Senin, Oktober 29, 2007

Serial Peluang Korupsi - 7:

Di Kantor Bea Cukai (1)

Ketika bekerja di perusahaan asing, saya sempat mengurusi dokumen ekspor impor. Ketika membuat Pemberitahuan Impor Barang, staf saya salah hitung sehingga bea masuk yang dibayar terlalu besar. Saya mengurus lebih bayar ini yang besarnya kurang dari 5 juta. Maka saya menemui bendahara di kantor wilayah Bea Cukai di Purwakarta. Prosedurnya ternyata sangat mudah. Saya hanya membuat beberapa dokumen dan diserahkan kepada bendahara. Dan bendahara akan mengeluarkan surat yang ditujukan kepada bank di mana kas bea cukai disimpan. Isi surat adalah disposisi agar sejumlah kelebihan bayar itu ditransfer ke rekening kantor saya.

Lalu apa masalahnya sehingga cerita ini harus saya tulis? Ternyata mencetak surat itu sangat susah. Saya harus bolak-balik 3 kali untuk menjemput surat itu. Itupun hanya ditunjukkan kepada saya sebuah disket ditangannya. Sambil mengangkat tangannya yang memegang disket itu, sang bendahara berkata bahwa surat sudah ada di sini. Tinggal di print, tapi ngantri karena printernya banyak yang pakai. Itu adalah jawaban yang saya terima pada saat saya datang kedua kalinya. Kalau ngantri sejak sehari yang lalu, kan mestinya sekarang sudah selesai. Masak sih teman-temannya saling serobot pakai printer. Kalau pakai printer jaringan, kan siapa yang klik ’print’ duluan, itulah yang akan tercetak duluan. Bebek aja ngantri, masak petugas bea cukai tidak bisa ngantri.

Walhasil, ternyata kalau mau cepat diprint ’harus ada peluru’nya. Kata sang bendahara masak tandatangan cuma sambil menyanyikan lagu ’Padamu Negeri’ terus. Artinya pengabdian terus, seperti salah satu syair lagu itu.
”Padamu negeri kami mengabdi,.....
Bagimu negeri jiwa raga kami.”

Jadi semua harus ada sandaran peraturan dan perundang-undangannya. Dan kali ini merujuk pada UUD. Ujung-Ujungnya (minta) Duit! Saya diminta paling tidak kantor saya harus bayar 10% dari kelebihan bayar. Kabar-kabarnya sih bisa ditawar. Saya tidak tahu persis, karena saya pulang dan menyerahkan masalah ini ke manajer saya.

Kisah lain lagi. Ketika melakukan kesalahan dokumentasi, petugas bea cukai memanggil saya. Menunjukkan kesalahan saya, petugas merujuk pada salah satu pasal Undang-Undang Kepabeanan. Intinya saya atau perusahaan dituduh menyembunyikan informasi, atau terlambat menyampaikan informasi atau tidak memberikan informasi yang sesungguhnya. Maka sesuai dengan pasal tersebut perusahaan bisa dikenai denda administratif sekurang-kurangnya 5 juta rupiah. Karena saya atau staf saya yang salah dan takut perusahaan memberikan sanksi kepada kami, maka saya menawar 500 ribu saja. Melihat saya ketakutan, maka dia memberikan penawaran dengan angka 3 juta saja. Saya kaget 500 ribu saja saya belum tahu ambil dari mana, apalagi 3 juta. Maka saya lapor manajer saya. Terjadilah tawar menawar sampai tawaran kami tertinggi adalah 1.5 juta. Tapi sang petugas ngotot, kalau tidak 3 juta maka masalah ini akan dilaporkan ke kepala hanggar. Akhirnya saya pasrah, silakan dilaporkan ke kepala hanggar. Sekarang urusannya sudah Bea Cukai dengan Perusahaan.

Ketika masalah sampai ke Kepala Hanggar kami diinterogasi habis, barang kami sempat ditahan selama lebih dari seminggu, lalu kami diperintahkan memperbaiki dokumen dan ... alhamdulillah, kami tidak dimintai uang sepeserpun berkat kedekatan hubungan dengan sang kepala.

Jadi berkat kedekatan hubungan yang susah jadi mudah atau sebaliknya yang mudah jadi susah. Maka saya paham betul sebuah anekdot untuk para birokrat ”kalau bisa dipersulit kenapa dibikin mudah?” atau sebaliknya.

