2005

Sabtu, November 17, 2007

Dalam Arus Thawaf Aku Dimana



Bagi teman-teman yang akan menunaikan ibadah Haji, saya titip oleh-oleh ini. Satu dari sekian serpihan catatan perjalanan saya dua tahun yang lalu. Semoga bermanfaat.
Satu lagi, sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah ketika sahabatnya Umar Bin Khottob berpamitan untuk menunaikan umroh, ”sisipkan namaku dalam do’a-do’amu.”

Untuk Pak Harmanto, saya pinjam gambar thawafnya, ya. Jazakallah akhsanul jaza’

DALAM ARUS THAWAF AKU DIMANA

Dari penginapan ke Masjidil Haram kami berjalan kaki, karena jaraknya cuma setengah kilometer. Sepanjang jalan kami membaca talbiyah. Seperempat jam kemudian tak terasa kami sudah sampai di halaman Masjidil Haram. Ustadz dari KBIH memberikan penjelasan seperlunya. Lalu kami serombongan bergerak maju memasuki Masjidil Haram. Tidak lupa kami membacakan do’a-do’a tertentu sebagaimana yang diajarkan dalam buku manasik haji dari Depag.

Kami langsung menuju pelataran Ka’bah untuk melaksanakan thawaf.
Begitu melihat Ka’bah rasa haru menggantung. Kalau berkaca, mungkin terlihat mukaku mulai mewek pengen nangis. Ka’bah yang selama ini hanya aku lihat di gambar-gambar sajadah, cover-cover buku manasik atau VCD manasik haji, kini tepat berada di depan mata. Dengan lautan manusia yang terus berputar berlawanan arah jarum jam. Berlapis-lapis. Dari yang paling dekat dengan Ka’bah, lapisan berikutnya, berikutnya dan sampai lingkaran terjauh dari pusat pusaran yaitu Ka’bah. Bahkan kemudian ku ketahui, lautan manusia yang berthawaf itu juga ada di lantai dua dan lantai tiga Masjidil Haram.

Aku lalu mencebur ke dalam lautan manusia itu, dimulai dari garis coklat sejajar hajar aswad. Bismillahi Allahu Akbar. Lalu larut dalam pusaran manusia berkain serba putih mengelilingi Baitullah. Arus lautan manusia menghanyutkanku ke dalamnya. Do’a-do’a yang mengalir dari mulutku menghanyutkanku ke dalam derai air mata. Aku merasakan Allah sangat-sangat dekat. Seperti firman-Nya: Fa idza sa’alaka ‘ibadii ‘annii fa innii qoriib. Apabila hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka sungguh Aku sangat dekat.

Do’a-do’aku makin menenggelamkan aku dalam air mata yang mengucur makin deras. Apalagi jika mengingat firman-Nya bahwa Dia akan mengabulkan do’a yang hanya ditujukan kepada-Nya saja: Ujiibu da’watadda’i idza da’ani fal yas tajibuli. Seakan kinilah saat-Nya aku minta apa saja kepada Rab-ku Allah azza wajalla, arhamar rohimin. Yang Maha Pengasih diantara para pengasih. Aku panjatkan semua do’a-do’a yang aku hafal dan aku pahami. Aku hayati maknanya. Semakin aku resapi semakin deras air mata terperas. Do’a yang yang sering meluncur dari mulutku selama ini, menjadi mantera agung. Maknanya menyadarkanku betapa do’a ini, jika dikabulkan Allah, itu semata-mata hanya karena kasih sayang-Nya saja. Karena aku yang sedang berdo’a ini, betapa jauh dari manusia ideal yang pantas mendapatkan ridho-Nya dan sorga-Nya. Karena kasih sayang-Nya sajalah jika aku lalu dijauhkan dari kedahsyatan neraka. Sebagaimana do’a yang aku panjatkan berkali-kali sambil terus bergerak di arus lambat di antara rukun Yamani sampai garis Hajar Aswad: Rabbana atinaa fid dunya hasanah, wa fil akhiroti hasanah wa qinaa ‘adza bannar, wa adhilnal jannata ma’al abror ya Aziz, ya Ghoffar, ya Rabbal ’alamin.

