Minggu, Desember 30, 2007

Banjir Campursari


Mendengar berita tentang banjir di Solo, saya mencari berita tentang wilayah mana saja yang termena banjir. Karena anak saya sedang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Modern Islam As salaam, di Pabelan, Sukoharjo, Solo.

Alhamdulillah saya tidak menemukan berita yang tidak saya harapkan itu. Di situs http://www.assalaam.or.id/ pun tak ada beritanya sama sekali. Untuk menghibur diri saya menganggap anak saya aman di sana. Meskipun sebenarnya yang saya harapkan adalah tulisan bahwa di Pabelan aman-aman saja.

Selesai browsing, saya kembali ke inbox saya. Saya membaca posting dari seorang teman ukhti Titi Prawesti Hesti. Tulisan yang menyentakkan hati saya. Betapa musibah sering datang kepada kita setelah manusia berpesta pora melakukan perbuatan yang melalaikan Allah. Bukan hanya itu, mereka bahkan menantang Allah. Dengan menahan turunnya hujan. Seakan tidak menyadari bahwa balasan Allah tak mungkin lagi mereka mampu menahannya.

Berikut tulisan ukhti Hesti dengan harapannya agar menjadi ibroh –sekali lagi- kepada kita semua.

Saya membaca Koran Kompas (kamis, 27 Desember 07), Insya Allah bisa kita ambil hikmahnya.
*****************
Setelah Pesta Campursari, Karanganyar MenangisKARANGANYAR menangis. Setidaknya, 65 warga Karanganyar yang tinggal di kaki Gunung Lawu, tewas tertimbun longsoran tanah. Tragisnya, tangisan itu pecah ketika kabupaten yang terletak di sebelah timur Kota Surakarta (Solo) ini baru saja menggelar hajat akbar untuk memecahkan rekor MURI, yakni menggelar musik campursari nonstop selama 33 jam, 33 menit dan 33 detik yang berlangsung sejak Minggu siang (23/12) hingga Senin malam (24/12).
......
Hujan HilangSejak 19 Desember lalu, hujan selalu mengguyur daerah yang terkenal sebagai sentral tanaman anthurium itu. Hingga tanggal 22 Desember, Kabupaten yang berada di lereng Gunung Lawu itu masih dilanda hujan deras yang mengguyur dalam waktu pendek namun berulangkali.
Namun sejak acara campursari nonstop digelar pada hari Minggu tanggal 23 Desember, mendung yang menggelayut sejak beberapa hari tiba-tiba hilang. Sinar matahari menjadi terik. Dan bila mendung mulai menumpuk lagi, tak berapa lama kumpulan awan hujan tersebut sirna. Pagelaran campursari nonstop pun berlangsung meriah. Panggung luas dan rumah tenda yang disediakan panitia, sama sekali tidak tersentuh air hujan.
.......
Tumpah Dari LangitNamun sejak pesta ditutup, Selasa sore sekitar pukul 17.00 WIB, air hujan sepertinya ditumpahkan dari langit di kawasan sekitar Karanganyar, Surakarta, Sukoharjo, Klaten dan Wonogiri.
Sungai Bengawan Solo yang terakhir kali membanjiri Kota Solo pada tahun 1965, Selasa malam (25/12) kembali mengamuk. Air yang tak mampu tertampung di Bengawan Solo, menerjang ratusan rumah penduduk di kawasan Jebres, Serengan, Sangkrah, Semanggi, Joyotakan. Bahkan, air mencapai tiga meter di kampung Joyotakan.
......
********************
Seakan kita diingatkan oleh Allah SWT dengan beberapa firmannya, diantaranya :
”Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS.Al An'am:44).
Allah SWT seakan murka, rahmat yang berupa hujan seharusnya turun akan tetapi ditahan (biasanya pawang hujan menggunakan bantuan jin) hanya untuk perbuatan senang-senang yang menjauhkan diri dari ingat pada Allah SWT.
Semoga bagi saudara-saudara kita yang tertimpa musibah Allah SWT memberikan kekuatan, ketabahan, kesabaran dan semoga Allah memberikan yang lebih baik dari sebelum tertimpa musibah.
Bagi saudara-saudara kita yang meninggal dunia semoga Allah SWT memberikan tempat yang mulya disisi-Nya.
Dan semoga bencana ini memberikan hikmah pada kita semua untuk semakin mendekat kapada-Nya.
Maaf, bila ada tulisan yang kurang berkenan.
Jazakumullahu khoiro.
Wassalam

Senin, Desember 24, 2007

Memaknai Idhul Qurban


Seperti tahun-tahun lalu saya dan teman-teman ‘aktifis’ masjid di perumahan kami menggelar acara tahunan, yaitu Idul Adha. Dimana salah satu acaranya adalah melaksanakan pemotongan hewan kurban. Meski turun dibanding tahun lalu, kami memotong 5 ekor sapi dan 41 ekor kambing. Lalu dagingnya yang dikemas dalam 1200 kantong plastic itu didistribusikan ke delapan desa yang ada di Kecamatan Cikarang Timur.

Pekerjaan yang melelahkan, tapi menjadi ringan karena dikerjakan bersama-sama oleh panitia dan aktifis masjid di perumahan kami.

Membelanjakan uang untuk membeli hewan kurban adalah salah satu wujud melaksanakan sunnah Nabi Ibrahim a.s. Dan meskipun harga kambing kurang dari satu juta, tidak semua orang kaya melaksanakannya. Karena ini butuh jiwa pengorbanan dan kemauan yang kuat.

Bekerja dari mengadakan, memotong, menguliti, mencacah, mengemas dan mendistribusikan daging kurban juga adalah salah satu wujud pengorbanan. Di saat orang-orang berlibur panjang akhir tahun, para aktifis ini terus berkerja demi berbagi dengan kaum fakir miskin dan duafa. Dari jam setengah delapan sampai jam dua siang. Belum dihitung rapat-rapat yang dilaksanakan sepekan sekali sejak satu bulan yang lalu.

Tapi, pengorbanan ini meskipun berat bagi sebagian orang karena itu menjadi prestasi tersendiri, belumlah apa-apa dibandingkan dengan pengorbanan Bapak Para Nabi, yaitu Ibrahim khalilullah a.s.

Sepanjang hidup Ibrahim adalah pengorbanan itu sendiri.

Ketika muda, ditengah keluarga dan masyarakat penyembah berhala, Ibrahim berani mengorbankan dirinya demi menegakkan kebenaran yang diyakininya. Perang melawan kemusyrikan.

Meskipun belum mengenal Allah, Ibrahim meyakini kesalahan kebanyakan orang yang menjadikan berhala sebagai Tuhan. Berhala yang tidak bisa berkata-kata, tak bisa mengurus dirinya sendiri apalagi mengurus manusia penyembahnya, bagi Ibrahim tak masuk akal untuk disembah. Maka dia menghancurkan berhala-berhala itu kecuali yang terbesar dengan menggantungkan kapak di lehernya. Agar para penyembah berhala dengan logika ‘ketuhanan’nya akan menyangka bahwa berhala terbesarlah yang menghancurkan berhala-berhala kecil itu. Rupanya para penyembah berhala justru menggunakan logika nurani hatinya, bahwa berhala besar itu tak mungkin mampu menghancurkan berhala-berhala kecil, karena ia hanya sekedar batu yang dipahat. Maka karena mereka telah mengenal siapa Ibrahim sebelumnya. Yaitu sebagai penentang ideology berhala, maka mereka menangkap Ibrahim dan membakarnya.

Pengorbanan pertama dijalankan. Tapi Al Haq membelanya, dan mengganti panas api neraka menjadi dingin yang menyejukkan. Ya naaru kuni bardau wa salaama ’alaa Ibrahiim. Ibrahimpun selamat. Sebagai buah daripada kehanifannya.

Pengorbanan kedua adalah deklarasi ketuhanannya. Perjalanan mencari Tuhan, tidak menjerumuskan Ibrahim dalam kemusyrikan. Ketika bintang, bulan dan matahari sempat memikat hatinya sehingga hampir-hampir saja membuatnya menuhankan benda-benda langit itu, akalnya menidakkannya ketika bintang, bulan dan matahari itu bisa tenggelam dalam pergiliran siang dan malam. Karena logika Ibrahim mengajarkan Tuhan tak mungkin tenggelam. Tuhan itu tidak tidur, tidak istirahat, tidak lengah, tapi selalu hadir, selalu memberi cahaya hidayah, selalu mengawasi makhluknya. Maka kesulitannya menemukan Tuhan membuat dia pasrah kepada Tuhan, siapapun dia, dengan mengatakan Inna sholati, wa nusuki wa mahyaya, wa mamati, lillahi rabbil ’alamin. La syarikalahu wa bidza umirtu, wa ana awwalul muslimin. Sungguh, sholatku, ibadahku, hidup dan matiku, bagi tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu baginya dan kepadanya segala urusan, dan aku termasuk orang yang pertama-tama berserah diri.

Ibrahim mengorbankan dirinya, hidup dan matinya demi Allah semata. Dia pasrah kepada-Nya. Logika hatinya mengantarnya kepada kepasrahan kepada Allah, tuhan yang sebenarnya. Karena itu dia disebut sebagai hanifan muslima. Lurus.

Pengorbanan yang ketiga adalah ketika dia harus melaksanakan perintah Allah. Yaitu meninggalkan istrinya Ibunda Hajar dan anak bayi mereka Ismail, ditanah Bakkah yang kering tandus, tiada air tiada pepohonan di dekat Baitullah Ka’bah. Perintah Allah lebih penting daripada kecintaan kepada keluarga. Karena beliau yakin melaksanakan perintah Allah akan menarik kecintaan-Nya kepadanya. Dan cinta Allah akan mengalir kepada keluarganya. Terbukti, dalam kesendirian, ditinggal Ibrahim memenuhi perintah Allah, Hajar mendapatkan kasih sayang Allah. Setelah bekerja keras, Shofa-Marwa bolak-balik tujuh kali berlari-lari kecil mencari air untuk si bayi Ismail, akhirnya Allah memancarkan air zam-zam dari jejakan-jejakan kaki kecil Ismail a.s.

Sekali lagi pengorbanannya membawa berkah yang melimpah. Bahkan sampai kini, setiap jemaah haji dann umroh dapat merasakan nikmat dan berkah air zam-zam itu. Air yang selalu mengalir tak habis-habisnya.

Pengorbanan keempat.
Adalah seorang Ismail, putra satu-satunya yang sangat dicintainya. Ketika sudah cukup umur untuk membantu pekerjaan Ibrahim a.s, lewat tiga kali mimpi, Ibrahim diperintah Allah untuk menyembelihnya.

Kalau dulu ketika muda Ibrahim dengan mudah memenggal kepala berhala-berhala batu. Karena mereka adalah benda mati dan sumber kemusyrikan. Tapi kini, memenggal manusia hidup dan itu adalah anaknya sendiri. Dan itu adalah anak satu-satunya. Dan itu adalah anak yang sangat didamba-dambakan kelahirannya. Dan itu adalah anak remaja yang kini siap membantunya memikul amanah da’wah. Logika Ibrahim pasti tak mampu mencerna apa maunya Allah ini. Maka Ibrahimpun menyampaikan mimpinya ini kepada Ismail, siapa tahu Ismail dapat memberikan sumbang saran dari masalah yang pelik ini. Rupanya Ismail pun tidak menggunakan logika nafsunya. Maka dia hanya mengatakan, jika ini perintah Allah laksanakan wahai Ayahku, engkau akan menyaksikan bahwa aku termasuk orang yang sabar.

Yang menyembelih dan yang disembelih sudah sepakat. Selesai? Ternyata belum. Setan berkali-kali berusaha menggagalkan rencana ini. Bagi orang yang suka memanjakan logika akan mudah percaya kepada syaitan, karena syaitan juga suka membolak-balikkan logika berfikir. Ibrahim, Ismail dan Hajarpun berusaha dicerahkan oleh syaitan agar menggagalkan rencana gila Ibrahim dan kepasrahan bodoh Ismail ditambah kepercayaan aneh Hajar. Maka ketaatan dan keimanan kepada Allah membulatkan tekat mereka. Syaitan yang berupaya menggagalkan niat suci inipun harus diperangi dengan lemparan batu bertubi-tubi. Tujuh kali di tiga tempat mereka mencoba menggagalkan perintah ini. Yang kini diabadikan dalam ibadah jumrah ’ula, wustha dan aqabah.

Ibrahimpun melaksanakan perintah Allah, tanpa sedikitpun tahu sebelumnya bahwa nantinya Ismail diganti dengan seekor gibas. Bayangkan apalah artinya 5 ekor sapi dan 41 ekor kambing dibandingkan dengan seorang anak kandung remaja gagah dan tampan yang siap membantu berjuang di jalan da’wah.

Bahkan pengorbanan yang akan dilakukan Ibrahim dan Ismail inipun harus dilakukan melalui berbagai rintangan berperang melawan syaitan yang kata Allah adalah musuh yang sebenar-benarnya.

Sedangkan kami yang tahun lalu bisa berkurban 6 ekor sapi dan 60 ekor kambing, kenapa tahun ini menurun menjadi 5 dan 41? Pasti banyak alasan sepele yang dilontarkan sebagai rintangan-rintangan hebat. Tanpa kita melakukan perlawanan berarti untuk melaluinya sebagaimana Ibrahim melawan rintangan syaitan dengan melemparinya karena tekat yang kuat semata untuk berkurban melaksanakan perintah Allah, padahal yang akan dikurbankan bukanlah sapi atau sekedar kambing. Tapi Isma’il alaihis salam.

Allahumma sholli ’ala Muhammad wa ali Muhammad kama shollaita ’ala Ibrahim wa ali Ibramim. Wa baarik ’ala Muhammad wa ali Muhammad kama barakta ’ala Ibrahim wa ali Ibrahim.

Cikarang Baru, Idhul Adha 1428 H

Sabtu, Desember 15, 2007

Berusaha Kering di Tempat Basah

Siang ini saya mendapatkan panggilan telepon istimewa. Saya sebut istimewa karena yang menelepon adalah seorang teman lama. Yang kedua, istimewa karena dia mau konsultasi. ... Wah.. wah.. saya dianggap konsultan!