Selasa, Oktober 23, 2007

Serangan 1 Syawal

Ketika memasuki bulan syawal biasanya ada dua perasaan yang berkecamuk dalam diri kita. Yang pertama perasaan gembira karena besok kita berbuka alias tidak puasa lagi. Di mana karena merasa telah melaksanakan ibadah Ramadhan sebaik-baiknya maka kita merasa berhak atas kemenangan dan kesucian jiwa. Setelah sebulan penuh mengalami pembinaan dan penggemblengan di bulan Ramadhan, wajar jika kita bergembira menyambut kedatangan idul fitri. Sabda Rasulullah SAW bahwa dua kebahagiaan orang yang berpuasa adalah ketika berbuka dan ketika berjumpa Allah di surga nanti.

Perasaan yang kedua adalah sedih karena kenikmatan Ramadhan telah berlalu. Saat-saat Allah menurunkan berkah dan pahala yang berlimpah-limpah telah berlalu. Banjir berkah, rahmat dan pembebasan dari api neraka telah lewat. Saat-saat mendebarkan mengharapkan lailatul qadar tak ada lagi. Ya, semuanya tak ada lagi sampai Ramadhan tahun depan. Sedangkan kita tak pernah tahu apakah kita bisa merasakan kenikmatan itu tahun depan. Jangankan setahun lagi, apa yang terjadi pada diriku setelah mengakhiri tulisan inipun saya tak pernah tahu. Maka sedih ditinggal Ramadhan adalah perasaan yang wajar ada pada diri kita, jika kita pandai-pandai memaknainya.

Pengalaman 27 kali berpuasa ternyata tidak hanya dua perasaan itu yang saya alami.
Sering saya merenung, sebenarnya selama Ramadhan itu siapa yang sedang digembleng. Orang-orang yang beriman atau syetan? Sering saya merasakan justru syetan makin hebat ketika bulan syawal tiba. Dan kita semakin loyo menghadapinya. Penggemblengan yang kita alami selama sebulan tidak membuat kita semakin digdaya menghadapi godaan syetan. Atau karena kita kelelahan? Sehingga pas 1 Syawal kita kedodoran menghadapi serangan syetan.

Serangan macam apa?
Salah satu serangan yang tampak memukul kita secara telak adalah pada subuh 1 Syawal. Banyak adzan Subuh tidak dikumandangkan dari corong masjid. Masjid yang setiap subuh selama sebulan di bulan Ramadhan selalu ramai tiba-tiba jadi senyap. Sebagian kita ternyata sedang terlelap di atas kasur di balik selimut. Atau erat memeluk guling atau istri tercinta. Sebagian kita yang tadinya giat bangun sahur lalu berbondong-bondong berjamaah sholat subuh, tiba-tiba jadi pemalas. Bahkan dengan memaklumi diri sendiri bahwa ini semua adalah kewajaran setelah sebulan capek berperang memerangi hawa nafsu demi melaksanakan pengabdian kepada Allah dengan mengabaikan kesenangan-kesenangan duniawi yang sebelumnya erat melingkupi kita.

Lalu, dalam kondisi demikian syetan melakukan serangan fajar 1 Syawal. Kita semua bagai disirep. Banyak diantara kita terbagun dari tidur pulas karena harus sholat iedul fitri. Bukan karena harus sholat subuh. Sayang kalau baju baru yang semalam telah rapi disetrika tak dipakai dalam kegembiraan menuju lapangan untuk melaksanakan sholat ied. Lalu kenapa syetan yang telah sebulan dibelenggu, tak mendapatkan jatah makan dan minum dari kita, karena selalu diisolasi oleh kegiatan puasa kita menjadi sedemikian perkasa membelenggu kita tepat pada 1 Syawal sehingga kita malas memenuhi panggilan demi panggilan shalat.
Bukan itu saja, tepat tanggal 1 Syawal kita melepas kekangan hawa nafsu kita. Semangat mengabdi kepada Allah di bulan Ramadhan segera berganti dengan semangat memenuhi hawa nafsu kita. Mata yang selama Ramadhan tak lepas dari kitab suci, kini lalu lekat pada televisi. Mulut yang selama Ramadhan ramai melantunkan ayat-ayat suci, kini tak sepi oleh gosip membicarakan saudara sendiri. Pendengaran yang selama Ramadhan tak putus mendengarkan tausiyah setiap malam dan subuh, kini gemar menguping-nguping kenapa si Fulan kaya dan kenapa si Fulanah kini jadi istri penggede. Hati yang selama Ramadhan ditata dan dijaga, tiba-tiba ditumbuhi jamur kedengkian ketika ketemu kerabat yang lebih sukses saat pulang kampung.