Setiap selesai satu putaran thawaf, aku berhenti di garis coklat. Lalu melambaikan tangan menghadap hajar aswad sambil mengucapkan Bismillahi Allahu Akbar, sebagaimana yang diajarkan Rasulullah Muhammad SAW. Dengan nama Allah, Allah yang Maha Besar. Maka aku merasa mengkerut mengecil. Aku sangat kecil. Jangankan di hadapan Allah, di antara lautan manusia inipun aku bukan apa-apa. Aku manusia tak dikenal, yang sedang hanyut di dalam lautan ribuan, jutaan manusia dari berbagai bangsa. Aku manusia biasa tanpa atribut apa-apa. Pakaianku hanya dua lembar kain putih tak berjahit tak bermodel. Model mutakhir kain ihrom dari dulu hingga sekarang ya seperti ini, hanya dua lembar kain putih. Yang satu disarungkan yang satu disampirkan di pundak. Apa yang aku pantas banggakan dengan pakaian model begini? Kalau ada assesories yang paling mewah yang menempel di kain ihromku, itu adalah gesper gede, yang mungkin tidak bakalan aku kenakan nanti ketika aku mulai ngantor lagi karena nggak modis sama sekali. Kalau ada tas yang aku bawa, itu adalah tas paspor yang berisi tanda pengenal, yang harus aku bawa kemana-mana agar bila Allah menakdirkan aku mati hanyut di lautan manusia ini, petugas haji bisa mengenali siapa aku. Itupun hanya untuk diumumkan oleh Daker selanjutnya diinfokan oleh televisi dan koran di tanah air. Setelah itu mayatku akan dikubur di kuburan Ma’la tanpa label nama dan tanpa nisan. Aku yang kecil dan tak bermakna ini, maka pantaslah jika terus dan terus melantunkan do’a-do’a dengan penuh harap dan cemas agar Allah mengabulkannya. Tak apalah aku tenggelam dalam derai air mata. Memohonkan ampunan dari Allah. Daripada aku harus tenggelam ke dalam jilatan api neraka jahannam di kehidupan kedua yang abadi nanti.

Putaran demi putaran aku nikmati. Saat itu aku pun siap mati. Do’a dan permohonan ampunan dikabulkan Allah pasti. Karena ini tempat mustajabah. Saya yakin itu.

Rabu, November 14, 2007

Mahalnya Nilai Sholat


Sering kita cepat terpanggil oleh azdan. Begitu azdan dikumandangkan kita cepat berangkat ke Masjid dan shalat. Masalahnya bagaimana jika tidak ada Masjid di sekitar kita. Bahkan tidak ada adzan. Berikut tulisan teman saya Ardiansyah Kimiawan yang saya pulung dari mailbox saya atas izinnya:

Shalat ?? ya tinggal shalat, apa susahnya. Kalau anda naik mobil, cari masjid di pinggir jalan, minggirkan mobil, lalu shalat. Kalau anda sedang berjalan-jalan, di mall megah sekali-pun, anda tinggal tanya ke satpam, lalu (biasanya) meluncur ke basement, ambil air wudhu, langsung Shalat.

Tapi bagi teman saya yang pekerjaannya travelling ke negara2 ( yang sebagian besar bukan negara komunitas muslim ) maka Shalat menjadi sebuah barang mewah, dan memerlukan perjuangan yang besar.
Untuk mengetahui waktu shalat, dengan bantuan teknologi, tidak ada masalah. tetapi ketika hendak melaksanakan shalat, masalah mulai muncul. Sebagai seorang yang sedang bekerja, bukan wisatawan, jam-jam shalat kadangkala bertepatan dengan waktu dia harus presentasi di depan klien, atau sedang menghadiri rapat, atau malah kadang sedang dijamu oleh kliennya. Jadi seringkali waktu shalatnya digabung ( di jama').
Kerepotan ditambah saat hendak berwudhu. Banyak toilet di negara maju yang menggunakan sistem toilet kering, jadi jangan sampai anda membayangkan ada bak mandi plus gayung tersedia. Akhirnya westafel pun jadi sasaran. Dan sudah pernah dia tegur satpam gara-gara menaikkan kakinya ke westafel saat membasuh kaki.
Lalu yang terakhir, tempat untuk shalat. Memang sang teman biasa bawa sajadah, tapi mau shalat dimana ? Kadang ada pojokan, tapi kotor. Yang rada bersih, penuh orang berlalu lalang. Benar-benar susah, sampai-sampai andalan terakhir bila memang tidak menemukan tempat shalat adalah shalat di Hotel pada malam harinya.
"Mungkin bila seminggu sekali-dua kali, saya masih bisa menghibur diri, pasti Allah akan mengerti. Tapi kalau setiap hari saya menghadapi hal ini, tentu saya jadi berpikir, impaskah ditukark akhirat-ku dengan urusan duniawi begini." Keluhnya sambil memandang sepiring nasi padang, saat kami bertemu di Jakarta.
Ketika hendak berpisah, sambil menjabat erat tangan saya, sang teman berkata."Shalat sangat mudah disini, nikmatilah, reguk-lah sepuas-puasnya. Jangan abaikan kenikmatan ini, sungguh kita baru akan sadar akan suatu rahmat bila rahmat itu sudah tidak kita temukan lagi.!"
Insya Allah, bisik saya. Betapa terbukanya mata saya betapa kita amat sangat dimanja. Adzan dari masjid atau TV akan mengingatkan kita akan waktu shalat, dengan mudah kita bisa bergegas ke masjid atau mushala, bahkan di waktu kerja pun, atasan ( non muslim sekalipun ) tidak berani melarang kita shalat, benar-benar sebuah kemewahan bagi saudara-saudara kita yang tidak tinggal di negara Muslim.