Sebut saja namanya Pak Eka. Dia mengabarkan bahwa sekarang dia bekerja di bagian General Affairs, yang salah satunya adalah mengurusi pembelian tiket para bos expat yang mau bepergian. Baik keluar negeri maupun di dalam negeri. Ceritanya dia baru saja ditelpon oleh perusahaan travel.

Travel : ”Pak Eka, kapan poinnya diambil?”
Pak Eka: ”Poin apa?”
Travel : ”Setiap pembelian tiket, Bapak mendapat poin.” Besaran pin berbeda-beda tergantung tujuan dan maskapai penerbangan yang dipakai.
Travel : ”Poin bisa diuangkan, Pak.”
Pak Eka bengong, karena nggak nyangka ada yang beginian.
Travel : “Ini biasa, Pak.”

Pak Eka mengatakan kepada saya, bahwa dia tahu persis bahwa ini bukan haknya. Karena yang beli tiket bukan dia. Tapi perusahaan. Dia Cuma pegawai yang membelikan tiket saja. Alhamdulillah, memang Pak Eka sudah sering ngaji, sehingga tahu benar bahwa yang demikian tidak boleh diambil. Apalagi untuk kepentingan pribadi. Bahwa ini adalah bahasa lain dari komisi. Atau discount yang pasti perusahaannya lebih berhak.

Terus? Apa masalahnya?
Pak Eka melanjutkan. Beberapa kali dia minta manajemen untuk membelikan karpet untuk musholla perusahaan. Tapi selalu ditolak, karena alasannya tidak ada hubungan dengan bisnis. Biasa.... perusahaan asing non muslim!

Nah, sekarang terpikir olehnya, yang kemudian ditanyakan kepada saya. Bolehkan poin dari perusahaan travel ini ditukar uang lalu dibelikan karpet untuk perusahaan?

Saya yang tiba-tiba dijadikan konsultan, bengong. Apalagi ini masalah agama yang fatwanya harus dipertanggungjawabkan tidak hanya di dunia ini saja. Saya katakan, jika ini poin untuk perusahaan, maka seharusnya kembalinya ke perusahaan. Musolla adalah aset perusahaan. Jadi boleh saja dibelikan karpet untuk Musholla perusahaan.

Tapi, biar aman yaitu agar Pak Eka, tidak terganggu imannya dengan uang yang ada di tangan, saya katakan, ”Minta aja kepada perusahaan travel agar anggaran untuk poin itu oleh travel dibelikan karpet. Jadi karpet itu menjadi sumbangan perusaan travel kepada Musholla perusahaan.” Dengan demikian, status karpet itu adalah hibah perusahaan travel kepada Mushola perusahaan.

Sami mawon? Entahlah. Saya juga pusing, karena saya bukan ahli fikih.
Bisnis sekarang memang sedemikian rumitnya. Banyak cara yang dipakai untuk mengikat customer. Tetapi yang dilakukan seringkali adalah memberikan advantage kepada pegawai kuncinya. Bukan kepada corporate itu sendiri.

Vendor tahu persis, bahwa corporate tidak punya hati dan nafsu. Yang punya hati dan nafsu adalah pegawainya. Maka yang perlu diikat adalah pegawainya. Dengan iming-iming komisi, discount, poin dsb.

Maka, kata Pak Eka, masalah poin ini tidak pernah ada pemberitahuan resmi B to B. Sehingga corporate tidak tahu. Karena bagi sebagian vendor lebih efectiv mempengaruhi man behind the gun dari pada the gun nya itu sendiri.

Maka, komisi dengan berbagai namanya sedemikian deras mengguyur para pegawai yang duduk di tempat seperti ini. Makanya tempat ini di sebut tempat yang basah. Pak Eka, tahu bagaimana panas dingin akan menghinggapi jiwa raganya jika dia membiarkan dirinya terguyur hujan komisi terus menerus. Maka dia berupaya keras agar bisa tetap kering di tempat basah.

Tentu sangat aneh dan ditertawakan orang jika di kolam renang kita menggunakan jas hujan yang menutup sekujur tubuh agar tidak basah kuyup.

Maka kalau tidak tahan diketawain orang ya tinggalkan saja kolam renang itu.
Demikian juga Pak Eka. Katanya, ”saya mau melamar pekerjaan lain aja, deh.” Tapi kali ini bukan karena takut masuk angin di tempat basah, tapi karena ”Presdir pelit banget. Masak untuk Musholla perusahaan saja gak mau beliin karpet.” Gara-gara itu dia harus mendapatkannya dengan cara tukar poin seperti yang saya sarankan.

Wah, pusing aku........ Ada saran?

Cikarang Baru, 15 Desember 2007

Sabtu, Desember 08, 2007

Niat Saja Tak Cukup

Hari ini, 8 Desember 2007, beberapa teman di kompleks perumahan kami termasuk Pak Afrizal, Pak Syawal dan istri, Pak Jefri dan istri, berangkat menuju asrama haji. Saya terbayang pasti mereka punya perencanaan sekecil apapun beberapa tahun yang lalu untuk menjadikan niatnya berangkat haji, insya Allah, terwujud hari ini.
Karena niat saja tidak cukup!
Berikut ini tulisan untuk menyemangati teman-teman yang ingin berhaji tapi belum dibarengi tindakan nyata untuk mewujudkannya.


Niat Saja Tidak Cukup

Ternyata niat saja tidak cukup। Harus ada ikhtiar. Usaha. Usaha apa yang bisa dilakukan oleh buruh seperti saya dan guru seperti istri saya? Menabung saja. Menyisihkan uang gaji untuk ditabung. Dan ternyata ini juga yang dilakukan oleh petani, pemulung, atau pedagang kecil di kampung saya.

Teringat oleh saya cerita Nenek Allahuyarham. Bahwa ada teman jamaah haji yang berangkat bersama Nenek dan Kakek tahun 70-an, yang ternyata adalah seorang pemungut puntung rokok. Ada pengusaha biting, yaitu lidi yang dipakai untuk memincuk daun sebagai pengganti piring para penjual bubur. Mereka menabung uang sedikit demi sedikit dalam kaleng susu. Sehingga terkumpul berpuluh-puluh atau beratus-ratus kaleng. Entah berapa puluh tahun sampai terkumpul uang ongkos naik haji.
Ada juga yang menabung uangnya ke tiang-tiang bamboo di rumahnya. Suatu usaha yang keras untuk merealisasikan sebuah niat.

Tapi apa yang sudah kami lakukan?
Belum ada. Hanya niat saja.

Maka merenungi hal ini, tahun 90-an saya mendatangi sebuah bank yang membuka produk baru saat itu, yaitu tabungan haji. Saya tertarik dengan iklannya yang terpampang di spanduk, yang kurang lebih bunyinya: “Kami akan wujudnya niat suci Anda.” Wow, niat saya pasti terwujud dengan membuka tabungan haji. Hebat.
Maka saya masuk ke Bank tersebut menemui customer service-nya untuk mengetahui bagaimana niat saya bisa terwujud. Di kepala saya yang terbayang adalah jalan pintas untuk mewujudkan niat saya. Dan Bank membantu saya melalui jalur cepat itu.
Ternyata jawabannya adalah, Anda cukup menabung sejumlah tertentu dan tidak boleh diambil sampai terkumpul senilai biaya perjalanan ibadah haji, yang waktu itu disebut ONH (ongkis naik haji). Semakin banyak uang yang ditabung setiap bulan semakin cepat niat Anda terwujud.
“Lha?” itu mah bisa saya lakukan di jenis tabungan apa saja. Termasuk juga nabung di rumah. Asal jangan diambil pasti terkumpul. Asal nabungnya banyak pasti cepat tercapai cita-cita saya. Saya merasa kenapa harus buka rekening baru, kalau saya sudah punya rekening tabungan lain di bank. Yang penting niatnya. Maka sayapun keluar dari bank, tidak jadi membuka rekening tabungan haji.
Sampai suatu hari di tahun 1998 atau 1999-an saya dikejutkan oleh telepon seorang teman yang dulu pernah sekantor. Saya terkejut sekaligus terharu dengan kabar yang dibawanya. Bahwa dia dan istri akan berangkat haji tahun ini. Subhanallah. Dengan gembira saya menyambutnya dan mendo’akan dengan tulus agar semua berjalan lancar; dan dia beserta istri menjadi haji mabrur. Lalu kami bertanya bagaimana dia bisa dapat rejeki nomplok ini? Ternyata jawabnya adalah dengan tabungan haji yang telah dibukanya beberapa tahun yang lalu.
Maya Allah. Saya terhenyak! Kalau saya dulu tahun 1990-an jadi membuka tabungan haji, mungkin sekarang saya juga akan terbang ke tanah suci. Sedangkan sekarang, tabungan yang saya punya karena bebas di tarik setor di mana saja tak kunjung terkumpul untuk ongkos naik haji.
Ternyata niat saja tidak cukup. Harus disertai dengan perencanaan yang matang dan komitmen untuk mencapainya. Salah satunya dengan menabung rutin dan tidak menariknya sampai terkumpul senilai biaya naik haji. Terbayang teman Nenek Allahuyarham. Kalau dia tarik setor seenaknya ke dalam tiang bamboo rumahnya berapa kali dia harus ganti tiang bambunya, sementara itu tak kunjung terkumpul uang ongkos naik hajinya.

Selasa, Desember 04, 2007

Di Atap Bis Antara Mina-Makkah


Sejak berangkat dari tanah air saya dan istri berketetapan hati untuk melaksanakan haji sebagaimana tata cara ibadah (manasik) haji yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. Salah satunya adalah menuju Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah, sementara rombongan KBIH kami langsung menuju Arafah.

Tetapi ternyata tidak mudah. Untuk jamaah Indonesia, Pemerintah Arab Saudi hanya menyediakan bis sesuai dengan route yang diminta oleh Depag RI. Dalam hal ini bis yang disiapkan adalah langsung menuju Arafah. Demikian penjelasan petugas haji pemerintah SA yang masih keturunan Indonesia dan beristri gadis Surabaya itu. Meskipun demikian karena kami berenam (tiga pasangan suami istri), petugas berjanji menyediakan satu mobil untuk mengantar kami ke Mina. Syukurlah.

Dengan perkiraan matang, kami berpamitan kepada pimpinan KBIH. Pimpinan mewanti-wanti jangan sampai mengejar sunnah mabit di Mina pada hari tarwiyyah tapi gagal wuquf di Arafah. Kami optimis. Bismillah. Maka kami berihrom setelah dhuha. Targetnya bisa shalat qasar Dhuhur, Asar , Magrib dan Isya’ juga di Mina tanpa jama’. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah.

Tapi sampai ba’da dzuhur kami masih di Makkah. Mobil yang dijanjikan tak kunjung tiba. Maka kami melaksanakan sholat jama qasar Dzuhur dan Asar di Makkah. Lalu berangkat ke Mina menggunakan mobil omprengan yang banyak beroperasi di SA. Sebuah mobil minibus, yang tak begitu bagus lagi. Tapi taripnya 20 riyal perorang! Tarip yang fantastis mahalnya untuk jarak Makah-Mina yang hanya 10 km yang biasanya hanya 3 riyal.

Alhamdulillah, menjelang sore hari kami tiba di Mina. Hanya berbekal semangat, kami minta sopir menghentikan mobilnya. Lalu kami turun di atas sebuah jembatan. Di mana kami bisa melihat banyak tenda berbendera Merah Putih di bawah sana. Maka kesanalah tujuan kami. Sambil menyeret trolley kami masing-masing, kami mengikuti jalan menurun menuju tenda-tenda itu. Ternyata setelah kesulitan ada kemudahan. Dan kemudahan yang kami jumpai adalah ternyata kami turun mobil di tempat yang tepat! Karena di bawah sana ada tenda-tenda maktab kami. Bahkan tenda untuk rombongan KBIH kami pun kami temukan dengan mudah. Lalu kami menggelar sajadah kami. Bersiap melaksanakan shalat Magrib yang sebentar lagi masuk.

Demikian sampai keesokan harinya ba’da dhuha kami berencana berangkat menuju Arafah. Karena wuquf di Arafah dimulai dengan shalat dzuhur dan ashar yang di jama’ ta’dim dan qasar. Alhamdulillah sekali lagi Allah memberi kemudahan. Ternyata pemerintah SA telah menyiapkan bis yang terus bergerak menyisir jamaah yang masih berada di Mina menuju Arafah. Dan kami berenam masuk ke dalam bis jamaah dari Bandung, yang juga melaksanakan mabit di Mina sejak tanggal 8 kemarin. Wal hasil jam 9.00 kami sudah masuk Arafah. Dan sopir berbaik hati mengantarkan kami ke perkemahan maktab kami. Subhanallah. Allah memberikan banyak kemudahan dalam kami.

Tekat kami terus tak pupus untuk mengikuti napak tilas perjalanan Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad SAW. Kami bertekad segera meninggalkan Mina setelah melaksanakan jumrah Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah untuk melaksanakan thawaf ifadah. Dan hari itu juga harus kembali ke Mina sampai tanggal 13 nanti.

Dan rombongan kami bertambah 1 pasang suami istri. Kini kami ber delapan. Sekali lagi kami pamit kepada pimpinan KBIH kami.

Sayang, pada hari pertama di Mina, bayangan kesemrawutan di jamarat membuat kami takut untuk berangkat sendiri. Maka pada jumrah aqabah ini kami tidak bisa melaksanakan pada waktu afdhal. Karena kami takut berpisah dari rombongan. Maka kami mengikuti jadwal yang sudah ditetapkan, yaitu melempar jumrah menjelang sore. Tentu saja akibatnya kami tidak bisa berangkat ke Makkah hari itu juga. Maka kami merencanakan ke Makkah esok harinya. Sebelum melempar jumrah ba’da dzuhur.