Ketika Ramadhan kita bisa dengan ikhlas meninggalkan aktivitas halal hanya karena Allah melarangnya, mengapa ketika Ramadhan berlalu, selain yang halal yang harampun kembali akrab kita singgahi. Artinya tak ada lagi bedanya halal haram. Lalu semua jadi abu-abu atas rekayasa kita sendiri.

Katanya Ramadhan adalah kawah candradimuka bagi kita. Ramadhan akan meningkatkan derajat kita menjadi manusia beriman sekaligus bertaqwa. Tapi ternyata Ramadhan juga memberi kesempatan syetan dalam istirahatnya menyusun strategi untuk menggagalkan kita menjadi manusia bertaqwa.

Tidak perlu menjadi kafir. Cukuplah serangan 1 Syawal itu dikatakan berhasil jika syetan telah membawa kita kembali ke titik yang sama pada posisi sebelum kita memasuki Ramadhan. Cukuplah serangan itu disebut berhasil jika tak ada sisa-sisa tarbiyah Ramadhan dalam aktivitas kita sehari-hari. Selama Ramadhan bolehlah iman kita melejit naik. Asalkan setelah Ramadhan kita menjadi manusia yang sama saja dengan sebelum Ramadhan.

Jika demikian, siapa yang pantas menyebut dirinya ‘minal aidzin wal faizin’?

Senin, Oktober 22, 2007

Mudik: Perlukah?



Mudik bagi sebagian orang adalah saat yang ditunggu-tunggu. Tapi bagi sebagian yang lain acara ini sangat menegangkan bahkan menakutkan. Dengan berbagai alasan para penggemar acara mudik menganggap ini sebagai ajang silaturahim dengan orang tua dan kaum kerabat di kampong. Di saat yang sama bisa dijadikan ajang ’menyiarkan’ nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadanya dengan kelimpahan rezki. Karena itu mereka rela berdesakan di terminal bis dan kereta, antri tiket, berjubel di dalam bis dan kereta, lalu bermacet-macetan di jalanan. Bagi yang mengemudikan mobil pribadinya, cape di jalan rasanya akan segera terobati dengan kangennya berlabuh di kampung halaman.

Saya sendiri termasuk kelompok yang merasakan ketegangan dan ketakutan ketika harus mudik. Bayangan kemacetan di jalan; panas karena mobil saya tanpa AC; atau ketakutan mobil mogok; dengkul lemas karena kaki sibuk menyeimbangkan kopling dan gas, selalu mengahantui saya satu dua hari sebelum berangkat. Belum lagi urusan packing barang bawaan. Meskipun yang ini sudah bisa di handle istri. Maka paling tidak sehari sebelum berangkat saya harus banyak tidur di rumah. Bahkan sampai 3 jam menjelang berangkat saya masih berusaha tidur pulas. Meskipun agak susah karena stress.

Paling tidak dua tahun sekali saya harus mengemudikan mobil dari Bekasi ke Surabaya. Memang tidak ada rebutan ke ortu atau mertua, karena sudah ada jatahnya masing2. Jika tahun ini ke mertua di Tangerang, maka tahun depan ke ortu di Surabaya. Sangat melelahkan, lha wong nyopir 20-21 jam meskipun diselingi total istirahat 3-4 jam. Tapi apa boleh buat. Untuk ketemu ortu dan kerabat memang inilah saatnya, karena libur panjang ya saat inilah musimnya. Meskipun kita TDA, anak-anak kita kan punya libur sekolah panjang ya hari-hari gini. Dan musim liburan inilah saat efektif ketemu banyak kerabat, karena mereka semua juga liburan ke ortu dan mertua yang sama. Jadi masalah pemborosan, masih bisa diperdebatkan.


Bekasi-Surabaya PP bisa menghabiskan bensin saja sekitar 900 ribu sampai sejuta. Tapi di Surabaya kita bisa silaturahim ke banyak kerabat. Bayangkan jika kita mudik di luar lebaran. Dengan biaya yang sama mungkin hanya ketemu ortu saja. Akhirnya dengan pikiran demikian, meski melelahkan, menegangkan dan bahkan menakutkan kami toh mudik juga. Wal hasil jalanan tumpah ruah oleh para pemudik. Baik yang gembira maupun yang ketakutan.


Belakangan dengan bertambahnya ilmu, yang meresahkan saya adalah kenapa liburan panjang ada pada saat iedul fitri? Kalau bisa sih digeser di iedul adha.


Kenapa demikian? Karena sebelum idul fitri, konsentrasi kita di 10 hari terakhir ramadhan akan terpecah. Antara apakah meningkatkan kualitas ibadah ramadan dengan i'tikaf, misalnya. Ataukah menyiapkan segala sesuatunya untuk bekal mudik, pakaian dan kue-kue lebaran? Yang pertama dijanjikan lailatul qadar sebagai bekal bagi mudik ke kampung akhirat, yang kedua dijanjikan ketemu keluarga di kampung dunia. Kalau jujur, pasti kita memilih bekal bagi kampung akhirat.