Sayangnya kita seringkali mengabaikan kemewahan yang kita punya.
Cikarang, 10 agustus 2007

Senin, November 12, 2007

Pemandu Gratisan

Ini juga cerita tentang betapa banyaknya cara untuk bersedekah. Salah satunya adalah pengalaman menjadi pemandu. Bukan memandu wisatawan yang berhonor. Tapi ini memandu orang yang tersesat. Tidak berhonor, karena honornya sudah disedekahkan menjadi pahala, jika itu dilakukan dengan ikhlash.

Ini saya tulis bukan dalam rangka riya’, tapi dalam rangka membuka wawasan bahwa peluang bersedekah itu ada di mana-mana. Tidak harus dengan uang. Karena tidak semua obyek sedekah kita membutuhkan uang kita.

Kejadiannya pada hari kedua saya menginjakkan kaki di Tanah Suci Makkah.
Tadi malam setelah melalui perjalanan bus yang melelahkan dari Bandara King Abdul Aziz di Jeddah menuju maktab di Makkah, akhirnya kami tiba juga di hotel sederhana di Shif Amir, kira-kira 500 meter dari Masjidil Haram. Setelah istirahat beberapa jam, jam 7.00 kami bersiap-siap berangkat melaksanakan Umrah wajib.

Alhamdulillah karena jarak yang dekat, perjalanan dari hotel ke Masjidil Haram hanya kami tempuh kurang dari seperempat jam. Setelah ada sedikit penjelasan dari pembimbing, kami langsung melaksanakan umrah. Semuanya berjalan lancar. Jam 11.00 semua sudah selesai tahallul. Ba’da dhuhur kami pulang ke Hotel.

Ketika kami beristirahat di kamar, tiba-tiba ada seorang tua berpakaian ihram keluar dari lift. Celingukan sebentar, dia menyadari kalau kesasar. Kakinya yang tak beralas dan lusuh menunjukkan bahwa dia pun tidak menemukan sandalnya di Masjidil Haram karena mungkin keluar dari pintu yang berbeda dengan ketika memasukinya. Seorang teman menegaskan bahwa dia salah hotel atau salah kamar. Pak tua segera berbalik. Ke arah tangga, dia segera menuruni tangga. Lalu saya mengejarnya. Saya tanya ”Bapak dari mana?” Dari Bima, katanya.

Bapak di Maktab berapa? Tanya saya. Dia menggeleng. Kloter berapa dia juga tak tahu. Gelang ditangannya yang bergravir nama dan kloter asalnya pun tak terpasang. Tas Paspor di lehernya juga tak ada. Katanya ditinggal di hotel.

Saya ingat di lantai bawah ada kamar pimpinan kloter. Maka saya ajak Bapak ini ke sana. Ternyata pimpinan kloter tak mengenali, pertanda dia bukan berasal dari kloternya. Lalu saya ajak dia keluar hotel. Dia melayangkan pandangannya mengamati hotel-hotel di sekitarnya. Sampai matanya berhenti menemukan sebuah tanda yang dikenalinya. Ada teralis besi di tangga hotelnya. ”Itu hotel saya!” katanya gembira. Sayapun mengantarnya ke sana. Saya ingatkan agar dia mengingat-ingat nomor maktab yang tertera di dinding depan hotelnya itu.

Di depan pintu penjaga hotel menanyakan ID card nya. Saya jawab ’ma fi’, tak ada. Lalu saya lanjutkan dengan bahasa tarzan, sehingga akhirnya si Bapak diperbolehkan masuk. Alhamdulillah.

Baru saja masuk ke kamar setelah mengantarkan Bapak dari Bima itu, tiba-tiba muncul lagi seorang Ibu tua ke lantai kami. Seperti Bapak tadi, begitu keluar dari lift, dia langsung menyadari kalau dia salah lantai. Segera dia pergi berbalik.