Ketika kami tiba di jalan besar di Mina, banyak bis menawarkan jasanya mengantar jamaah haji yang hendak melaksanakan tawaf ifadhah. Jadi kendaraan tidak ada masalah. Yang jadi masalah adalah ongkosnya. Berkisar antara 10 – 20 riyal perorang. Tarip dibedakan berdasarkan kenyamanan tempat duduknya. Kalau duduk di dalam bis bisa 15-20 riyal. Kalau mau murah yaitu 10 riyal, boleh duduk di atap bis, yang biasanya tempat menaruh bagasi.

Untuk mengirit biaya dan menambah pengalaman berhaji yang tidak serba enak, para suami ingin memilih duduk di atap. Tapi bagaimana dengan para istri? Di luar dugaan ternyata mereka menerima dengan antusias. Maka tidak berapa lami kami sudah meluncur ke Makkah di atas atap bis. Menyusuri sepanjang jalan, kami bisa menikmati pemandangan tanah SA yang gersang, gunung-gunung yang penuh dengan bebatuan, lalu pertokoan yang penuh dengan papan reklame produk jepang dan korea yang ditulis dengan huruf Arab. Bahkan sesekali kami harus menundukkan kepala, karena bis harus menembus terowongan yang membelah gunung. (meskipun tanpa menunduk kepala kami tak akan terantuk, karena terowongannya cukup tinggi).

Beruntung bis berjalan lambat, karena lalu lintas memang agak padat. Jadi ketakutan saya agak terhibur dengan pemandangan yang indah tadi. Dan syukur alhamdulillah saya dan istri yang suka mudah masuk angin tidak mengalaminya.

Sekitar jam 10 pagi kami telah tiba di Makkah. Karena banyak jalanan ditutup, bis berhenti sekitar 500 meter dari area Masjidil Haram. Kami berjalan kaki ke Masjidil Haram dan segera melaksanakan thawaf ifadah dilanjutkan dengan sa’i. Lalu duduk menunggu waktu dzuhur.

Ada kejadian aneh ketika kami selesai melaksanakan sa’i. Banyak sampah plastik dan debu-debu beterbangan di area mas’a. Sampai setinggi 3-4 meter. Ternyata kemudian kami ketahui dalam perjalanan pulang ke Mina. Ternyata angin kencang itu adalah pertanda akan turun hujan lebat yang kemudian menjadi banjir di Makkah dan Mina. (cerita tentang ini akan saya tulis nanti).

Senin, November 26, 2007

Ka'bah

Ketika pertama kali menyaksikan Ka'bah secara langsung. Saya seperti tak percaya, inikah Ka'bah. Bahkan inikah saya, yang dipanggil Allah untuk menyaksikannya langsung. Dalam jarak beberapa puluh meter saja.

Ungkapan perasaan saya saya tuangkan dalam puisi pendek ini. Karena saya telah kehabisan kata-kata untuk menggambarkannya:


Ka’bah

Oh, aku telah tiba di kota Makkah
Berombongan sekarang menuju Ka’bah
Berbalut kain ihram bersenandung talbiyah
Berjalan cepat menuju al Haram nan megah

Oh, di mana ini halamannya luas sekali
Inilah halaman masjidil haram nan suci
Mendengar tausiyah kami menghentikan langkah kaki
Sebentar lagi aku larut dalam ibadah suci
Warisan Ibrahim Bapak Para Nabi

Oh, inikah Ka’bah
Mata terus menatap hati terus bertanya
Ka’bah yang sering kulihat gambarnya
Kini aku berdiri terpaku di hadapannya

Bismillahi Allahu Akbar
Sambil tangan melambai ke arah hajar aswad
Kecupan jauh isyarat meniru sunnah
Lalu aku terhanyut dalam lautan manusia

Putih-putih mendominasi riak gelombang
Putarannya melawan arah jarum jam
Aku tersedot dalam pusaran tawaf
Tujuh putaran mengitari Ka'bah

Cikarang, 31 Maret 2006
Sajak kenanganku pertama berjumpa Ka'bah awal 2005

Sabtu, November 17, 2007

Dalam Arus Thawaf Aku Dimana



Bagi teman-teman yang akan menunaikan ibadah Haji, saya titip oleh-oleh ini. Satu dari sekian serpihan catatan perjalanan saya dua tahun yang lalu. Semoga bermanfaat.
Satu lagi, sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah ketika sahabatnya Umar Bin Khottob berpamitan untuk menunaikan umroh, ”sisipkan namaku dalam do’a-do’amu.”

Untuk Pak Harmanto, saya pinjam gambar thawafnya, ya. Jazakallah akhsanul jaza’

DALAM ARUS THAWAF AKU DIMANA

Dari penginapan ke Masjidil Haram kami berjalan kaki, karena jaraknya cuma setengah kilometer. Sepanjang jalan kami membaca talbiyah. Seperempat jam kemudian tak terasa kami sudah sampai di halaman Masjidil Haram. Ustadz dari KBIH memberikan penjelasan seperlunya. Lalu kami serombongan bergerak maju memasuki Masjidil Haram. Tidak lupa kami membacakan do’a-do’a tertentu sebagaimana yang diajarkan dalam buku manasik haji dari Depag.

Kami langsung menuju pelataran Ka’bah untuk melaksanakan thawaf.
Begitu melihat Ka’bah rasa haru menggantung. Kalau berkaca, mungkin terlihat mukaku mulai mewek pengen nangis. Ka’bah yang selama ini hanya aku lihat di gambar-gambar sajadah, cover-cover buku manasik atau VCD manasik haji, kini tepat berada di depan mata. Dengan lautan manusia yang terus berputar berlawanan arah jarum jam. Berlapis-lapis. Dari yang paling dekat dengan Ka’bah, lapisan berikutnya, berikutnya dan sampai lingkaran terjauh dari pusat pusaran yaitu Ka’bah. Bahkan kemudian ku ketahui, lautan manusia yang berthawaf itu juga ada di lantai dua dan lantai tiga Masjidil Haram.

Aku lalu mencebur ke dalam lautan manusia itu, dimulai dari garis coklat sejajar hajar aswad. Bismillahi Allahu Akbar. Lalu larut dalam pusaran manusia berkain serba putih mengelilingi Baitullah. Arus lautan manusia menghanyutkanku ke dalamnya. Do’a-do’a yang mengalir dari mulutku menghanyutkanku ke dalam derai air mata. Aku merasakan Allah sangat-sangat dekat. Seperti firman-Nya: Fa idza sa’alaka ‘ibadii ‘annii fa innii qoriib. Apabila hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka sungguh Aku sangat dekat.

Do’a-do’aku makin menenggelamkan aku dalam air mata yang mengucur makin deras. Apalagi jika mengingat firman-Nya bahwa Dia akan mengabulkan do’a yang hanya ditujukan kepada-Nya saja: Ujiibu da’watadda’i idza da’ani fal yas tajibuli. Seakan kinilah saat-Nya aku minta apa saja kepada Rab-ku Allah azza wajalla, arhamar rohimin. Yang Maha Pengasih diantara para pengasih. Aku panjatkan semua do’a-do’a yang aku hafal dan aku pahami. Aku hayati maknanya. Semakin aku resapi semakin deras air mata terperas. Do’a yang yang sering meluncur dari mulutku selama ini, menjadi mantera agung. Maknanya menyadarkanku betapa do’a ini, jika dikabulkan Allah, itu semata-mata hanya karena kasih sayang-Nya saja. Karena aku yang sedang berdo’a ini, betapa jauh dari manusia ideal yang pantas mendapatkan ridho-Nya dan sorga-Nya. Karena kasih sayang-Nya sajalah jika aku lalu dijauhkan dari kedahsyatan neraka. Sebagaimana do’a yang aku panjatkan berkali-kali sambil terus bergerak di arus lambat di antara rukun Yamani sampai garis Hajar Aswad: Rabbana atinaa fid dunya hasanah, wa fil akhiroti hasanah wa qinaa ‘adza bannar, wa adhilnal jannata ma’al abror ya Aziz, ya Ghoffar, ya Rabbal ’alamin.

Setiap selesai satu putaran thawaf, aku berhenti di garis coklat. Lalu melambaikan tangan menghadap hajar aswad sambil mengucapkan Bismillahi Allahu Akbar, sebagaimana yang diajarkan Rasulullah Muhammad SAW. Dengan nama Allah, Allah yang Maha Besar. Maka aku merasa mengkerut mengecil. Aku sangat kecil. Jangankan di hadapan Allah, di antara lautan manusia inipun aku bukan apa-apa. Aku manusia tak dikenal, yang sedang hanyut di dalam lautan ribuan, jutaan manusia dari berbagai bangsa. Aku manusia biasa tanpa atribut apa-apa. Pakaianku hanya dua lembar kain putih tak berjahit tak bermodel. Model mutakhir kain ihrom dari dulu hingga sekarang ya seperti ini, hanya dua lembar kain putih. Yang satu disarungkan yang satu disampirkan di pundak. Apa yang aku pantas banggakan dengan pakaian model begini? Kalau ada assesories yang paling mewah yang menempel di kain ihromku, itu adalah gesper gede, yang mungkin tidak bakalan aku kenakan nanti ketika aku mulai ngantor lagi karena nggak modis sama sekali. Kalau ada tas yang aku bawa, itu adalah tas paspor yang berisi tanda pengenal, yang harus aku bawa kemana-mana agar bila Allah menakdirkan aku mati hanyut di lautan manusia ini, petugas haji bisa mengenali siapa aku. Itupun hanya untuk diumumkan oleh Daker selanjutnya diinfokan oleh televisi dan koran di tanah air. Setelah itu mayatku akan dikubur di kuburan Ma’la tanpa label nama dan tanpa nisan. Aku yang kecil dan tak bermakna ini, maka pantaslah jika terus dan terus melantunkan do’a-do’a dengan penuh harap dan cemas agar Allah mengabulkannya. Tak apalah aku tenggelam dalam derai air mata. Memohonkan ampunan dari Allah. Daripada aku harus tenggelam ke dalam jilatan api neraka jahannam di kehidupan kedua yang abadi nanti.

Putaran demi putaran aku nikmati. Saat itu aku pun siap mati. Do’a dan permohonan ampunan dikabulkan Allah pasti. Karena ini tempat mustajabah. Saya yakin itu.

Rabu, November 14, 2007

Mahalnya Nilai Sholat


Sering kita cepat terpanggil oleh azdan. Begitu azdan dikumandangkan kita cepat berangkat ke Masjid dan shalat. Masalahnya bagaimana jika tidak ada Masjid di sekitar kita. Bahkan tidak ada adzan. Berikut tulisan teman saya Ardiansyah Kimiawan yang saya pulung dari mailbox saya atas izinnya:

Shalat ?? ya tinggal shalat, apa susahnya. Kalau anda naik mobil, cari masjid di pinggir jalan, minggirkan mobil, lalu shalat. Kalau anda sedang berjalan-jalan, di mall megah sekali-pun, anda tinggal tanya ke satpam, lalu (biasanya) meluncur ke basement, ambil air wudhu, langsung Shalat.

Tapi bagi teman saya yang pekerjaannya travelling ke negara2 ( yang sebagian besar bukan negara komunitas muslim ) maka Shalat menjadi sebuah barang mewah, dan memerlukan perjuangan yang besar.
Untuk mengetahui waktu shalat, dengan bantuan teknologi, tidak ada masalah. tetapi ketika hendak melaksanakan shalat, masalah mulai muncul. Sebagai seorang yang sedang bekerja, bukan wisatawan, jam-jam shalat kadangkala bertepatan dengan waktu dia harus presentasi di depan klien, atau sedang menghadiri rapat, atau malah kadang sedang dijamu oleh kliennya. Jadi seringkali waktu shalatnya digabung ( di jama').
Kerepotan ditambah saat hendak berwudhu. Banyak toilet di negara maju yang menggunakan sistem toilet kering, jadi jangan sampai anda membayangkan ada bak mandi plus gayung tersedia. Akhirnya westafel pun jadi sasaran. Dan sudah pernah dia tegur satpam gara-gara menaikkan kakinya ke westafel saat membasuh kaki.
Lalu yang terakhir, tempat untuk shalat. Memang sang teman biasa bawa sajadah, tapi mau shalat dimana ? Kadang ada pojokan, tapi kotor. Yang rada bersih, penuh orang berlalu lalang. Benar-benar susah, sampai-sampai andalan terakhir bila memang tidak menemukan tempat shalat adalah shalat di Hotel pada malam harinya.
"Mungkin bila seminggu sekali-dua kali, saya masih bisa menghibur diri, pasti Allah akan mengerti. Tapi kalau setiap hari saya menghadapi hal ini, tentu saya jadi berpikir, impaskah ditukark akhirat-ku dengan urusan duniawi begini." Keluhnya sambil memandang sepiring nasi padang, saat kami bertemu di Jakarta.
Ketika hendak berpisah, sambil menjabat erat tangan saya, sang teman berkata."Shalat sangat mudah disini, nikmatilah, reguk-lah sepuas-puasnya. Jangan abaikan kenikmatan ini, sungguh kita baru akan sadar akan suatu rahmat bila rahmat itu sudah tidak kita temukan lagi.!"
Insya Allah, bisik saya. Betapa terbukanya mata saya betapa kita amat sangat dimanja. Adzan dari masjid atau TV akan mengingatkan kita akan waktu shalat, dengan mudah kita bisa bergegas ke masjid atau mushala, bahkan di waktu kerja pun, atasan ( non muslim sekalipun ) tidak berani melarang kita shalat, benar-benar sebuah kemewahan bagi saudara-saudara kita yang tidak tinggal di negara Muslim.

Sayangnya kita seringkali mengabaikan kemewahan yang kita punya.
Cikarang, 10 agustus 2007

Senin, November 12, 2007

Pemandu Gratisan

Ini juga cerita tentang betapa banyaknya cara untuk bersedekah. Salah satunya adalah pengalaman menjadi pemandu. Bukan memandu wisatawan yang berhonor. Tapi ini memandu orang yang tersesat. Tidak berhonor, karena honornya sudah disedekahkan menjadi pahala, jika itu dilakukan dengan ikhlash.

Ini saya tulis bukan dalam rangka riya’, tapi dalam rangka membuka wawasan bahwa peluang bersedekah itu ada di mana-mana. Tidak harus dengan uang. Karena tidak semua obyek sedekah kita membutuhkan uang kita.