Makanya bagaimana agar mudik jalan terus, dan ramadhan kita tetap terjaga? Maka saya bermimpi libur panjang digeser ke idul adha. Selain pulang kampung mengunjungi kerabat dan ortu, kita bisa melaksanakan ibadah qurban di kampung halaman yang mungkin lebih membutuhkan daripada di kota-kota besar, tempat kita mengais rezeki.


SELAMAT IDUL FITRI 1428H

Taqabbalallahu Minna Wa Minkum,Shiyamana wa shiyamakum.

Mohon maaf lahir dan batin.

Semoga Allah mempertemukan kita di Ramadhan tahun depan.

Sabtu, Oktober 06, 2007

Imam Masjid

Sebulan ini benar-benar sepi. Sepi orderan jadi imam masjid. Memang ini bukan sebuah profesi. Karena jadi imam tidak dibayar.

Di dekat rumah ada masjid yang lumayan besar. Tahun-tahun lalu, bahkan beberapa bulan lalu saya sering diminta mengimami sholat lima waktu, jika saya pas hadir di masjid itu. Bagi saya mengimami sholat sangat menyenangkan. Bagaimana tidak, memimpin muslimin menghadap Allah. Betapa tidak membanggakan. Apalagi dengan menjadi imam hafalan kita jadi terjaga, bahkan bisa bertambah karena kita terpacu untuk memperbanyak variasi bacaan surat, karena tidak ingin surat yang dibaca itu-itu melulu.
Tapi jadi imam juga riskan. Beresiko sholat kita tidak diterima oleh Allah. Karena terbersit perasaan riya’ ketika berdiri di depan. Ini lho aku sang imam, pemimpin sholat menghadap Allah. Wuih, suaraku bagus sekali, pasti banyak jamaah yang terhanyut mendengarnya. Ck... ck... bacaanku fasih dan tartil, makmum pasti mudah memaknainya. Kalau paham pasti air mata akan tumpah di pipi sampai jenggot. Ooo... Pantas saja sang Imam membacanya sambil menangis, wong bacaannya indah dan maknanya gamblang berisi berita gembira dan ancaman. Wah, hebat, imamnya hafalannya oke banget. Dia hafal ayat-ayat yang tidak umum dibaca imam-imam lain.

Selain riya’ sholat bisa tertolak jika bacaan imam sering salah. Meleset panjang dan pendeknya harokat. Belum kalau salah membaca tertukar dhommah dibaca fathah, yang bisa merubah makna pelaku justru menjadi obyek atau sebaliknya. Atau salah membaca ya menjadi ta yang bisa merubah siapa pelakunya dia atau kamu atau dia itu laki-laki atau perempuan. Kalau makmumnya faham maka pasti sang makmum akan gelisah... karena makna ayat yang dibaca jadi kacau balau. Bahkan tak bermakna. Kegelisahan saja mungkin selesai. Tapi kalau makmum dongkol dalam hatinya. Ada gerundelan di dalam hatinya, misalnya “makanya belajar tahsin, biar bagus bacaannya. Lagian, di masjid ada kursus bahasa Arab, gak pernah mau hadir. Jadinya bacaannya acak-acakan. Udah gitu diingetin susah, habis suara imam melalui pengeras suara sering menelan teguran makmum.” Kayak gini kok mau aja disuruh jadi imam. Yang terakhir ini memang rancu juga. Yang salah yang nyuruh apa yang disuruh, ya. Yang jelas, akan terjadi konflik meskipun dalam hati antara sebagian makmum dengan makmum lainnya yang tak paham apa yang salah dengan bacaan sang imam.

Rasulullah pernah bersabda bahwa sholat kita akan tertolak jika imamnya dibenci oleh makmum. Artinya kepemimpinannya delegitimate karena gak disukai oleh rakyatnya.
Nah, lho. Makanya jadi imam tidak mudah. Tidak sekedar kebanggaan jadi pemimpin. Tapi harus bisa memimpin. Memberi dan Melayani. Memberikan bacaan yang terbaik sehingga makmum khusyuk sholatnya karena makmum bisa mendengar dengan hatinya. Melayani makmum sehingga makmum merasa dituntun berjalan atau bercakap-cakap dengan Allah.