Merasakan nikmatnya jadi guide barusan, maka sayapun segera mengejarnya. Saya ajak masuk ke lift. ”Ibu dari mana?” sapa saya. Dia menjawab dengan bahasa yang saya tak mengerti. Kalau bahasa Sunda, Minang, Melayu saya sedikit-sedikit bisa memahami. ”Kloter berapa?” Dia tak menjawab. Malah ada raut ketakutan di wajahnya. Saya ulangi pertanyaan saya. Tak ada jawaban. Kepala botak saya setelah tahallul dan jenggot saya yang keriting mungkin menakutkannya. Mungkin saya dikira orang asing. Padahal saya wong jowo asli. Sampai akhirnya saya simpulkan dia tak bisa berbahasa Indonesia.

Biar dia tidak takut, saya menepuk dada saya sambil berkata ”Jakarta, Indonesia”. Maksud saya, jangan takut saya dari Jakarta, Indonesia juga. Alhamdulillah ada sedikit senyum di wajahnya. Sementara dalam hati saya menyimpulkan dia dari Bima juga. Karena ciri-ciri fisik dan logatnya, serta pengalaman mengantar Bapak Bima yang kesasar tadi.

Saya ingat di salah satu lantai di hotel ini ada orang Bima. Maka saya antar si Ibu ke kamarnya. Benar dugaan saya. Meskipun si Ibu ini bukan rombongannya, tapi orang Bima ini bisa mengajaknya komunikasi dan berjanji mau mengantar ke Maktab si Ibu. Alhamdulillah.

Saya pun ngeloyor pergi kembali nyilem ke kamar saya.

Cikarang, 06 November 2007 08.40 pm

Sabtu, November 10, 2007

Berjaga di Hijir Ismail

Mengantar teman-teman yang akan berangkat menunaikan Ibadah Haji, saya kembali menulis pengalaman rohani sekitar ibadah ini. Semoga mencerahkan:

Berjaga di Hijir Isma’il

Salah satu tempat mustajabah di Makkah al Mukarramah adalah Hijir Isma’il. Sebuah tempat di dekat Ka’bah yang dibatasi dengan sebuah tembok berbentuk setengan lingkaran setinggi dada rata-rata orang Arab. Tempat ini adalah bagian dari Ka’bah. Konon setelah ka’bah terlanda banjir pada zaman sahabat, kaum Muslimin tidak memiliki cukup uang untuk membangunnya kembali, sehingga jadilah dinding setinggi dada ini. Karena itu shalat di dalamnya sama dengan shalat di dalam Kabah.

Sangat disayangkan ternyata selama 31 hari saya di Makkah hanya sekali saya shalat sunnah di sini. Entah kenapa saya dan istri seperti terlupa mengincar tempat ini. Padahal kami selalu tidak ketinggalan berdoa dan shalat sunnah di Maqam Ibrahim begitu selesai thawaf. Saya juga sempatkan berdoa apa saja di Multazam atau yang sejajar dengannya. Juga ketika sa’i, saya dan istri berhenti lama di bukit Syafa dan Marwa untuk berdoa apa saja seperti yang disunnahkan oleh Rasullullah Muhammad. Tapi Alhamdulillah penyesalan ini sungguh telah terobati ketika saya mendapatkan pengalaman yang sangat mengesankan di dalamnya.

Bermula dari keinginan saya dan istri mencium hajar aswad, sebuah batu yang terletak di salah satu sudut Ka’bah. Selama ini saya benar-benar putus asa untuk bisa melakukannya. Semakin mendekati Ka’bah, arus tawaf semakin kuat. Istri saya pernah sesak nafas ketika bersama saya mencoba mendekati Hajar Aswad. Akhirnya demi menghindari mudharat, kami keluar dari arus deras ini.

Makanya suatu hari kami bertekad untuk mabit atau bermalam di Masjidil Haram. Harapan kami suatu saat entah jam 1 atau jam 2 pagi, jumlah jamaah yang tawaf berkurang drastis, lalu kami leluasa mencium Hajar Aswad. Tapi ternyata, saat yang kami tunggu tak kunjung hadir. Jumlah jamaah yang bertawaf rasanya tak berkurang, tak bertambah. Jamaah datang dan pergi, kapanpun. Pagi, siang, sore, malam maupun larut malam, bahkan dini hari. Inilah Haji! Masjidil Haram sepi hanya pada saat jamaah haji berwukuf di Arafah dan bermalam di Mina!

Untuk mengganti kekecewaan itu, maka kami tawaf saja. Mencium Hajar Aswad hanya dilakukan dengan cium jauh saja sebagaimana yang juga diajarkan Rasulullah. Setelah tawaf itu kami mendekat ke Hijir Isma’il. Karena pada putaran terakhir tawaf saya sempat melihat Hijir Isma’il tidak penuh dengan pengunjung.