Kejadiannya pada hari kedua saya menginjakkan kaki di Tanah Suci Makkah.
Tadi malam setelah melalui perjalanan bus yang melelahkan dari Bandara King Abdul Aziz di Jeddah menuju maktab di Makkah, akhirnya kami tiba juga di hotel sederhana di Shif Amir, kira-kira 500 meter dari Masjidil Haram. Setelah istirahat beberapa jam, jam 7.00 kami bersiap-siap berangkat melaksanakan Umrah wajib.

Alhamdulillah karena jarak yang dekat, perjalanan dari hotel ke Masjidil Haram hanya kami tempuh kurang dari seperempat jam. Setelah ada sedikit penjelasan dari pembimbing, kami langsung melaksanakan umrah. Semuanya berjalan lancar. Jam 11.00 semua sudah selesai tahallul. Ba’da dhuhur kami pulang ke Hotel.

Ketika kami beristirahat di kamar, tiba-tiba ada seorang tua berpakaian ihram keluar dari lift. Celingukan sebentar, dia menyadari kalau kesasar. Kakinya yang tak beralas dan lusuh menunjukkan bahwa dia pun tidak menemukan sandalnya di Masjidil Haram karena mungkin keluar dari pintu yang berbeda dengan ketika memasukinya. Seorang teman menegaskan bahwa dia salah hotel atau salah kamar. Pak tua segera berbalik. Ke arah tangga, dia segera menuruni tangga. Lalu saya mengejarnya. Saya tanya ”Bapak dari mana?” Dari Bima, katanya.

Bapak di Maktab berapa? Tanya saya. Dia menggeleng. Kloter berapa dia juga tak tahu. Gelang ditangannya yang bergravir nama dan kloter asalnya pun tak terpasang. Tas Paspor di lehernya juga tak ada. Katanya ditinggal di hotel.

Saya ingat di lantai bawah ada kamar pimpinan kloter. Maka saya ajak Bapak ini ke sana. Ternyata pimpinan kloter tak mengenali, pertanda dia bukan berasal dari kloternya. Lalu saya ajak dia keluar hotel. Dia melayangkan pandangannya mengamati hotel-hotel di sekitarnya. Sampai matanya berhenti menemukan sebuah tanda yang dikenalinya. Ada teralis besi di tangga hotelnya. ”Itu hotel saya!” katanya gembira. Sayapun mengantarnya ke sana. Saya ingatkan agar dia mengingat-ingat nomor maktab yang tertera di dinding depan hotelnya itu.

Di depan pintu penjaga hotel menanyakan ID card nya. Saya jawab ’ma fi’, tak ada. Lalu saya lanjutkan dengan bahasa tarzan, sehingga akhirnya si Bapak diperbolehkan masuk. Alhamdulillah.

Baru saja masuk ke kamar setelah mengantarkan Bapak dari Bima itu, tiba-tiba muncul lagi seorang Ibu tua ke lantai kami. Seperti Bapak tadi, begitu keluar dari lift, dia langsung menyadari kalau dia salah lantai. Segera dia pergi berbalik.

Merasakan nikmatnya jadi guide barusan, maka sayapun segera mengejarnya. Saya ajak masuk ke lift. ”Ibu dari mana?” sapa saya. Dia menjawab dengan bahasa yang saya tak mengerti. Kalau bahasa Sunda, Minang, Melayu saya sedikit-sedikit bisa memahami. ”Kloter berapa?” Dia tak menjawab. Malah ada raut ketakutan di wajahnya. Saya ulangi pertanyaan saya. Tak ada jawaban. Kepala botak saya setelah tahallul dan jenggot saya yang keriting mungkin menakutkannya. Mungkin saya dikira orang asing. Padahal saya wong jowo asli. Sampai akhirnya saya simpulkan dia tak bisa berbahasa Indonesia.

Biar dia tidak takut, saya menepuk dada saya sambil berkata ”Jakarta, Indonesia”. Maksud saya, jangan takut saya dari Jakarta, Indonesia juga. Alhamdulillah ada sedikit senyum di wajahnya. Sementara dalam hati saya menyimpulkan dia dari Bima juga. Karena ciri-ciri fisik dan logatnya, serta pengalaman mengantar Bapak Bima yang kesasar tadi.

Saya ingat di salah satu lantai di hotel ini ada orang Bima. Maka saya antar si Ibu ke kamarnya. Benar dugaan saya. Meskipun si Ibu ini bukan rombongannya, tapi orang Bima ini bisa mengajaknya komunikasi dan berjanji mau mengantar ke Maktab si Ibu. Alhamdulillah.

Saya pun ngeloyor pergi kembali nyilem ke kamar saya.

Cikarang, 06 November 2007 08.40 pm

Sabtu, November 10, 2007

Berjaga di Hijir Ismail

Mengantar teman-teman yang akan berangkat menunaikan Ibadah Haji, saya kembali menulis pengalaman rohani sekitar ibadah ini. Semoga mencerahkan:

Berjaga di Hijir Isma’il

Salah satu tempat mustajabah di Makkah al Mukarramah adalah Hijir Isma’il. Sebuah tempat di dekat Ka’bah yang dibatasi dengan sebuah tembok berbentuk setengan lingkaran setinggi dada rata-rata orang Arab. Tempat ini adalah bagian dari Ka’bah. Konon setelah ka’bah terlanda banjir pada zaman sahabat, kaum Muslimin tidak memiliki cukup uang untuk membangunnya kembali, sehingga jadilah dinding setinggi dada ini. Karena itu shalat di dalamnya sama dengan shalat di dalam Kabah.

Sangat disayangkan ternyata selama 31 hari saya di Makkah hanya sekali saya shalat sunnah di sini. Entah kenapa saya dan istri seperti terlupa mengincar tempat ini. Padahal kami selalu tidak ketinggalan berdoa dan shalat sunnah di Maqam Ibrahim begitu selesai thawaf. Saya juga sempatkan berdoa apa saja di Multazam atau yang sejajar dengannya. Juga ketika sa’i, saya dan istri berhenti lama di bukit Syafa dan Marwa untuk berdoa apa saja seperti yang disunnahkan oleh Rasullullah Muhammad. Tapi Alhamdulillah penyesalan ini sungguh telah terobati ketika saya mendapatkan pengalaman yang sangat mengesankan di dalamnya.

Bermula dari keinginan saya dan istri mencium hajar aswad, sebuah batu yang terletak di salah satu sudut Ka’bah. Selama ini saya benar-benar putus asa untuk bisa melakukannya. Semakin mendekati Ka’bah, arus tawaf semakin kuat. Istri saya pernah sesak nafas ketika bersama saya mencoba mendekati Hajar Aswad. Akhirnya demi menghindari mudharat, kami keluar dari arus deras ini.

Makanya suatu hari kami bertekad untuk mabit atau bermalam di Masjidil Haram. Harapan kami suatu saat entah jam 1 atau jam 2 pagi, jumlah jamaah yang tawaf berkurang drastis, lalu kami leluasa mencium Hajar Aswad. Tapi ternyata, saat yang kami tunggu tak kunjung hadir. Jumlah jamaah yang bertawaf rasanya tak berkurang, tak bertambah. Jamaah datang dan pergi, kapanpun. Pagi, siang, sore, malam maupun larut malam, bahkan dini hari. Inilah Haji! Masjidil Haram sepi hanya pada saat jamaah haji berwukuf di Arafah dan bermalam di Mina!

Untuk mengganti kekecewaan itu, maka kami tawaf saja. Mencium Hajar Aswad hanya dilakukan dengan cium jauh saja sebagaimana yang juga diajarkan Rasulullah. Setelah tawaf itu kami mendekat ke Hijir Isma’il. Karena pada putaran terakhir tawaf saya sempat melihat Hijir Isma’il tidak penuh dengan pengunjung.

Ketika saya sampai di situ saya lihat hanya ada beberapa orang saja yang shalat. Saya pikir ini kesempatan yang langka. Saya akan manfaatkan waktu sepuas-puasnya shalat dua rakaat dan berdoa sebanyak-banyaknya. Tapi ketika mau masuk saya ditahan oleh seorang askar. Dia menjelaskan dengan Bahasa Arab kenapa Hijir Ismail ditutup. Penjelasan yang tak saya mengerti karena saya tidak paham Bahasa Arab. Beberapa saat kemudian datang seorang petugas mengendarai mobil pembersih lantai. Oo, ternyata mau dipel dulu, setelah seharian terus menerus dikunjungi jamaah haji. Saya dan istri pun berjaga saja di dekat jalan masuknya. Entah seperempat atau setengah jam kami di situ. Bagi kami waktu di Tanah Haram ini, tak ada yang sia-sia. Apapun kami lakukan asal untuk beribadah. Kalau di dunia materialis berlaku ’time is money’, di sini berlaku ’time is ibadah’. Menunggu setengah jam pun tak ada masalah. Karena sebentar lagi kami akan melaksanakan shalat dan berdoa di tempat yang mustajabah.

Bagai peserta lomba maraton, kami dan jamaah yang menunggu dari tadi segera berdesak-desakan masuk ke Hijir Ismail begitu askar membuka ’pintu’nya. Astaghfirullah, kami serasa ciut. Tempat yang tadi lapang, seketika menjadi sempit. Entah berapa puluh orang yang masuk ke area ini. Mungkin malah ratusan. Jangankan shalat dua rakaat. Berdoapun kami tak bisa berdiri tegak. Dorongan dari kanan kiri depan dan belakang, membuat kami tak bisa tegak khusuk berdoa. Jangan coba-coba duduk, karena kalau terinjak-injak tak ada yang bisa disalahkan.

Rasa putus asa mulai muncul, jika saja tidak muncul inisiatif seorang jamaah haji. Bersama beberapa temannya dia membuat pagar betis melindungi beberapa orang yang sedang nekat melaksanakan shalat. Tanpa dikomando, beberapa orang lainnya ikut melakukan hal yang sama. Mempersilakan sebagian jamaah shalat dan berdoa, dan sebagian yang lain menjadi pagar betisnya. Oh pemandangan yang indah. Tiba-tiba kompetisi berubah menjadi sinergi. Pesaing menjadi mitra. Kesadaran itu menguntungkan semua yang hadir di situ. Kalau terus berebut, mungkin tak satupun jamaah yang berhasil shalat dan khusuk berdoa. Maka sayapun setelah menjadi pagar betis, kini bersama istri beroleh kesempatan shalat dua rakaat dilanjutkan dengan doa-doa yang kami sudah siapkan. Hanya saja, beberapa doa tak terucap karena terhapus air mata yang tiba-tiba mengalir deras.

Cikarang, 28 Syawal 1428H/ 9 November 2007

*Oh indahnya, ukhuwah telah menyelesaikan banyak masalah.

Kamis, November 08, 2007

Menyebar Semerbak Minyak Wangi

Oleh: Choirul Asyhar

Salah satu jualan terlaris di Makkah dan Madinah adalah minyak wangi. Mulai yang mahal sampai yang satu riyal sebotol kecil. Kalau bisa nawar malah bisa mendapatkan minyak wangi seharga sepuluh riyal sekotak yang berisi 12 botol kecil. Jadi harganya kurang dari satu riyal sebotol.

Memakai wewangian saat shalat ke masjid memang disunnahkan bagi laki-laki. Kecuali saat berihram. Karena itu minyak wangi banyak dijual di sekitar Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Melaksanakan sunnah berarti mendapat pahala. Tetapi banyak juga jamaah haji yang tidak selalu mengantongi minyak wangi, padahal tidak jarang yang seharian i’tikaf di masjid untuk mendapatkan keutamaan di Masjidil Haram Makkah ataupun Masjid Nabawi di Madinah. Ini berarti tidak mandi, meskipun ada banyak kamar mandi di sekitar masjid.

Demikian juga yang kami lakukan di Masjid Nabawi di Madinah. Untuk mengejar shalat empat puluh waktu di Masjid Nabi ini jamaah sering menunggu dari satu waktu shalat ke waktu yang lain di masjid saja. Misalnya dari Ashar ke Magrib lalu dari Maghrib ke Isya. Setelah Isya’ baru pulang ke hotel, karena makan malam nasi buncis sudah menunggu. Apalagi bagi jamaah yang hotelnya jauh dari Masjid Nabawi. Selama menunggu kami biasa tilawah al Quran. Sampai adzan dikumandangakan.

Saya tertegun ketika adzan baru dilantunkan, ada seorang jamaah berdiri. Lalu bergerak menghampiri orang di sekitarnya. Lantunan adzan yang indah bagai mengiringinya membagi kebaikan. Saya amati dari jauh apa yang dilakukannya. Ternyata dia mengoleskan minyak wangi ke tangan setiap orang yang dilewatinya. Saya lihat rata-rata jamaah tidak ada yang berkeberatan. Lha, wong berwewangian mengikuti sunnah Rasul kok keberatan. Apalagi gratis. Maka pemandangan yang lumrah ketika banyak yang menyodorkan kedua punggung tangannya agar diolesi minyak wangi. Saya pun dengan ringan menyodorkan tangan saya ketika dia sampai ke tempat saya duduk. Kedua punggung tangan sayapun diolesi minyak wanginya. Lalu saya usap dan ratakan ke seluruh telapak dan pergelangan tangan saya, juga pipi dan leher saya, sebagaimana yang saya lihat dilakukan oleh jamaah yang lain sebelumnya. Saya lihat si penjaja minyak wangi gratis itu berjalan cukup jauh sebelum akhirnya kembali lagi ketempatnya semula.

Subhanallah, kok ada orang yang mau bercapek-capek menyebar semerbak wewangian agar orang lainpun beroleh pahala melaksanakan sunnah Rasul. Tidak ada keuntungan material yang diperolehnya. Karena dia tidak sedang berdagang dengan manusia. Tapi berdagang dengan Allah keuntungannya pasti lebih dari sekedar materi di dunia. Karena Allah tidak menilai sedekah orang itu dari harga minyak wanginya. Tapi dari semerbak wewangian yang memenuhi ruangan Masjid. Wewangian yang memancar dari jamaah haji yang sedang shalat memuji dan mengagungkan nama-Nya.