Karena itu pulalah, sebenarnya kenapa saya sering menolak diminta jadi imam ketika hadir pula di masjid orang yang lebih baik bacaannya dan lebih banyak hafalannya daripada saya. Mungkin karena sering menolak maka lama kelamaan orang tidak pernah lagi meminta saya jadi imam. Jadinya sekarang saya sepi orderan.

Kata Ustadz saya, kalau diminta jadi imam jangan menolak. Berbuat baik itu harus berlomba-lomba. Bukan mempersilakan orang lain berbuat duluan. Ini juga sering terjadi dalam hal mengisi shof di depan jika kita lihat ada yang kosong. Jangan mempersilakan orang lain maju sementara kita tetap tegak di tempat kita. Padahal kita lebih dekat daripada tempat kosong itu. Segera ambil ladang pahala yang disediakan Allah itu. Fastabiqul khoirot.

Masalah bacaan yang belum bagus? Ya… belajar, dong! Toh jadi imam atau tidak kita tetap dituntut untuk memperbagus bacaan kita. Warattilil qur’aana tartiila. Kata Allah dalam surat al Muzammil ayat 4. Kalau selalu mempersilakan orang jadi imam, kita tidak akan terpacu untuk belajar jadi lebih baik. Dalam hati ada apologi ’Toh, saya bukan imam ini.’ Kalau jadi imam ’kan mau nggak mau pasti kita akan belajar berpenampilan lebih baik. Demi riya’? Jangan! Tapi demi memberi dan melayani para jamaah. Menjadi terbaik tidak harus demi pujian orang. Tapi demi menebar rahmat, memberi dan melayani tadi.

Masalah pujian yang datang itu manusiawi. Itu salah satu bahasa komunikasi. Ada pujian ada basa basi demi melembutkan hubungan sesama manusia. Bayangkan kalau kita tidak pernah memuji atau dipuji orang. Hubungan antar manusia akan kering kerontang. Alasan pujian itu hanya milik Allah, jangan menghalangi kita untuk menghargai kehebatan seseorang. Tinggal kita kalau dipuji harus pandai mengelolanya, mengembalikan pujian itu kepada pemiliknya. Yaitu Allahu Rabbul ’alamin dengan ucapan ”Terima kasih, Alhamdulillahi rabbil ’alamin, saya bisa begini berkat izin dan pertolongan Allah. Segala pujian hanya milik Allah.”

Kalau tidak pandai-pandai kita bisa terperangkap dalam jeratan riya’. Setan sering membisik-bisiki manusia yang rajin beramal. “Awas lho, riya’”. Katanya seperti penasehat spiritual saja. “Percuma kamu beramal kalau riya’”. Saking seringnya bisikan ini sampai ke hati kita, maka kita menghentikan amal kita. Iya ya, ngapain beramal kalau tidak ikhlas. Ngapain beramal kalau tertolak karena riya’. Lalu karena takut riya’ maka kita tidak berbuat apa-apa. Dan ini berarti kita terjerembap dalam perangkap yang lain. Yaitu tidak beramal. Kalau tak beramal wajar saja tidak bakal riya’. Apa yang dibanggakan kalau tidak mengerjakan apa-apa. Apa yang diriya’kan wong tidak ada amal. Padahal mestinya tidak demikian. Takut riya’? Lawan dengan ikhlash! Karena lawan dari kata riya’ adalah ikhlas. Bukan tidak bekerja apa-apa.

Akhirnya, riya’ dosa, tidak beramal tidak mendapat pahala. Bahkan bisa juga menjurus ke dosa, misalnya kita cuek dengan lingkungan karena takut riya’, maka kita tidak peduli dengan kemaksiyatan yang terjadi. Jadi riya’ dosa, tidak beramal juga dosa. Benar-benar perangkap setan yang canggih.

Subuh tadi, karena lama tidak menjadi imam, maka ketika mengimami shalat, banyak ayat-ayat yang selama ini sudah saya hafal ‘ngelotok’, seperti macet di rongga mulut saya. Ketika shalat selesai, hafalan kembali lincah bergerak meluncur dari mulut. Demi penyesalan itu, maka saya membuat tulisan ini: Memang sedih tidak banyak order lagi. Amal kurang, hafalan hilang. Keikhlasan tak terasah.

Ya, Allah ampuni aku. Beri aku kesempatan sekali lagi. Mudahkan aku belajar membaca yang benar dan menghafal ayat-ayatmu. Mudahkan aku mempelajari ayat-ayatmu agar amalku lebih berkualitas. Jauhkan dari riya’ ganti dengan keihklasan selalu.

Hadanallahu wa iyyakum ajmain.

Cikarang Baru, 24 Ramadhan 1428 H/7 Oktober 2007