Ketika saya sampai di situ saya lihat hanya ada beberapa orang saja yang shalat. Saya pikir ini kesempatan yang langka. Saya akan manfaatkan waktu sepuas-puasnya shalat dua rakaat dan berdoa sebanyak-banyaknya. Tapi ketika mau masuk saya ditahan oleh seorang askar. Dia menjelaskan dengan Bahasa Arab kenapa Hijir Ismail ditutup. Penjelasan yang tak saya mengerti karena saya tidak paham Bahasa Arab. Beberapa saat kemudian datang seorang petugas mengendarai mobil pembersih lantai. Oo, ternyata mau dipel dulu, setelah seharian terus menerus dikunjungi jamaah haji. Saya dan istri pun berjaga saja di dekat jalan masuknya. Entah seperempat atau setengah jam kami di situ. Bagi kami waktu di Tanah Haram ini, tak ada yang sia-sia. Apapun kami lakukan asal untuk beribadah. Kalau di dunia materialis berlaku ’time is money’, di sini berlaku ’time is ibadah’. Menunggu setengah jam pun tak ada masalah. Karena sebentar lagi kami akan melaksanakan shalat dan berdoa di tempat yang mustajabah.

Bagai peserta lomba maraton, kami dan jamaah yang menunggu dari tadi segera berdesak-desakan masuk ke Hijir Ismail begitu askar membuka ’pintu’nya. Astaghfirullah, kami serasa ciut. Tempat yang tadi lapang, seketika menjadi sempit. Entah berapa puluh orang yang masuk ke area ini. Mungkin malah ratusan. Jangankan shalat dua rakaat. Berdoapun kami tak bisa berdiri tegak. Dorongan dari kanan kiri depan dan belakang, membuat kami tak bisa tegak khusuk berdoa. Jangan coba-coba duduk, karena kalau terinjak-injak tak ada yang bisa disalahkan.

Rasa putus asa mulai muncul, jika saja tidak muncul inisiatif seorang jamaah haji. Bersama beberapa temannya dia membuat pagar betis melindungi beberapa orang yang sedang nekat melaksanakan shalat. Tanpa dikomando, beberapa orang lainnya ikut melakukan hal yang sama. Mempersilakan sebagian jamaah shalat dan berdoa, dan sebagian yang lain menjadi pagar betisnya. Oh pemandangan yang indah. Tiba-tiba kompetisi berubah menjadi sinergi. Pesaing menjadi mitra. Kesadaran itu menguntungkan semua yang hadir di situ. Kalau terus berebut, mungkin tak satupun jamaah yang berhasil shalat dan khusuk berdoa. Maka sayapun setelah menjadi pagar betis, kini bersama istri beroleh kesempatan shalat dua rakaat dilanjutkan dengan doa-doa yang kami sudah siapkan. Hanya saja, beberapa doa tak terucap karena terhapus air mata yang tiba-tiba mengalir deras.

Cikarang, 28 Syawal 1428H/ 9 November 2007

*Oh indahnya, ukhuwah telah menyelesaikan banyak masalah.

Kamis, November 08, 2007

Menyebar Semerbak Minyak Wangi

Oleh: Choirul Asyhar

Salah satu jualan terlaris di Makkah dan Madinah adalah minyak wangi. Mulai yang mahal sampai yang satu riyal sebotol kecil. Kalau bisa nawar malah bisa mendapatkan minyak wangi seharga sepuluh riyal sekotak yang berisi 12 botol kecil. Jadi harganya kurang dari satu riyal sebotol.

Memakai wewangian saat shalat ke masjid memang disunnahkan bagi laki-laki. Kecuali saat berihram. Karena itu minyak wangi banyak dijual di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Melaksanakan sunnah berarti mendapat pahala. Tetapi banyak juga jamaah haji yang tidak selalu mengantongi minyak wangi, padahal tidak jarang yang seharian i’tikaf di masjid untuk mendapatkan keutamaan di Masjidil Haram Makkah ataupun Masjid Nabawi di Madinah. Ini berarti tidak mandi, meskipun ada banyak kamar mandi di sekitar masjid.

Demikian juga yang kami lakukan di Masjid Nabawi di Madinah. Untuk mengejar shalat empat puluh waktu di Masjid Nabi ini jamaah sering menunggu dari satu waktu shalat ke waktu yang lain di masjid saja. Misalnya dari Ashar ke Magrib lalu dari Maghrib ke Isya. Setelah Isya’ baru pulang ke hotel, karena makan malam nasi buncis sudah menunggu. Apalagi bagi jamaah yang hotelnya jauh dari Masjid Nabawi. Selama menunggu kami biasa tilawah al Quran. Sampai adzan dikumandangakan.