Cikarang, 6 November 2007 9:30 pm

*kalau bisnisman pandai menangkap peluang usaha, dermawan pandai menangkap peluang sedekah.

Rabu, November 07, 2007

Distributor Air Zam Zam

Oleh : Choirul Asyhar

Ini bukan peluang usaha, sebagaimana yang dilakukan teman-teman sebagai distributor Aqua atau gas Elpiji.

Ini terjadi ketika saya sedang menunggu shalat jum’at di Masjidil Haram. Agar khusyu shalat, saya memilih duduk di lingkaran shaf-shaf dekat Ka’bah. Alasan saya sambil menunggu khutbah dimulai saya bisa memandangi Ka’bah sepuas-puasnya.

Agar bisa mendapatkan tempat di pelataran Ka’bah ini (bukan pelataran Masjidil Haram yang berarti berada di luar Masjid) kita harus datang lebih awal. Kalau dzuhur masuk jam 12.00, satu setengah jam sebelumnya kita harus sudah tiba di sini. Dan sekarang saya sudah berada di sini. Di pelataran Ka’bah. Dan jangan bayangkan panasnya matahari yang menyengat punggung kita. Tanpa atap, di siang bolong, meskipun lantai marmernya menyerap panas sehingga kaki kita tidak meloncot, tapi sinar matahari yang mengenai punggung dan kepala membuat baju kita basah oleh keringat.

Terbayang betapa hausnya saya, menunggu di panas terik selama satu setengah jam sampai khotib naik mimbar. Karena itu dari penginapan saya sudah membawa botol yang bisa memuat 2 liter air zamzam. Setiba di Masjidil Haram saya langsung menuju dispenser air zamzam. Memenuhi botol saya, lalu sambil menggantungkannya di leher saya bergerak ke depan ke arah Ka’bah. Saya mencari tempat sedekat mungkin dengan Ka’bah. Baru di pertengahan pelataran, saya sudah sulit maju lagi. Maka saya berhenti di sebuah shaf, meletakkan botol saya, dan shalat sunnah dua rakaat, karena tawaf sudah tidak memungkinkan.

Tidak berapa lama, tempat di kiri kanan saya sudah terisi. Beberapa diantaranya mengenakan pakaian khas Afghan atau Pakistan. Benar dugaan saya, panas matahari cukup membuat baju saya basah oleh keringat. Kepala saya terasa panas, maka saya perlu menutupinya dengan sajadah tipis yang saya bawa. Rasa haus mulai mencekik kerongkongan saya. Air pun saya tuang dari botol. Dan kuminum segelas. Selain air, tadi saya juga mengambil beberapa gelas plastik yang tersedia di lokasi dispenser air zamzam. Lalu saya persilahkan jamaah yang ada di kiri kanan saya untuk meminumnya dengan menuangkan air di botol ke gelas yang tersedia. Beberapa menyambut dengan antusias. Beberapa orang menolak karena belum haus atau malu. Saya pun cuek saja. Diambil silakan, tidak ya tidak apa-apa, toh saya sudah menawarkan.

Tiba-tiba seorang Afghan atau Pakistan menghampiri saya. Dengan bahasa isyarat minta air minum. Dengan senang hati saya persilahkan. Maka dia menuangkan air botol itu ke dalam gelas plastik. Satu gelas, dua gelas, tiga gelas, empat atau lima. Lalu diantarkan ke orang-orang di sekitarnya. Demikian sampai air dalam botol itu habis. Saya tertegun dan terpesona dengan sikap proaktifnya dalam memberi. Tidak cukup sampai di situ. Masih dengan bahasa isyarat dia izin meminjam botol saya yang telah kosong. Sekali lagi saya mempersilakannya. ‘Tafadhdhol!’ kata saya. Saya mengikuti gerakan sigapnya pergi menuju ke lokasi dispenser air zamzam yang berjarak 50 meteran dari tempat kami duduk. Jarak yang cukup jauh ditambah kesulitan menembus jamaah sholat jum’at yang semakin penuh. Tidak lama kemudian dia kembali dengan botol yang terisi penuh, sambil membawa tambahan gelas plastic.

Begitu sampai di tempat kami, dia duduk kemudian menuang air dalam botol itu ke dalam gelas-gelas plastic yang telah dijejernya di atas lantai Masjidil Haram. Lalu dibagi-bagikan kepada jamaah yang mulai kehauasan di sekitarnya. Tidak lupa satu gelas diberikan kepada saya. “Syukron” kata saya. Saya tidak ingat apakah dia menyisihkan satu gelas untuk dirinya atau tidak.

Panas terik di pelataran Masjidil Haram menjadi begitu menyejukkan.

Cikarang, 06 November 2007 05.55 pm

*Buat teman-teman yang sebentar lagi mulai beterbangan memenuhi panggilan-Nya.
Labbaika Allahumma Labbaik!

Serial Peluang Sedekah


Setelah menulis serial peluang korupsi, saya mencoba menuliskan pengalaman dan pengamatan saya tentang banyaknya peluang berbuat baik.

Serial peluang korupsi saya tulis demi kehati-hatian kita dalam mencari rizki yang bersih. Sebagian kita sering terjebak dalam kegiatan mencari rizki yang berlebihan sehingga tidak melihat rambu-rambu yang telah terpasang dalam dada kita. Atau pura-pura tidak melihat. Berbagai dalih dilontarkan demi merebut kesempatan dan peluang yang berseliweran di depan mata. Sehingga terpaksa harus mematikan alarm dalam dada itu. Karena sudah tidak sesuai lagi dengan zaman dan tempat. Patuh pada rambu-rambu berarti akan tergilas dalam persaingan.

Serial peluang korupsi, sekali lagi saya tulis agar kita kembali kepada fitrah kita. Kembali kepada kecenderungan asasi yang telah ditetapkan Allah. Kecenderungan berbuat baik dan sakit jika harus menabrak rambu-rambu hati nurani.

Salah satu fitrah kita adalah berbuat baik di mana-mana. Kalau ada peluang korupsi, peluang menyimpang. Maka pasti ada banyak pula peluang berbuat baik. Peluang bersedekah. Kata Allah dalam surat Asy-Syams: Fa alhamaha fujuraha wa taqwaha. Allah telah mengilhamkan jalan kefasikan dan ketaqwaan. Sungguh beruntung orang mensucikan diri dan merugilah orang yang mengotorinya.

Serial peluang bersedekah adalah catatan pengamatan saya bagaimana orang bersedekah dengan melakukan aktifitas yang sama sekali jarang kita pikirkan. Silakan menyimak. Semoga bermanfaat.

Kamis, November 01, 2007

Ra Edan Ra Kumanan

Sudah beberapa hari tidak beli koran, rubrik Hukum pada harian Republika Selasa lalu benar-benar meresahkan hati saya. Hanya ada 3 berita sebenarnya. Tapi ketiga-tiga tentang berita korupsi. Dua korupsi oleh pejabat dan satu korupsi oleh pengusaha yang biasanya juga melibatkan pejabat.

Pengusaha Edy Tanzil telah berubah menjadi maling kelas kakap dengan menilep lebih dari 1 trilyun uang negara. Tahun sembilan puluhan kabur entah kemana, tiba-tiba jadi berita karena dia telah mentransfer uangnya dari Australia ke Indonesia. Belum ada kepastian kebenarannya, kaena Jaksa Agung Hendarman Supandji harus melakukan klarifikasi dan investigasi kebenarannya kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Bau-baunya, kalau tidak terdeteksi, si ET kayaknya mau melakukan money loundry. Dan kalau uang panas itu tidak terdeteksi oleh PPATK, maka semakin ruwetlah benang kusut kong kalikong di negeri ini.

Prestasi pemerintah menangkap teroris, ternyata tumpul ketika harus menangkap koruptor. Ada joke, gimana bisa menangkap koruptor, kalau setiap mau nangkep disogok sama si koruptor. Beda dengan memangkap ‘teroris’. Para ’teroris’ tidak mau main suap. Karena mereka lebih suka mati daripada hidup menjilat-jilat.

Berita yang lain adalah Tito Pranolo, mantan direktur Pengembangan dan IT Perum Bulog yang divonis 4 tahun karena kasus impor sapi fiktif. Lalu ada mantan Sekjen Depkumham yang dituntut 4 tahun penjara karena kasus korupsi dalam pengadaan AFIS (automatic fingerprints identification system).

Ketika menyimak berita di televisi, beritanya tidak lebih menggembirakan. Banyak kasus anggota legeslatif yang terjebak dalam perilaku korup. Kabarnya ada 900-an anggota dewan yang terjerat dalam perkara korupsi. Ini sekitar 10 persen dari seluruh anggota dewan yang ada di seluruh Indonesia. Tapi yang 10 ini bisa menelan lenyap kebaikan yang sembilan puluh persen.

Ada lagi perilaku penyimpang dalam kehidupan seksual para pejabat. Sudah punya istri cantik tapi belum puas, sehingga mencari wanita lain untuk dizinahi. Sangat memalukan dan tak tahu diri. Pantas jika Rasulullah menghukum rajam sampai mati bagi perilaku demikian. Berbeda dengan bujangan yang belum pernah merasakan nikmat berhubungan suami istri, karena kelancangannya berzina hukumannya ’hanya’ dicambuk 100 kali.

Di channel lain ada anggota TNI yang tertangkap dalam sindikat pencurian motor. Anggota Komisi Yudisial dijerat oleh KPK karena mengambil untung dalam pengadaan tanah bagi kantor KY sendiri. Orang tua kita bilang ini adalah pagar makan tanaman. Tanaman yang seharusnya dilindungi dengan mendirikan pagar, eh kok malah justru rusak karena ulah si agar.

Lalu yang terbaru, proyek pemerintah yang berbaik hati membagi-bagi tabung gas gratis demi proyek konversi minyak tanah ke gas pun disalah gunakan oknum.
Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengintruksikan untuk menyelidiki impor liar ribuan tabung gas, padahal pertamina belum mengeluarkan keputusan resmi apa-apa masalah impor tabung gas ini, karena wacana impor masih dalam polemic. Rupanya polemic jalan, impor jalan terus. Dua container berisi tabung gas tersebut sudah nongkrong di Pelabuhan Tanjung Priok. Padahal kata Pak Menteri jika impor dilakukan secara normal, baru akan tiba di Jakarta Januari 2008. Dan ternyata importirnya adalah perusahaan baru yang bukan termasuk 12 perusahaan pemenang tender. Nah, lho. Kata ketua Asosiasi Industri Tabung Baja (Asitab), kemungkinan importir nantinya akan menjualnya ke anggota Asitab yang menang tender.

Ruwet! Tidak menang tender tapi jadi supplier para pemenang tender. Siapa yang untung? Dua-duanya. Siapa yang dibodohi? Pemerintah dan rakyatnya. Jadi para pemenang tendernya pun ternyata bukan full memproduksi sendiri, tapi beli sebagian atau seluruhnya dari importir. Sementara Pertamina kabarnya tidak akan impor demi memajukan industri dalam negeri.

Nah, siapa menipu siapa? Ujungnya pemerintah yang rugi karena harus bayar mahal harga tabung gas yang profitnya sudah menetes-netes ke importer, trader yang ngaku produsen, dan…… ‘oknum dalam’.

Kita tunggu hasil kerja Pemerintah menyelesaikan semua kasus ini. Segera! Kalau tidak, KPK akan loyo, karena kasus-kasus baru masih bakal bermunculan. Karena ternyata banyak yang edan berebut kue kecuali yang mau .... ra kumanan.

Senin, Oktober 29, 2007

Serial Peluang Korupsi - 7:

Di Kantor Bea Cukai (1)

Ketika bekerja di perusahaan asing, saya sempat mengurusi dokumen ekspor impor. Ketika membuat Pemberitahuan Impor Barang, staf saya salah hitung sehingga bea masuk yang dibayar terlalu besar. Saya mengurus lebih bayar ini yang besarnya kurang dari 5 juta. Maka saya menemui bendahara di kantor wilayah Bea Cukai di Purwakarta. Prosedurnya ternyata sangat mudah. Saya hanya membuat beberapa dokumen dan diserahkan kepada bendahara. Dan bendahara akan mengeluarkan surat yang ditujukan kepada bank di mana kas bea cukai disimpan. Isi surat adalah disposisi agar sejumlah kelebihan bayar itu ditransfer ke rekening kantor saya.

Lalu apa masalahnya sehingga cerita ini harus saya tulis? Ternyata mencetak surat itu sangat susah. Saya harus bolak-balik 3 kali untuk menjemput surat itu. Itupun hanya ditunjukkan kepada saya sebuah disket ditangannya. Sambil mengangkat tangannya yang memegang disket itu, sang bendahara berkata bahwa surat sudah ada di sini. Tinggal di print, tapi ngantri karena printernya banyak yang pakai. Itu adalah jawaban yang saya terima pada saat saya datang kedua kalinya. Kalau ngantri sejak sehari yang lalu, kan mestinya sekarang sudah selesai. Masak sih teman-temannya saling serobot pakai printer. Kalau pakai printer jaringan, kan siapa yang klik ’print’ duluan, itulah yang akan tercetak duluan. Bebek aja ngantri, masak petugas bea cukai tidak bisa ngantri.

Walhasil, ternyata kalau mau cepat diprint ’harus ada peluru’nya. Kata sang bendahara masak tandatangan cuma sambil menyanyikan lagu ’Padamu Negeri’ terus. Artinya pengabdian terus, seperti salah satu syair lagu itu.
”Padamu negeri kami mengabdi,.....
Bagimu negeri jiwa raga kami.”

Jadi semua harus ada sandaran peraturan dan perundang-undangannya. Dan kali ini merujuk pada UUD. Ujung-Ujungnya (minta) Duit! Saya diminta paling tidak kantor saya harus bayar 10% dari kelebihan bayar. Kabar-kabarnya sih bisa ditawar. Saya tidak tahu persis, karena saya pulang dan menyerahkan masalah ini ke manajer saya.

