Sabtu, April 25, 2009

Undat-Undat


Waktu kecil dulu ada wejangan ortu yang saya ingat. Kalau memberi sesuatu jangan di”undat-undat”. Ini adalah bahasa jawa. Artinya mengungkit-ungkit pemberian. Jadi kita harus ikhlas. Jangan mengungkit-unkit pemberian, nanti merusak keikhlasan. Mengungkit-unkit saja tidak boleh apalagi memintanya kembali.

Nasihat itu sangat melekat di kepala saya. Maka kalau sekarang ada orang meminta kembali pemberiannya, sangat tidak masuk di akal saya. Apalagi untuk itu sampai harus membongkarnya kembali. Pompa air yang sudah disumbangkan kepada rakyat dibongkar kembali. Paving blok-pun dicongkel dari tanah lalu diangkut lagi dengan ke dalam truk.


Yang lebih masuk akalpun tetap tidak masuk di akal saya.

Ada 2 ekor kambing yang sudah dihibahkan kepada peternakan rakyat ditarik kembali. Untung belum beranak, kalau sudah malah 3 ekor dong yang ditarik. Peralatan band yang sudah disumbangkan ke Karang Taruna pun diminta kembali.


Fenomena yang tak masuk akal ini, kini memang sedang jadi tontonan menggelikan di televise. Pemberinya adalah para caleg. Diberikan kepada rakyat. Lalu diminta lagi karena ternyata dia gagal jadi anggota legislative. Karena pemberiannya tidak menuai dukungan rakyat.


Dalih yang juga tidak masuk di akal saya adalah rakyat ingkar janji. Karena rakyat tidak memenuhi janjinya untuk mendukung si caleg, maka si caleg menarik sumbangannya. Lho,…. Benarkah perjanjian itu ada? Kalau ada bukankah itu sama dengan suap yang bias dijerat dengan UU Pemilu No. 10 Tahun 2008?

Dalam Pasal 286 tertulis “… Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu …..”


Jadi para caleg gagal yang sedang mengundat-undat pemberiannya ini sebenarnya sedang mempertontonkan money politics yang telah dilakukannya selama kampanye. Dalam UU Pemilu, yang demikian ini diancam hukuman pidana maksimal 36 bulan. Nah, lho…. Sudah gagal jadi aleg, stress, undat-undat, dijebloskan ke penjara pula.


Apakah Panwaslu menunggu pengaduan untuk hal ini? Sementara sang caleg-gagal telah secara tak sadar telah mengakuinya dengan mempertontonkan aksi konyolnya itu.


Cikarang Baru, 24 April 2009

Rabu, April 22, 2009

SUARA RAKYAT

Lima tahun suara rakyat bagai teriakan di padang gersang nan luas membentang. Tak ada siapapun yang mendengar. Kalaupun ada, hanya beberapa orang yang tak punya apa-apa untuk memutuskan suatu tindakan. Karena keputusan harus dibicarakan di dalam sidang dan atas suara terbanyak. Maka kalau banyak yang tidak mau mendengarnya, suara rakyat menjadi debu yang ditiup angin.

Kini tiba-tiba suara itu ada yang mendengarnya. Dan tidak hanya itu, suara itu tidak cuma ditampung tapi langsung dipenuhi kebutuhannya. Kalau dulu banyak yang pura-pura tuli, kini banyak yang pura-pura peduli. Itulah para caleg yang terhormat.

Maka mengetahui suara rakyat sedang laku-lakunya, rakyatpun berbondong-bondong menjualnya.

"Pak, kami butuh sirtu untuk jalan becek di kampong kami." Kata sebuah suara, lalu meluncurlah ke kampong mereka bertruk truk sirtu.

"Pak, musholla kami butuh MCK." kata suara yang lain.
Maka berdatanganlah truk membawa material lengkap dengan tukangnya.

"Pak, klub sepak bola kami sudah lima tahun tak berseragam."
Maka seminggu kemudian dikirimlah seragam sepak bola untuk sebuah kesebelasan.

"Pak, grup kosidah kami rebananya sudah pada jebol."
Maka satu set rebana pun dikirimkan bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi.

"Pak, pemerintah tidak becus memelihara bendungan Situ Gintung."
Maka dikirimkanlah selimut, makanan, minuman dan obat obatan untuk para korbannya. Lebih cepat daripada pemerintah setempat.

"Pak, jembatan kali di kampong kami sudah reot."
Maka secepat kilat esoknya sudah ada jembatan baru.

"Pak, kami harus jalan kaki tiga empat kilometer untuk mengambil air."
Maka kini sumber air su dekat…… perpipaan sudah terpasang rapi lengkap dengan pompanya.