Saya tertegun ketika adzan baru dilantunkan, ada seorang jamaah berdiri. Lalu bergerak menghampiri orang di sekitarnya. Lantunan adzan yang indah bagai mengiringinya membagi kebaikan. Saya amati dari jauh apa yang dilakukannya. Ternyata dia mengoleskan minyak wangi ke tangan setiap orang yang dilewatinya. Saya lihat rata-rata jamaah tidak ada yang berkeberatan. Lha, wong berwewangian mengikuti sunnah Rasul kok keberatan. Apalagi gratis. Maka pemandangan yang lumrah ketika banyak yang menyodorkan kedua punggung tangannya agar diolesi minyak wangi. Saya pun dengan ringan menyodorkan tangan saya ketika dia sampai ke tempat saya duduk. Kedua punggung tangan sayapun diolesi minyak wanginya. Lalu saya usap dan ratakan ke seluruh telapak dan pergelangan tangan saya, juga pipi dan leher saya, sebagaimana yang saya lihat dilakukan oleh jamaah yang lain sebelumnya. Saya lihat si penjaja minyak wangi gratis itu berjalan cukup jauh sebelum akhirnya kembali lagi ketempatnya semula.

Subhanallah, kok ada orang yang mau bercapek-capek menyebar semerbak wewangian agar orang lainpun beroleh pahala melaksanakan sunnah Rasul. Tidak ada keuntungan material yang diperolehnya. Karena dia tidak sedang berdagang dengan manusia. Tapi berdagang dengan Allah keuntungannya pasti lebih dari sekedar materi di dunia. Karena Allah tidak menilai sedekah orang itu dari harga minyak wanginya. Tapi dari semerbak wewangian yang memenuhi ruangan Masjid. Wewangian yang memancar dari jamaah haji yang sedang shalat memuji dan mengagungkan nama-Nya.

Cikarang, 6 November 2007 9:30 pm

*kalau bisnisman pandai menangkap peluang usaha, dermawan pandai menangkap peluang sedekah.

Rabu, November 07, 2007

Distributor Air Zam Zam

Oleh : Choirul Asyhar

Ini bukan peluang usaha, sebagaimana yang dilakukan teman-teman sebagai distributor Aqua atau gas Elpiji.

Ini terjadi ketika saya sedang menunggu shalat jum’at di Masjidil Haram. Agar khusyu shalat, saya memilih duduk di lingkaran shaf-shaf dekat Ka’bah. Alasan saya sambil menunggu khutbah dimulai saya bisa memandangi Ka’bah sepuas-puasnya.

Agar bisa mendapatkan tempat di pelataran Ka’bah ini (bukan pelataran Masjidil Haram yang berarti berada di luar Masjid) kita harus datang lebih awal. Kalau dzuhur masuk jam 12.00, satu setengah jam sebelumnya kita harus sudah tiba di sini. Dan sekarang saya sudah berada di sini. Di pelataran Ka’bah. Dan jangan bayangkan panasnya matahari yang menyengat punggung kita. Tanpa atap, di siang bolong, meskipun lantai marmernya menyerap panas sehingga kaki kita tidak meloncot, tapi sinar matahari yang mengenai punggung dan kepala membuat baju kita basah oleh keringat.

Terbayang betapa hausnya saya, menunggu di panas terik selama satu setengah jam sampai khotib naik mimbar. Karena itu dari penginapan saya sudah membawa botol yang bisa memuat 2 liter air zamzam. Setiba di Masjidil Haram saya langsung menuju dispenser air zamzam. Memenuhi botol saya, lalu sambil menggantungkannya di leher saya bergerak ke depan ke arah Ka’bah. Saya mencari tempat sedekat mungkin dengan Ka’bah. Baru di pertengahan pelataran, saya sudah sulit maju lagi. Maka saya berhenti di sebuah shaf, meletakkan botol saya, dan shalat sunnah dua rakaat, karena tawaf sudah tidak memungkinkan.