Kisah lain lagi. Ketika melakukan kesalahan dokumentasi, petugas bea cukai memanggil saya. Menunjukkan kesalahan saya, petugas merujuk pada salah satu pasal Undang-Undang Kepabeanan. Intinya saya atau perusahaan dituduh menyembunyikan informasi, atau terlambat menyampaikan informasi atau tidak memberikan informasi yang sesungguhnya. Maka sesuai dengan pasal tersebut perusahaan bisa dikenai denda administratif sekurang-kurangnya 5 juta rupiah. Karena saya atau staf saya yang salah dan takut perusahaan memberikan sanksi kepada kami, maka saya menawar 500 ribu saja. Melihat saya ketakutan, maka dia memberikan penawaran dengan angka 3 juta saja. Saya kaget 500 ribu saja saya belum tahu ambil dari mana, apalagi 3 juta. Maka saya lapor manajer saya. Terjadilah tawar menawar sampai tawaran kami tertinggi adalah 1.5 juta. Tapi sang petugas ngotot, kalau tidak 3 juta maka masalah ini akan dilaporkan ke kepala hanggar. Akhirnya saya pasrah, silakan dilaporkan ke kepala hanggar. Sekarang urusannya sudah Bea Cukai dengan Perusahaan.

Ketika masalah sampai ke Kepala Hanggar kami diinterogasi habis, barang kami sempat ditahan selama lebih dari seminggu, lalu kami diperintahkan memperbaiki dokumen dan ... alhamdulillah, kami tidak dimintai uang sepeserpun berkat kedekatan hubungan dengan sang kepala.

Jadi berkat kedekatan hubungan yang susah jadi mudah atau sebaliknya yang mudah jadi susah. Maka saya paham betul sebuah anekdot untuk para birokrat ”kalau bisa dipersulit kenapa dibikin mudah?” atau sebaliknya.

Selasa, Oktober 23, 2007

Serangan 1 Syawal

Ketika memasuki bulan syawal biasanya ada dua perasaan yang berkecamuk dalam diri kita. Yang pertama perasaan gembira karena besok kita berbuka alias tidak puasa lagi. Di mana karena merasa telah melaksanakan ibadah Ramadhan sebaik-baiknya maka kita merasa berhak atas kemenangan dan kesucian jiwa. Setelah sebulan penuh mengalami pembinaan dan penggemblengan di bulan Ramadhan, wajar jika kita bergembira menyambut kedatangan idul fitri. Sabda Rasulullah SAW bahwa dua kebahagiaan orang yang berpuasa adalah ketika berbuka dan ketika berjumpa Allah di surga nanti.

Perasaan yang kedua adalah sedih karena kenikmatan Ramadhan telah berlalu. Saat-saat Allah menurunkan berkah dan pahala yang berlimpah-limpah telah berlalu. Banjir berkah, rahmat dan pembebasan dari api neraka telah lewat. Saat-saat mendebarkan mengharapkan lailatul qadar tak ada lagi. Ya, semuanya tak ada lagi sampai Ramadhan tahun depan. Sedangkan kita tak pernah tahu apakah kita bisa merasakan kenikmatan itu tahun depan. Jangankan setahun lagi, apa yang terjadi pada diriku setelah mengakhiri tulisan inipun saya tak pernah tahu. Maka sedih ditinggal Ramadhan adalah perasaan yang wajar ada pada diri kita, jika kita pandai-pandai memaknainya.

Pengalaman 27 kali berpuasa ternyata tidak hanya dua perasaan itu yang saya alami.
Sering saya merenung, sebenarnya selama Ramadhan itu siapa yang sedang digembleng. Orang-orang yang beriman atau syetan? Sering saya merasakan justru syetan makin hebat ketika bulan syawal tiba. Dan kita semakin loyo menghadapinya. Penggemblengan yang kita alami selama sebulan tidak membuat kita semakin digdaya menghadapi godaan syetan. Atau karena kita kelelahan? Sehingga pas 1 Syawal kita kedodoran menghadapi serangan syetan.

Serangan macam apa?
Salah satu serangan yang tampak memukul kita secara telak adalah pada subuh 1 Syawal. Banyak adzan Subuh tidak dikumandangkan dari corong masjid. Masjid yang setiap subuh selama sebulan di bulan Ramadhan selalu ramai tiba-tiba jadi senyap. Sebagian kita ternyata sedang terlelap di atas kasur di balik selimut. Atau erat memeluk guling atau istri tercinta. Sebagian kita yang tadinya giat bangun sahur lalu berbondong-bondong berjamaah sholat subuh, tiba-tiba jadi pemalas. Bahkan dengan memaklumi diri sendiri bahwa ini semua adalah kewajaran setelah sebulan capek berperang memerangi hawa nafsu demi melaksanakan pengabdian kepada Allah dengan mengabaikan kesenangan-kesenangan duniawi yang sebelumnya erat melingkupi kita.

Lalu, dalam kondisi demikian syetan melakukan serangan fajar 1 Syawal. Kita semua bagai disirep. Banyak diantara kita terbagun dari tidur pulas karena harus sholat iedul fitri. Bukan karena harus sholat subuh. Sayang kalau baju baru yang semalam telah rapi disetrika tak dipakai dalam kegembiraan menuju lapangan untuk melaksanakan sholat ied. Lalu kenapa syetan yang telah sebulan dibelenggu, tak mendapatkan jatah makan dan minum dari kita, karena selalu diisolasi oleh kegiatan puasa kita menjadi sedemikian perkasa membelenggu kita tepat pada 1 Syawal sehingga kita malas memenuhi panggilan demi panggilan shalat.
Bukan itu saja, tepat tanggal 1 Syawal kita melepas kekangan hawa nafsu kita. Semangat mengabdi kepada Allah di bulan Ramadhan segera berganti dengan semangat memenuhi hawa nafsu kita. Mata yang selama Ramadhan tak lepas dari kitab suci, kini lalu lekat pada televisi. Mulut yang selama Ramadhan ramai melantunkan ayat-ayat suci, kini tak sepi oleh gosip membicarakan saudara sendiri. Pendengaran yang selama Ramadhan tak putus mendengarkan tausiyah setiap malam dan subuh, kini gemar menguping-nguping kenapa si Fulan kaya dan kenapa si Fulanah kini jadi istri penggede. Hati yang selama Ramadhan ditata dan dijaga, tiba-tiba ditumbuhi jamur kedengkian ketika ketemu kerabat yang lebih sukses saat pulang kampung.

Ketika Ramadhan kita bisa dengan ikhlas meninggalkan aktivitas halal hanya karena Allah melarangnya, mengapa ketika Ramadhan berlalu, selain yang halal yang harampun kembali akrab kita singgahi. Artinya tak ada lagi bedanya halal haram. Lalu semua jadi abu-abu atas rekayasa kita sendiri.

Katanya Ramadhan adalah kawah candradimuka bagi kita. Ramadhan akan meningkatkan derajat kita menjadi manusia beriman sekaligus bertaqwa. Tapi ternyata Ramadhan juga memberi kesempatan syetan dalam istirahatnya menyusun strategi untuk menggagalkan kita menjadi manusia bertaqwa.

Tidak perlu menjadi kafir. Cukuplah serangan 1 Syawal itu dikatakan berhasil jika syetan telah membawa kita kembali ke titik yang sama pada posisi sebelum kita memasuki Ramadhan. Cukuplah serangan itu disebut berhasil jika tak ada sisa-sisa tarbiyah Ramadhan dalam aktivitas kita sehari-hari. Selama Ramadhan bolehlah iman kita melejit naik. Asalkan setelah Ramadhan kita menjadi manusia yang sama saja dengan sebelum Ramadhan.

Jika demikian, siapa yang pantas menyebut dirinya ‘minal aidzin wal faizin’?

Senin, Oktober 22, 2007

Mudik: Perlukah?



Mudik bagi sebagian orang adalah saat yang ditunggu-tunggu. Tapi bagi sebagian yang lain acara ini sangat menegangkan bahkan menakutkan. Dengan berbagai alasan para penggemar acara mudik menganggap ini sebagai ajang silaturahim dengan orang tua dan kaum kerabat di kampong. Di saat yang sama bisa dijadikan ajang ’menyiarkan’ nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadanya dengan kelimpahan rezki. Karena itu mereka rela berdesakan di terminal bis dan kereta, antri tiket, berjubel di dalam bis dan kereta, lalu bermacet-macetan di jalanan. Bagi yang mengemudikan mobil pribadinya, cape di jalan rasanya akan segera terobati dengan kangennya berlabuh di kampung halaman.

Saya sendiri termasuk kelompok yang merasakan ketegangan dan ketakutan ketika harus mudik. Bayangan kemacetan di jalan; panas karena mobil saya tanpa AC; atau ketakutan mobil mogok; dengkul lemas karena kaki sibuk menyeimbangkan kopling dan gas, selalu mengahantui saya satu dua hari sebelum berangkat. Belum lagi urusan packing barang bawaan. Meskipun yang ini sudah bisa di handle istri. Maka paling tidak sehari sebelum berangkat saya harus banyak tidur di rumah. Bahkan sampai 3 jam menjelang berangkat saya masih berusaha tidur pulas. Meskipun agak susah karena stress.

Paling tidak dua tahun sekali saya harus mengemudikan mobil dari Bekasi ke Surabaya. Memang tidak ada rebutan ke ortu atau mertua, karena sudah ada jatahnya masing2. Jika tahun ini ke mertua di Tangerang, maka tahun depan ke ortu di Surabaya. Sangat melelahkan, lha wong nyopir 20-21 jam meskipun diselingi total istirahat 3-4 jam. Tapi apa boleh buat. Untuk ketemu ortu dan kerabat memang inilah saatnya, karena libur panjang ya saat inilah musimnya. Meskipun kita TDA, anak-anak kita kan punya libur sekolah panjang ya hari-hari gini. Dan musim liburan inilah saat efektif ketemu banyak kerabat, karena mereka semua juga liburan ke ortu dan mertua yang sama. Jadi masalah pemborosan, masih bisa diperdebatkan.


Bekasi-Surabaya PP bisa menghabiskan bensin saja sekitar 900 ribu sampai sejuta. Tapi di Surabaya kita bisa silaturahim ke banyak kerabat. Bayangkan jika kita mudik di luar lebaran. Dengan biaya yang sama mungkin hanya ketemu ortu saja. Akhirnya dengan pikiran demikian, meski melelahkan, menegangkan dan bahkan menakutkan kami toh mudik juga. Wal hasil jalanan tumpah ruah oleh para pemudik. Baik yang gembira maupun yang ketakutan.


Belakangan dengan bertambahnya ilmu, yang meresahkan saya adalah kenapa liburan panjang ada pada saat iedul fitri? Kalau bisa sih digeser di iedul adha.


Kenapa demikian? Karena sebelum idul fitri, konsentrasi kita di 10 hari terakhir ramadhan akan terpecah. Antara apakah meningkatkan kualitas ibadah ramadan dengan i'tikaf, misalnya. Ataukah menyiapkan segala sesuatunya untuk bekal mudik, pakaian dan kue-kue lebaran? Yang pertama dijanjikan lailatul qadar sebagai bekal bagi mudik ke kampung akhirat, yang kedua dijanjikan ketemu keluarga di kampung dunia. Kalau jujur, pasti kita memilih bekal bagi kampung akhirat.


Makanya bagaimana agar mudik jalan terus, dan ramadhan kita tetap terjaga? Maka saya bermimpi libur panjang digeser ke idul adha. Selain pulang kampung mengunjungi kerabat dan ortu, kita bisa melaksanakan ibadah qurban di kampung halaman yang mungkin lebih membutuhkan daripada di kota-kota besar, tempat kita mengais rezeki.


SELAMAT IDUL FITRI 1428H

Taqabbalallahu Minna Wa Minkum,Shiyamana wa shiyamakum.

Mohon maaf lahir dan batin.

Semoga Allah mempertemukan kita di Ramadhan tahun depan.

Sabtu, Oktober 06, 2007

Imam Masjid

Sebulan ini benar-benar sepi. Sepi orderan jadi imam masjid. Memang ini bukan sebuah profesi. Karena jadi imam tidak dibayar.

Di dekat rumah ada masjid yang lumayan besar. Tahun-tahun lalu, bahkan beberapa bulan lalu saya sering diminta mengimami sholat lima waktu, jika saya pas hadir di masjid itu. Bagi saya mengimami sholat sangat menyenangkan. Bagaimana tidak, memimpin muslimin menghadap Allah. Betapa tidak membanggakan. Apalagi dengan menjadi imam hafalan kita jadi terjaga, bahkan bisa bertambah karena kita terpacu untuk memperbanyak variasi bacaan surat, karena tidak ingin surat yang dibaca itu-itu melulu.
Tapi jadi imam juga riskan. Beresiko sholat kita tidak diterima oleh Allah. Karena terbersit perasaan riya’ ketika berdiri di depan. Ini lho aku sang imam, pemimpin sholat menghadap Allah. Wuih, suaraku bagus sekali, pasti banyak jamaah yang terhanyut mendengarnya. Ck... ck... bacaanku fasih dan tartil, makmum pasti mudah memaknainya. Kalau paham pasti air mata akan tumpah di pipi sampai jenggot. Ooo... Pantas saja sang Imam membacanya sambil menangis, wong bacaannya indah dan maknanya gamblang berisi berita gembira dan ancaman. Wah, hebat, imamnya hafalannya oke banget. Dia hafal ayat-ayat yang tidak umum dibaca imam-imam lain.

Selain riya’ sholat bisa tertolak jika bacaan imam sering salah. Meleset panjang dan pendeknya harokat. Belum kalau salah membaca tertukar dhommah dibaca fathah, yang bisa merubah makna pelaku justru menjadi obyek atau sebaliknya. Atau salah membaca ya menjadi ta yang bisa merubah siapa pelakunya dia atau kamu atau dia itu laki-laki atau perempuan. Kalau makmumnya faham maka pasti sang makmum akan gelisah... karena makna ayat yang dibaca jadi kacau balau. Bahkan tak bermakna. Kegelisahan saja mungkin selesai. Tapi kalau makmum dongkol dalam hatinya. Ada gerundelan di dalam hatinya, misalnya “makanya belajar tahsin, biar bagus bacaannya. Lagian, di masjid ada kursus bahasa Arab, gak pernah mau hadir. Jadinya bacaannya acak-acakan. Udah gitu diingetin susah, habis suara imam melalui pengeras suara sering menelan teguran makmum.” Kayak gini kok mau aja disuruh jadi imam. Yang terakhir ini memang rancu juga. Yang salah yang nyuruh apa yang disuruh, ya. Yang jelas, akan terjadi konflik meskipun dalam hati antara sebagian makmum dengan makmum lainnya yang tak paham apa yang salah dengan bacaan sang imam.