"Pak, disini korban demam berdarah makin banyak." Maka keesokan harinya tim fogging-pun turun tangan.

"Pak, kami anak muda pengen main band untuk kampanye bapak."
Maka seperangkat alat band besok menjadi ajang unjuk kebolehan dan kepedulian sang caleg.

Tanpa rapat panjang, tanpa survey. Semua dipenuhi dengan cepat. Setiap lima tahun sekali suara rakyat memang sedang laku keras. Maka karena inikah kenapa pemilu disebut sebagai pesta demokrasi… pestanya rakyat?

Wallahu'alam

Sabtu, April 18, 2009

Senyum Caleg 1

Pemilu 9 April sudah lewat. Perhitungan tingkat kecamatan belum juga selesai, tapi perhitungan di TPS sudah membuat para caleg senyum senyum. Para saksi dan tim sukses dengan cepat melaporkan suara yang diperoleh caleg di berbagai TPS.

Bagi yang beroleh suara memuaskan, diapun tersenyum lebar/lebar. Dan siap siap menggelar acara syukuran. Kalau pada masa kampanye sudah keluar dana ratusan juta, apalah artinya beberapa puluh juta untuk mengungkapkan rasa syukurnya.

Bagi yang suaranya sedang/sedang saja, senyumnya tertahan tahan. Setiap hari menelpon tim suksesnya. Dengan harap harap cemas berharap ada salah perhitungan suara dan dapat direvisi di tingkat desa atau kecamatan. Sambil terbayang uang ratusan juta yang telah digelontorkan untuk kampanye dan uang bensin bagi calon pemilihnya. Sesekali terlintas rasa takut bagaimana nanti kalau tak terpilih. Bagaimana cara mendapatkan kembali uang kampanyenya itu.

Bagi yang suaranya segelintir dua gelintir di setiap TPS, terpaksa harus tersenyum kecut. Sambil menenang nenangkan hatinya. Bahwa dia sudah berusaha maksimal, tapi Tuhan belum menghendaki. Maka meski hatinya teriris, senyum berusaha dikembangkan di bibirnya. Jadinya yang senyum kecut itu.

Syukurlah dia masih bias tersenyum.

Terbayang para caleg yang terhormat menebar senyum selama lebih dari enam bulan kampanyenya. Senyumnya tercetak dari wajah wajah sumringahnya di banner yang tergantung di pohon pohon, tiang listrik. Balihonya juga terpasanag gagah di setiap perempatan jalan. Dan dengan royal para caleg menghambur hamburkan uangnya untuk itu. Bukan hanya itu, mereka juga membelanjakan uangnya untuk membeli sirtu (pasir batu) untuk menutup jalan jalan becek di kampong kampong. Karang taruna pun mendapatkan kostum bola yang baru. Kelompok hadrah kebagian satu set rebana baru. Rumah rumah yang kompornya sudah absent tidak ngebulpun, kini ngebul lagi untuk beberapa minggu. Karena caleg yang memberi uang tidak Cuma satu orang.

Calegpun membayangkan dia bakal jadi orang terhormat di gedung dewan. Bisa berinteraksi dengan Bupati dan jajarannya. Juga para pengusaha yang royal demi memenangkan tender. Kedudukan yang sangat tinggi, padahal selama ini tidak pernah ngantor alias pengangguran. Juga uang komisi yang berlimpah disamping gaji yang juga sangat tinggi.

Dan ketika hari perhitungan tiba…….,
ternyata suaranya tak cukup untuk satu kaki kursipun, lemas lunglailah badan. Terbayang jelas di kelopak matanya hutang yang menumpuk. Maka terlontar caci maki di hatinya dan mulutnya. Karena caleg telah dikhianati oleh rakyat yang telah dimanjakannya dengan uang saat kampanye dulu.

Ya, caleg yang terhormat telah dikhianati rakyat yang bakal di’wakilinya’.

Maka tak heran jika sementara caleg yang lolos, segaiannya telah siap siap membalaskan dendam koleganya yang gagal. Menuntut balas terhadap rakyat. Dengan mengkhianati mereka nanti saat kaki telah menjejakkan kakinya di gedung dewan nan megah. Dengan memperkaya diri, demi menabung sebanyak banyaknya uang untuk membeli suara rakyat lima tahun yang akan dating.

Meskipun ribuan caleg kalah perang. Senyum tetap mengembang di mulut para caleg yang lolos. Demi merayakan kemenangannya….. mengelabui para pemilihnya.

*Cerita diatas bukan senyata nyatanya. Tapi banyak yang demikian. Mespi demikian, Insya Allah masih ada yang tidak sesuai dengan gambaran di atas.