Tidak berapa lama, tempat di kiri kanan saya sudah terisi. Beberapa diantaranya mengenakan pakaian khas Afghan atau Pakistan. Benar dugaan saya, panas matahari cukup membuat baju saya basah oleh keringat. Kepala saya terasa panas, maka saya perlu menutupinya dengan sajadah tipis yang saya bawa. Rasa haus mulai mencekik kerongkongan saya. Air pun saya tuang dari botol. Dan kuminum segelas. Selain air, tadi saya juga mengambil beberapa gelas plastik yang tersedia di lokasi dispenser air zamzam. Lalu saya persilahkan jamaah yang ada di kiri kanan saya untuk meminumnya dengan menuangkan air di botol ke gelas yang tersedia. Beberapa menyambut dengan antusias. Beberapa orang menolak karena belum haus atau malu. Saya pun cuek saja. Diambil silakan, tidak ya tidak apa-apa, toh saya sudah menawarkan.

Tiba-tiba seorang Afghan atau Pakistan menghampiri saya. Dengan bahasa isyarat minta air minum. Dengan senang hati saya persilahkan. Maka dia menuangkan air botol itu ke dalam gelas plastik. Satu gelas, dua gelas, tiga gelas, empat atau lima. Lalu diantarkan ke orang-orang di sekitarnya. Demikian sampai air dalam botol itu habis. Saya tertegun dan terpesona dengan sikap proaktifnya dalam memberi. Tidak cukup sampai di situ. Masih dengan bahasa isyarat dia izin meminjam botol saya yang telah kosong. Sekali lagi saya mempersilakannya. ‘Tafadhdhol!’ kata saya. Saya mengikuti gerakan sigapnya pergi menuju ke lokasi dispenser air zamzam yang berjarak 50 meteran dari tempat kami duduk. Jarak yang cukup jauh ditambah kesulitan menembus jamaah sholat jum’at yang semakin penuh. Tidak lama kemudian dia kembali dengan botol yang terisi penuh, sambil membawa tambahan gelas plastic.

Begitu sampai di tempat kami, dia duduk kemudian menuang air dalam botol itu ke dalam gelas-gelas plastic yang telah dijejernya di atas lantai Masjidil Haram. Lalu dibagi-bagikan kepada jamaah yang mulai kehauasan di sekitarnya. Tidak lupa satu gelas diberikan kepada saya. “Syukron” kata saya. Saya tidak ingat apakah dia menyisihkan satu gelas untuk dirinya atau tidak.

Panas terik di pelataran Masjidil Haram menjadi begitu menyejukkan.

Cikarang, 06 November 2007 05.55 pm

*Buat teman-teman yang sebentar lagi mulai beterbangan memenuhi panggilan-Nya.
Labbaika Allahumma Labbaik!

Serial Peluang Sedekah


Setelah menulis serial peluang korupsi, saya mencoba menuliskan pengalaman dan pengamatan saya tentang banyaknya peluang berbuat baik.

Serial peluang korupsi saya tulis demi kehati-hatian kita dalam mencari rizki yang bersih. Sebagian kita sering terjebak dalam kegiatan mencari rizki yang berlebihan sehingga tidak melihat rambu-rambu yang telah terpasang dalam dada kita. Atau pura-pura tidak melihat. Berbagai dalih dilontarkan demi merebut kesempatan dan peluang yang berseliweran di depan mata. Sehingga terpaksa harus mematikan alarm dalam dada itu. Karena sudah tidak sesuai lagi dengan zaman dan tempat. Patuh pada rambu-rambu berarti akan tergilas dalam persaingan.

Serial peluang korupsi, sekali lagi saya tulis agar kita kembali kepada fitrah kita. Kembali kepada kecenderungan asasi yang telah ditetapkan Allah. Kecenderungan berbuat baik dan sakit jika harus menabrak rambu-rambu hati nurani.

Salah satu fitrah kita adalah berbuat baik di mana-mana. Kalau ada peluang korupsi, peluang menyimpang. Maka pasti ada banyak pula peluang berbuat baik. Peluang bersedekah. Kata Allah dalam surat Asy-Syams: Fa alhamaha fujuraha wa taqwaha. Allah telah mengilhamkan jalan kefasikan dan ketaqwaan. Sungguh beruntung orang mensucikan diri dan merugilah orang yang mengotorinya.

Serial peluang bersedekah adalah catatan pengamatan saya bagaimana orang bersedekah dengan melakukan aktifitas yang sama sekali jarang kita pikirkan. Silakan menyimak. Semoga bermanfaat.

Kamis, November 01, 2007

Ra Edan Ra Kumanan

Sudah beberapa hari tidak beli koran, rubrik Hukum pada harian Republika Selasa lalu benar-benar meresahkan hati saya. Hanya ada 3 berita sebenarnya. Tapi ketiga-tiga tentang berita korupsi. Dua korupsi oleh pejabat dan satu korupsi oleh pengusaha yang biasanya juga melibatkan pejabat.

