Rabu, Agustus 29, 2007

Serial Peluang Korupsi - 4:

Di Pabrik (3)

Di Bagian Logistik bisa juga hal ini terjadi. Banyak perusahaan cargo dan freight forwarder dimiliki oleh beberapa manajer logistik dari beberapa perusahaan asing. Seorang Manajer Bagian logistic PT. XYZ bersama dengan Manajer Bagian Logistik PT. MNO dan Manager Bagian logistic PT. RST plus seorang praktisi freight forwarding berkongsi mendirikan perusahaan freight forwarding. Apa yang terjadi? Minimal semua aktivitas ekspor impor ketiga PT itu diserahkan pengelolaannya kepada freight forwarder milik ketiga manager tadi. Wow, uenaak tenaannn……. Ketika menjadi asisten manajer logistic saya pernah ditawari kongsi semacam ini oleh seorang rekan yang sudah malang melintang di dunia freight forwarding. Saya menolak karena terbayang betapa kepala saya akan pusing ketika harus memutuskan vendor yang harus menangani aktivitas ekspor impor yang saya komandani, karena konflik kepentingan yang berkecamuk di kapala saya.

Komisi, uang terima kasih, hadiah, profit sharing, apapun namanya selalu jadi hantu yang menyenangkan bagi siapa saja yang menduduki jabatan sebagai pembuat keputusan. Baik itu di instansi pemerintah maupun perusahaan swasta. Baik itu kepala bagian maupun petugas lapangan. Baik itu berhubungan langsung maupun tidak langsung asal masih bisa dihubung-hubungkan.

Hantu yang menyenangkan? Ya. Saya sebut hantu karena selalu terjadi di ’kegelapan’. Pembicaraan gelap di ruang tertutup, hubungan gelap melalui telepon yang penuh dengan kusak-kusuk, transfer gelap ke rekening gelap. Tapi menyenangkan, karena semua kegelapan itu berarti uang. Yang meskipun kadang-kadang jumlahnya tidak banyak, tapi mampu menggenapkan yang sedikit menjadi banyak. Rumah kontrakan menjadi milik. Kamar kumuh menjadi kamar mewah. HP butut menjadi bluetoeth. Motor kredit menjadi lunas. Mobil tua menjadi muda kembali. Warung tetangga yang hampir bangkrut diakuisisi jadi garasi mobil. Kubangan becek di belakang rumah menjadi kolam renang. Pekarangan dan rumah tetangga menjadi lapangan tennis.

Ternyata transaksi B to B beranak menjadi transaksi B to P (Business to Person) atau bahkan P to P (Person to Person). P to P terjadi ketika seorang sales merelakan sebagian komisi penjualan yang diterimanya untuk diberikan kepada penanggungjawab dari pihak pembeli. Karena kalau tidak demikian dapurnya tidak bisa mengepul karena sales itu hidup dari komisi penjualan.

B to P terjadi karena Perusahaan supplier telah mafhum bahwa bertransaksi dengan perusahaan lain, jika mau langgeng harus dilakukan pendekatan personal dengan menejernya atau siapapun yang menjadi decision maker. Istilah teman saya yang pengusaha palet kayu, harus ada dana untuk me-maintain orang dalam agar paletnya bisa langgeng diterima di dalam. Besarnya bisa 5% dari nilai invoice. Jadi syarat barang bisa masuk dalam teori marketing disamping quality, quantity, delivery, payment term juga ada maintainance fee. Susunan urutan ini tidak mencerminkan prioritas. Bisa jadi maintenance fee menjadi kunci pembuka, yang selanjuti diikuti dengan payment term, delivery, quantity dan quality. Atau apapun yang penting maintenance fee ada diurutan pertama. Karena itu harus dibahas di depan agar tidak kecele di kemudian hari.

Siapa yang kecele? Bisa supplier bisa juga buyer.
Supplier yang alergi dengan maintenance fee biasanya tidak mau membicarakan hal ini, karena khawatir bisnisnya akan gagal sebelum order pertama. Dia menghindari pembicaraan menyerempet ke hal-hal ini. Kalau toh ada biasanya dengan bahasa yang abu-abu. Tidak tegas ada atau tidak.