Rasulullah pernah bersabda bahwa sholat kita akan tertolak jika imamnya dibenci oleh makmum. Artinya kepemimpinannya delegitimate karena gak disukai oleh rakyatnya.
Nah, lho. Makanya jadi imam tidak mudah. Tidak sekedar kebanggaan jadi pemimpin. Tapi harus bisa memimpin. Memberi dan Melayani. Memberikan bacaan yang terbaik sehingga makmum khusyuk sholatnya karena makmum bisa mendengar dengan hatinya. Melayani makmum sehingga makmum merasa dituntun berjalan atau bercakap-cakap dengan Allah.

Karena itu pulalah, sebenarnya kenapa saya sering menolak diminta jadi imam ketika hadir pula di masjid orang yang lebih baik bacaannya dan lebih banyak hafalannya daripada saya. Mungkin karena sering menolak maka lama kelamaan orang tidak pernah lagi meminta saya jadi imam. Jadinya sekarang saya sepi orderan.

Kata Ustadz saya, kalau diminta jadi imam jangan menolak. Berbuat baik itu harus berlomba-lomba. Bukan mempersilakan orang lain berbuat duluan. Ini juga sering terjadi dalam hal mengisi shof di depan jika kita lihat ada yang kosong. Jangan mempersilakan orang lain maju sementara kita tetap tegak di tempat kita. Padahal kita lebih dekat daripada tempat kosong itu. Segera ambil ladang pahala yang disediakan Allah itu. Fastabiqul khoirot.

Masalah bacaan yang belum bagus? Ya… belajar, dong! Toh jadi imam atau tidak kita tetap dituntut untuk memperbagus bacaan kita. Warattilil qur’aana tartiila. Kata Allah dalam surat al Muzammil ayat 4. Kalau selalu mempersilakan orang jadi imam, kita tidak akan terpacu untuk belajar jadi lebih baik. Dalam hati ada apologi ’Toh, saya bukan imam ini.’ Kalau jadi imam ’kan mau nggak mau pasti kita akan belajar berpenampilan lebih baik. Demi riya’? Jangan! Tapi demi memberi dan melayani para jamaah. Menjadi terbaik tidak harus demi pujian orang. Tapi demi menebar rahmat, memberi dan melayani tadi.

Masalah pujian yang datang itu manusiawi. Itu salah satu bahasa komunikasi. Ada pujian ada basa basi demi melembutkan hubungan sesama manusia. Bayangkan kalau kita tidak pernah memuji atau dipuji orang. Hubungan antar manusia akan kering kerontang. Alasan pujian itu hanya milik Allah, jangan menghalangi kita untuk menghargai kehebatan seseorang. Tinggal kita kalau dipuji harus pandai mengelolanya, mengembalikan pujian itu kepada pemiliknya. Yaitu Allahu Rabbul ’alamin dengan ucapan ”Terima kasih, Alhamdulillahi rabbil ’alamin, saya bisa begini berkat izin dan pertolongan Allah. Segala pujian hanya milik Allah.”

Kalau tidak pandai-pandai kita bisa terperangkap dalam jeratan riya’. Setan sering membisik-bisiki manusia yang rajin beramal. “Awas lho, riya’”. Katanya seperti penasehat spiritual saja. “Percuma kamu beramal kalau riya’”. Saking seringnya bisikan ini sampai ke hati kita, maka kita menghentikan amal kita. Iya ya, ngapain beramal kalau tidak ikhlas. Ngapain beramal kalau tertolak karena riya’. Lalu karena takut riya’ maka kita tidak berbuat apa-apa. Dan ini berarti kita terjerembap dalam perangkap yang lain. Yaitu tidak beramal. Kalau tak beramal wajar saja tidak bakal riya’. Apa yang dibanggakan kalau tidak mengerjakan apa-apa. Apa yang diriya’kan wong tidak ada amal. Padahal mestinya tidak demikian. Takut riya’? Lawan dengan ikhlash! Karena lawan dari kata riya’ adalah ikhlas. Bukan tidak bekerja apa-apa.

Akhirnya, riya’ dosa, tidak beramal tidak mendapat pahala. Bahkan bisa juga menjurus ke dosa, misalnya kita cuek dengan lingkungan karena takut riya’, maka kita tidak peduli dengan kemaksiyatan yang terjadi. Jadi riya’ dosa, tidak beramal juga dosa. Benar-benar perangkap setan yang canggih.

Subuh tadi, karena lama tidak menjadi imam, maka ketika mengimami shalat, banyak ayat-ayat yang selama ini sudah saya hafal ‘ngelotok’, seperti macet di rongga mulut saya. Ketika shalat selesai, hafalan kembali lincah bergerak meluncur dari mulut. Demi penyesalan itu, maka saya membuat tulisan ini: Memang sedih tidak banyak order lagi. Amal kurang, hafalan hilang. Keikhlasan tak terasah.

Ya, Allah ampuni aku. Beri aku kesempatan sekali lagi. Mudahkan aku belajar membaca yang benar dan menghafal ayat-ayatmu. Mudahkan aku mempelajari ayat-ayatmu agar amalku lebih berkualitas. Jauhkan dari riya’ ganti dengan keihklasan selalu.

Hadanallahu wa iyyakum ajmain.

Cikarang Baru, 24 Ramadhan 1428 H/7 Oktober 2007

Jumat, September 21, 2007

Sahur Heboh

Hari ke delapan Ramadhan ini benar-benar heboh. Tahun ini adalah tahun kedua bagi anak kami untuk menjalankan puasa Ramadhan. Umurnya baru 7 tahun, tapi sudah belajar puasa penuh. Karena itu harus bangun sahur jam setengah empat pagi dan berbuka ketika maghrib tiba. Ya tahun ini adalah tahun ke dua baginya. Dan hari ini adalah hari ke delapan dia harus bangun sahur.

Tujuh hari telah dilaluinya dengan mulus. Tapi pagi ini anak kami benar-benar bikin heboh. Paling tidak, heboh bagi ibunya. Awalnya saya tidak tahu persis. Karena tiba-tiba istri saya membangunkan saya sambil berkata: “Ayah, tuh temenin Athaya untuk sahur. Mungkin bisa lebih tenang.” Jadi saya bangun paling belakangan. Begitu saya ke ruang (tamu yang disulap jadi ruang) makan, saya lihat Athaya sedang merengek. Di depannya sudah ada semangkuk mie instant. Saya menyimpulkan, pasti tadi dia minta mie ini. Sedangkan ibunya meskipun tidak setuju, akhirnya mengabulkan juga. Tapi anehnya, justru mie di depannya pun tak disentuhnya. Istri terus bicara, bahwa kalau makan mie saja, pasti besok puasanya gak kuat. Jadi harus makan nasi dan telor ceplok juga.

Saya hanya berkata dalam hati: Mie-nya saja belum dimakan sudah disuruh makan nasi dan ceplok juga. Tapi saya tidak bicara apa-apa karena kalau saya nimbrung pasti sahur pagi ini makin heboh.

Berkali-kali istri mengingatkan dengan nada tinggi bahwa jamnya jalan terus. Anak kami berdalih bahwa Ibu juga tidak sahur, cuman makan minuman organik saja. Istri saya memang sedang melaksanakan terapi obesitasnya dengan makan makanan organik saja ketika sahur. Istri saya membela diri, bahwa ini berbeda. Makanan ini memang mengenyangkan, tapi rasanya tidak enak, sehingga Athaya pasti tidak suka. Karena itu ia tidak menganjurkan Athaya untuk ikut-ikutan sahur makanan organik saja.

Sekali lagi istri saya berkata untuk menakut-nakuti Athaya bahwa jamnya jalan terus. Athaya gak ngerti jam, sih, jadi nyantai aja. Juga kata-kata lain yang tidak mudah untuk menuliskannya dengan pilihan bahasa yang lembut. Karena mungkin amarah sudah semakin meningkat menguasai dirinya. Mungkin kesal akan tingkah laku sang anak membuat beberapa kata meluncur tanpa pikiran jernih.

Diam-diam kulirik jam dinding. Sudah jam empat kurang lima menit. Berarti sudah hampir setengah jam Athaya ngambek. Tak ada komunikasi lagi dari mulutnya kecuali suara rengekan. Lalu dia pindah menelungkup di lantai di depan kamar. Rengekannya masih berlanjut. Mungkin dia berharap kita sebagai orangtuanya mestinya tahu apa maksud tangisannya. Orang tua kan serba tahu. Tapi kenapa sekarang tidak paham juga. Istri saya malah menjawabnya dengan ”Athaya, Ibu mana tahu dengan apa yang ada dalam hatimu. Ayo, Athaya mau apa, sih?” Dia sekali lagi menjawab dengan rengekan.

Tangisan makin keras ketika istriku mengatakan bahwa meskipun dia tidak makan sahur hari ini dia tetap harus puasa. Saya meraba-raba bahwa kekesalan karena kebuntuan komunikasi menimbulkan keputusasaan sehingga melahirkan ’ancaman’ ini. Sebuah ’ancaman’ yang saya sendiri takut mendengarnya. Padahal sebelumnya saya hendak menengahi dengan mengatakan sebaliknya. Kalau tidak makan sahur, berarti tidak puasa. Saya yakin ’ancaman’ saya ini juga efektif. Karena anak kami paling takut kalau tidak puasa penuh. Tapi ’ancaman’ istri lebih dulu terdengar. Maka Athaya menangis makin keras mendengarnya. Mungkin dia takut kelaparan. Sementara tidak puasa juga ketakutan tersendiri baginya.

Saya terus menyelesaikan makan sahurku. Sama sekali tidak hendak memperkeruh suasana pagi yang penuh berkah ini. Dalam hati saya terus berdoa, agar tidak keluar dari mulut istriku ancaman dan omongan yang lebih tidak baik lagi.

Perlahan Athaya bangkit dari posisi telungkupnya. Dia harus bangkit untuk melihat jam dinding, karena pandangannya terhalang lemari kayu tuaku. Ternyata dia mengerti jam. Buktinya dia segera menuju meja (tamu yang disulap menjadi meja) makan. Diambilnya sepiring nasi dan telor ceplok yang sudah disiapkan setengah jam yang lalu. Dua puluh menit lagi masuk waktu imsya’. Seperti biasa, dia makan dengan pelan. Ibunya sudah masuk kamar setelah menyelesaikan ’makan’ sahurnya. Mengaji atau menyiapkan diri untuk shalat Subuh. Sesekali saya ingatkan agar dia makan lebih cepat. Kalau tidak keburu imsya’. Meskipun saya tahu bahwa imsya’ hanya tanda waktu berhati-hati sebelum masuk waktu Subuh dimana kita baru benar-benar harus mengakhiri sahur kita.

Benar juga. Nasinya habis pas waktu imsya’ tiba. Tapi dia belum minum segelaspun, tangannya justru meraih semangkok mie yang sudah dingin itu. Saya tidak melarangnya. Masih ada waktu 10 menit sebelum masuk Subuh. Dia lahap sekali menyeruput mie dinginnya. Celakanya, azan Subuh di masjid dikumandangkan lebih cepat tiga menit oleh Muazin. Mungkin jam di masjid lebih cepat 3 menit. Anakku masih menikmati mie-nya. ”Teruskan, masih ada waktu tiga menit” kata saya. Dia menghabiskan kuah mie-nya. Lalu menyeruput segelas air. Dalam hati saya berkata “Masih banyak waktu untuk kamu mengerti kewajiban agama ini”.


Cikarang Baru, 20 September 2007/ 8 Ramahan 1428 H.

Sabtu, September 15, 2007

Para Jundi Cilik Negeri Sakura

Oleh: Lizsa Anggraeny

Namanya Ibrahim, berumur kira-kira 4 tahun. Lahir dari pasangan muslim Pakistan dan muslimah Jepang. Jika ditanya cita-cita "Kalau sudah besar mau jadi apa?" Jawaban tegasnya selalu membuat bulu tangan berdiri. "Okikunattara Masjidil Haram no Imam ni naritai ! (Kalau sudah besar pengen jadi Imam di Masjidil Haram!). " Di usianya yang masih belia, Ibrahim hapal hampir seluruh juz ke-30 Al-Quran. Sebuah prestasi yang menggembirakan bagi seorang anak yang dididik dalam lingkungan negeri yang tidak mengenal agama seperti Jepang.

Namanya Ismail, berumur sekitar 4 atau 5 tahun. Lahir daripasangan muslim Afrika dan muslimah Jepang. Jika ditanya tentang cita-cita, jawabannya akan polos terdengar. "Okikunattara suika ni naritai (Kalau sudah besar ingin jadi buah semangka)" Jawaban khas anak kecil yang mungkin akan membuat orang dewasa tersenyum geli. Namun tidak begitu jika ditanya "Ismail orang mana?" Sosok kecilnya akan tegas menjawab "Boku wa Isuramu jin da yo (Aku orang Islam). " Sosok kecil Ismail mungkin belum mengenal nama-nama negara di dunia, yang ia tahu hanyalah kebangaan menjadi orang Islam – seorang anak muslim yang lahir di negeri sakura.

Tidak hanya Ibrahim dan Ismail, ada si kecil yang bernama Aisha, Nurjanah, Sahar, Samar, Hasan, Jibril, Thalhah serta beberapa jundi cilik lainnya yang tinggal di negeri sakura. Umumnya mereka terlahir dari pasangan campuran muslim asing dengan muslim Jepang. Tidak seperti anak-anak muslim di Indonesia, mungkin mereka jarang sekali mendengarkan adzan di masjid, tidak bisa sering berkumpul dengan sesama anak muslim lainnya, sulit mendapatkan buku cerita anak tentang Islam serta kurang memiliki lingkungan kondusif untuk belajar agama.