Pengusaha Edy Tanzil telah berubah menjadi maling kelas kakap dengan menilep lebih dari 1 trilyun uang negara. Tahun sembilan puluhan kabur entah kemana, tiba-tiba jadi berita karena dia telah mentransfer uangnya dari Australia ke Indonesia. Belum ada kepastian kebenarannya, kaena Jaksa Agung Hendarman Supandji harus melakukan klarifikasi dan investigasi kebenarannya kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Bau-baunya, kalau tidak terdeteksi, si ET kayaknya mau melakukan money loundry. Dan kalau uang panas itu tidak terdeteksi oleh PPATK, maka semakin ruwetlah benang kusut kong kalikong di negeri ini.

Prestasi pemerintah menangkap teroris, ternyata tumpul ketika harus menangkap koruptor. Ada joke, gimana bisa menangkap koruptor, kalau setiap mau nangkep disogok sama si koruptor. Beda dengan memangkap ‘teroris’. Para ’teroris’ tidak mau main suap. Karena mereka lebih suka mati daripada hidup menjilat-jilat.

Berita yang lain adalah Tito Pranolo, mantan direktur Pengembangan dan IT Perum Bulog yang divonis 4 tahun karena kasus impor sapi fiktif. Lalu ada mantan Sekjen Depkumham yang dituntut 4 tahun penjara karena kasus korupsi dalam pengadaan AFIS (automatic fingerprints identification system).

Ketika menyimak berita di televisi, beritanya tidak lebih menggembirakan. Banyak kasus anggota legeslatif yang terjebak dalam perilaku korup. Kabarnya ada 900-an anggota dewan yang terjerat dalam perkara korupsi. Ini sekitar 10 persen dari seluruh anggota dewan yang ada di seluruh Indonesia. Tapi yang 10 ini bisa menelan lenyap kebaikan yang sembilan puluh persen.

Ada lagi perilaku penyimpang dalam kehidupan seksual para pejabat. Sudah punya istri cantik tapi belum puas, sehingga mencari wanita lain untuk dizinahi. Sangat memalukan dan tak tahu diri. Pantas jika Rasulullah menghukum rajam sampai mati bagi perilaku demikian. Berbeda dengan bujangan yang belum pernah merasakan nikmat berhubungan suami istri, karena kelancangannya berzina hukumannya ’hanya’ dicambuk 100 kali.

Di channel lain ada anggota TNI yang tertangkap dalam sindikat pencurian motor. Anggota Komisi Yudisial dijerat oleh KPK karena mengambil untung dalam pengadaan tanah bagi kantor KY sendiri. Orang tua kita bilang ini adalah pagar makan tanaman. Tanaman yang seharusnya dilindungi dengan mendirikan pagar, eh kok malah justru rusak karena ulah si agar.

Lalu yang terbaru, proyek pemerintah yang berbaik hati membagi-bagi tabung gas gratis demi proyek konversi minyak tanah ke gas pun disalah gunakan oknum.
Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengintruksikan untuk menyelidiki impor liar ribuan tabung gas, padahal pertamina belum mengeluarkan keputusan resmi apa-apa masalah impor tabung gas ini, karena wacana impor masih dalam polemic. Rupanya polemic jalan, impor jalan terus. Dua container berisi tabung gas tersebut sudah nongkrong di Pelabuhan Tanjung Priok. Padahal kata Pak Menteri jika impor dilakukan secara normal, baru akan tiba di Jakarta Januari 2008. Dan ternyata importirnya adalah perusahaan baru yang bukan termasuk 12 perusahaan pemenang tender. Nah, lho. Kata ketua Asosiasi Industri Tabung Baja (Asitab), kemungkinan importir nantinya akan menjualnya ke anggota Asitab yang menang tender.

Ruwet! Tidak menang tender tapi jadi supplier para pemenang tender. Siapa yang untung? Dua-duanya. Siapa yang dibodohi? Pemerintah dan rakyatnya. Jadi para pemenang tendernya pun ternyata bukan full memproduksi sendiri, tapi beli sebagian atau seluruhnya dari importir. Sementara Pertamina kabarnya tidak akan impor demi memajukan industri dalam negeri.

Nah, siapa menipu siapa? Ujungnya pemerintah yang rugi karena harus bayar mahal harga tabung gas yang profitnya sudah menetes-netes ke importer, trader yang ngaku produsen, dan…… ‘oknum dalam’.

Kita tunggu hasil kerja Pemerintah menyelesaikan semua kasus ini. Segera! Kalau tidak, KPK akan loyo, karena kasus-kasus baru masih bakal bermunculan. Karena ternyata banyak yang edan berebut kue kecuali yang mau .... ra kumanan.