Buyer yang ‘malu-malu’ juga demikian. Kalau malu saja bolehlah dipertahankan karena malu itu sebagian dari iman. Karena malu jadi tidak minta. Rasa malunya membuatnya terhindar dari permintaan uang hangat ini. Rasa malu membuat dia bersih.

Tapi kalau malu tapi mau membuat buyer tidak berani blak-blakan. Sindiran sering terlontar agar suplier dengan antenanya yang bagus bisa menangkap sinyal-sinyal yang dikeluarkan dari mulut si buyer. Sayangnya supplier meskipun antenanya bagus dan sudah menangkap signal maksud supplier, pura-pura tidak bisa menangkap sehingga jawabannya masih belum nyambung.

Walhasil, jika demikian setelah transaksi bisnis kedua-dua akan kecele. Supplier kecele karena apa yang selama ini dianggapnya berhasil memasarkan barang tanpa maintenance fee, terkaget-kaget ketika saat invoice dicairkan ternyata buyer minta persenan.
Buyer juga bisa kecele, karena bisa jadi ternyata supplier yang menurutnya sudah mengerti bahasa sandinya, ternyata benar-benar (pura-pura) tidak faham sehingga tidak ada persenan yang masuk ke kantong buyer.

Jika salah satu di antara dua ini terjadi maka supplier jangan harap akan ada repeat order, karena buyer pun juga telah sesumbar dengan kalimat yang sama, ”awas lu, jangan harap ada repeat order”. Meskipun kalimat ini hanya ada dalam hati tapi itu bisa terealisasi.

Saya pernah mengalami hal ini ketika menjadi supplier produk pendidikan ke sebuah koperasi sekolah. Ketika melakukan transaksi B to B ke koperasi, sudah disepakati adanya profit sharing dengan lembaga koperasi. Hal ini dilakukan karena koperasi adalah lembaga profit center juga. Tapi setelah transaksi ternyata pengurus juga minta bebarapa persen setelah invoice cair. Jadi saya tidak menerima pembayaran senilai invoice yang saya buat. Karena sudah dipotong untuk pengurus koperasi sekolah. Jadi profit selain diterima oleh koperasi yang nantinya menjadi SHU yang dibagikan kepada anggota, juga ada profit lain yang tak dibukukan yang masuk ke kas pengurus sebagai individu-individu. Maka itu ada yang bilang koperasi apapun semuanya KUD juga. Ketua Untung Duluan. Saya tersinggung karena saya juga pernah jadi ketua sebuah koperasi karyawan. Jangankan untung malah pemakaian pulsa HP saya nambah karena harus sering menggunakan HP untuk menghubungi supplier maupun anggota dalam kegiatan saya.

Karena itu maintenance fee harus dibicarakan di awal sebelum transaksi pertama dilakukan. Ada atau tidak. Kalau buyer ngotot harus ada maintenance fee maka supplier dapat segera memutuskan. Go ahead atau go back! Kalau keduanya faham dan sepakat tidak perlu ada maintenance fee, maka bersyukurlah bahwa transaksi bisnis yang murni bakal terealisasi. Memang kesepakatan yang kedua ini sudah langka, tapi insya Allah masih ada di jaman sekarang ini. Dan semoga makin tumbuh dan berkembang karena meningkatnya kinerja KPK. Dan seiring itu bertumbuhanlah pula rasa malu yang berarti bunga-bunga iman sudah mulai bermekaran di taman hati para eksekutif.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Kalo ada yg bilang, itu rejeki yo monggo..tapi halal haramnya jagan tanyakan ustadz, dech..tanyakan hati kecil anda saja... kalo ada sedikit saja ketakutan ada pihak yg tau, tentang rejeki yang anda terima itu... ya, insya Allah, haram...
wis wis..lahir telanjang ya pulang kudu telanjang, gak bawa rumah, mobil ato villa..