Dengan kondisi seperti ini, tidak salah jika para orang tua mereka begitu giat ingin menanamkan jiwa mencintai Allah dan Rasulullah saw sejak masih dalam buaian. Setiap dua pekan sekali ataupun dalam acara khusus, saya memiliki kesempatan bertemu dengan para jundi ini di sebuah masjid di sekitar kawasan Tokyo. Jarak perjalanan yang jauh sepertinya tidak menjadi halangan. Semata semua dilakukan untuk menambah 'charge' ruhaninya tentang Islam.

Dalam keterbatasan waktu dan ruang, para jundi cilik ini tetap memiliki semangat. Mengikuti dengan mimik serius setiap mendengarkan cerita shirah nabawi ataupun sahabat, tertawa-tawa riang ketika diajarkan huruf hijaiyah dengan permainan kotak dadu, serta kadang terbata-bata berusaha menghapalkan setiap untaian ayat, surat-surat ataupun doa-doa pendek yang dilantunkan bersama di antara kelincahannya sebagai anak-anak. Tak berlebihan rasanya, jika melihat sosok mungilnya yang ceria dengan semangat menyala, ingatan saya selalu melompat pada beberapa cerita tentang para pahlawan cilik di masa Rasulullah saw.

Rafi bin Khudaij pemanah cilik ulung yang pernah ikut dalam jihad di Uhud. Zaid bin Tsabit dalam usianya yang masih belia, diberi kehormatan membawa bendera pasukan muslim saat perang Tabuk karena memiliki hapalan Qur`an yang baik. Salamah bin Akwa yang tekenal sebagai pelari cilik tercepat hingga dapat menahan para perampok unta-unta Rasulullah saw dengan teknik berlarinya. Aisyah binti As-Shiddiq gadis cilik cerdas banyak mengetahui tentang Al-Qur`an, hadits, ataupun syair. Pahlawan cilik yang dalam usia belia, begitu bangga dengan izzah sebagai muslim. Dengan gagah berani membela Islam. Memerangi kezaliman dengan kecerdasan dan keahlian, meski terkadang musuh yang dihadang lebih besar daripada badanya.

Para jundi negeri sakura, mungkin belum tahu tentang cerita kehebatan para pahlawan cilik di atas. Dan mungkin pula kehebatan para jundi negeri sakura belum sebanding dengan para pahlawan cilik di zaman Rasulullah saw. Namun tak berlebihan jika para orang tua termasuk saya, memiliki harapan yang sama. Bahwa para jundi cilik tersebut suatu saat akan menjadi pahlawan pembela Islam di negeri sakura. Dalam jiwa kecilnya, akan tumbuh kebanggaan menjadi seorang muslim. Dapat gagah berani membela Islam. Memiliki sikap tegas berjuang melawan kezaliman berupa serangan pemikiran barat. Tidak terimbas oleh lingkungan sekuler yang siap menghancurkan mutiara imannya.

Perlahan tapi pasti, jundi-jundi cilik di negeri sakura akan tumbuh menjadi generasi yang berjiwa kuat seperti para pahlawan cilik di zaman Rasulullah saw. Mereka akan menjadipenegak panji Allah swt. Yang selalu bangga mengatakan "Saya adalah muslim. " Yang dapat meluaskan syiar Islam hingga semakin menyebar dan kokoh tegak di bumi sakura. Insya Allah.

Yakumo -Sepenggal catatan aishliz et FLP Jepang –

Sebuah cerita menarik, dari Eramuslim, 6 Sep 07 12:54 WIB, untuk menyemangati kita menyiapkan pula anak-anak kita menjadi penerus da’wah di Indonesia.

Rabu, September 12, 2007

Allahumma Ballighna Ramadhan

Sedianya aku bertekat menulis setiap langkah persiapanku menuju Ramadhan. Untuk menyemangati diri sendiri bahwa aku memang harus serius mengisinya dengan ibadah berkualitas.
Tapi lagi-lagi kesoksibukan melenakan saya. Sehingga jangankan menuliskan persiapan saya, mempersiapkan diripun aku tak bisa mendefinisikan. Apa yang telah kusiapkan. Tak ada data apa yang telah disiapkan dan apan yang belum. Sebagaimana ketika kita hendak pergi jauh. Daftar barang yang mau dibawa kita buat rapih, sehingga ketahuan mana yang sudah ada dan mana yang belum.

Padahal pengetahuan bahwa Ramadhan penuh berkah, sudah sering kita dengar. Dan kita percaya benar sebagai orang beriman. Tapi rasanya saya mau mencapainya saja tanpa cukup mempersiapkannya.

Juga Ramadhan yang penuh maghfirah. Siapa yang akan menolak dosanya yang bejibun diampuni Allah. Siapa lagi yang mengampuni dosa kita jika bukan Allah. Maka Choirul siapkan dirimu memenuhi panggilan Ramadhan. Menjemput ampunan-Nya.

Lalu Allah membebaskan kita dari Api neraka. Wow, api rokok saja kita tak sanggup menahannya. Apatah lagi api neraka yang panasnya sampai 70 kali lipat panas api dunia. Lalu apa yang akan kita siapkan untuk menyambut tawaran ini. Sami’na wa atho’na. Ya Allah aku mau. Siapa yang tak mau. Bimbinglah aku mendapatkannya.
Oh, kesempatan yang sayang jika lewat begitu saja. Kapan lagi kita bisa mendapatkannya kalau bukan sekarang.
Beberapa menit lagi Ramadhan datang. Itupun belum tentu umur kita sampai, apatah lagi menunggu Ramadhan tahun depan.

Tertunduk hatiku memohon lagi kepada Allah
Allahumma ballighna Ramadhan.....
Allahumma ballighna Ramadhan....
Allahumma ballighna Ramadhan....

Cikarang Baru, 12 September 2007

Ramadhan Countdown -2

6 Hari Lagi

Semakin dekat, semakin terasa
Tak bakal bisa ditolak kehadirannnya
Betapapun berat hati menerimanya
Dia pasti datang menjelang

Maka kenapa kita tak siap-siap saja menyambutnya
Kalau di dalamnya banyak Allah menjanjikan kebaikan bagi kita
Kenapa tak kita tangkap saja kebaikan itu
Kenapa tak kita siapkan saja syarat-syaratnya

Demikian guruku selalu mengajarkan
Tapi persiapanku pun tak kunjung lengkap
Rasanya aku selalu menyiapkan diri
Tapi selalu saja aku tak percaya diri

Ketika ruhiyah harus diasah
Tetap saja banyak aktifitas yang kulakukan justru menumpulkannya
Ketika hatiku bertekat menghadap Allah malam hari
Selalu saja nafsuku membisik-bisiki
Tidur lebih baik agar besok segar mencari rizki

Ketika harus berlatih menahan diri sepekan dua kali
Susah benar bangun sahur karena semalaman tidur larut sekali
Ketika kutahu Rasulullah manusia mulia
Susah payah mempersiapkan diri sejak dua bulan sebelumnya
Oh, siapakah saya merasa ringan dengan kedatangan bulan mulia ini

Cikarang Baru, 7 September 2007

Serial Peluang Korupsi - 6:

Di Jalan Raya (2)

Ketika coba-coba jualan kayu untuk palet, pada pengiriman pertama saya ikut menumpang truk. Sekitar jam sembilan malam truk masuk ke sebuah pintu tol. Baru saja truk meluncur setelah menerima tiket tol, sopir telah menginjakkan lagi kakinya di pedal rem. Truk berhenti tepat di belakang mobil polisi yang dari tadi berhenti di bahu jalan sambil menyalakan lampu sirine polisinya. Sopir truk turun menuju mobil polisi. Tidak lama, karena semuanya sudah disiapkan. Sopir truk mengulurkan sejumlah uang. Selesai.

Ketika truk kembali berjalan saya menanyakan apa yang dia lakukan tadi. Katanya, ini hal yang biasa. Setiap lewat jalan ini sopir truk harus menghentikan truknya meskipun tidak distop polisi. Lampu sirinenya yang menyala dan berputar-putar adalah sinyal keberadaannya. Sopir truk yang mengerti pasti berhenti, turun dan setor sejumlah uang. Jika tidak pasti dikejarnya dan akan menghadapi masalah yang lebih besar. Yang bermakna uangnya harus lebih besar untuk berdamai.

Ketika saya tanya berapa uang yang disetor? Jawabnya hanya lima ribu rupiah. Angka ini juga sudah menjadi kesepakatan tak tertulis. Jika sopir memberikan lebih banyak, justru polisi akan curiga. Barang berharga apa yang ada di truk ini kok sopirnya royal banget.
Saya hanya tersenyum kecut, sambil membayangkan jika semalam ada seratus truk yang lewat berarti besok pagi pak Polisi akan membawa pulang lima ratus ribu rupiah. Uenak tenan……..

Dalam perjalanan, pak sopir menceritakan bahwa sebenarnya perusahaan transportasi tempatnya bekerja sudah menyetor sejumlah dana bulanan kepada pejabat kepolisian setempat. Tapi, katanya –sebagaimana pengakuan polisi di lapangan- dana itu tidak sampai muncrat ke lapangan, karena itu yang di lapanganpun mengutip lagi.
Kali ini saya tersenyum lagi, sambil berkata dalam hati kepada pengusaha transportasi .... “kacian deh lu........”

Jumat, September 07, 2007

Serial Peluang Korupsi - 5:

Di Jalan Raya (1)

Untuk menambah mengepul dapur istri, saya memberdayakan mobil carry saya dengan mengangkut anak-anak sekolah. Hitung-hitung sekalian mengantar anak saya sekolah juga. Sekitar lima tahun saya menjalankan usaha hidup seperti ini. Alhamdulillah bisa menggaji sopir dan membuat mobil saya bisa berjalan karena ada uang bensin dan oli lebih dari cukup. Tidak ada halangan berarti, sampai suatu ketika mobil saya dicegat oleh polantas. Mobil saya ditilang karena tidak memiliki izin usaha bus sekolah. Saya yang buta dengan perundang-undangan yang banyak sekali itu mempertanyakan sejak kapan kita harus punya izin usaha bus sekolah. Ternyata ada Perda-nya. Ya sudah saya mengalah. Maka saya ditilang. Untuk membantu program pemerintah (padahal sebenarnya karena saya kesal) saya sampaikan ke petugas yang menilang saya. Bahwa kalau memang mau menegakkan perturan, polantas tidak perlu berpanas-panas di jalan raya. Cukup nongkrong aja di depan sekolah. Pasti puluhan mobil tertangkap. Sekalian bisa memberi pencerahan kepada para sopir, bahwa usaha antar jemput anak sekolah harus berizin. Saya menyebutkan 3-4 sekolah di Cikarang yang banyak menggunakan jasa antar jemput untuk murid-muridnya. Tapi sang petugas hanya tersenyum kecut. Entah apa artinya hanya dia dan Allah yang tahu.

Ketika mendatangi persidangan pada tempat yang disebutkan dalam surat tilang, sopir saya di arahkan ke kantor polisi tertentu. Ternyata STNK mobil saya ada di sana. Untuk menebusnya tidak perlu sidang. Cukup sopir saya menyerahkan uang 80 ribu dan STNK pun sudah berpindah tangan! Ketika dilapori hal ini sore harinya, kali ini saya yang tersenyum kecut!

Lho, apa gunanya surat tilang. Apa gunanya saya patuh tidak memberikan uang damai, kalai ujung-ujungnya uang saya toh tidak masuk ke kas negara. Tapi jadi bancaan kantong petugas!

Suatu Sabtu saya naik motor dari Cikarang ke Cibitung. Di perjalanan ada razia surat-surat kendaraan dan SIM. Merasa surat saya lengkap saya berhenti dengan santai. Ketika saya membuka dompet saya, ternyata saya hanya menemukan SIM C saya. STNK-nya tidak saya temukan, meskipun saya sudah teliti membuka lembar-lembar struk ATM dari dompet saya. Saya teringat, bahwa STNK tertinggal di salah satu kantong baju saya yang saya pakai beberapa hari yang lalu. Kejadiannya ketika parkir motor di suatu pertokoan, saya harus menunjukkan STNK kepada petugas ketika meninggalkan tempat parkir. Setelah itu saya tidak mengembalikannya ke dompet saya, tapi ke kantong baju. Karena tidak disiplin menempatkan sesuatu pada tempatnya maka sekarang saya menerima akibatnya. Saya ditilang karena tidak bisa menunjukkan STNK.

Kata Polisi seharusnya kalau tidak punya STNK, yang ditahan adalah motornya tapi Pak Polisi dengan kebijaksanaannya cukup menahan SIM C saya, meskipun saya sebenarnya merelakan motor saya ditahan. Setelah itu Polisi mengeluarkan kebijaksanaan lagi, bahwa kalau keberatan ikut sidang bisa menitipkan uang Rp 75.000,- kepadanya. Karena pengalaman terdahulu, saya memilih titip uang saja. Toh sama-sama ujung-ujungnya uang tilang masuk kantong petugas. Tapi karena saya masih harus meneruskan perjalanan, saya minta tanda bukti bahwa saya sudah ditilang. Kalau tanpa tanda bukti, saya khawatir di depan ada tilang lagi, saya jadi tekor kor. Apa jawaban Pak Polisi? ”kalau gitu, Bapak sidang aja, deh.” Wow, ngambek ni yee.... Karena curiga, ujung-ujungnya uang saya ditilep juga, maka saya minta diberi kemudahan. Karena menggunakan bahasa Jawa, maka akhirnya saya diarahkan untuk menebus SIM saya di Polres Kabupaten Bekasi yang ada di Cikarang, dekat rumah saya.
Pada hari H saya ambil SIM saya. Setelah membuka data base yang berisi besarnya denda setiap kesalahan, ternyata benar saya harus bayar Rp. 75.000,- Saya coba menawar. Akhirnya petugas memberikan diskon Rp. 5.000,-. Jangan tanya kuitansi, karena sudah saya tanyakan, dan ternyata tidak ada. Oh kasihan negeriku, banyak enterpreneur di kantor pemerintahnya.