Sabtu, Mei 24, 2008

Tangga Kebangkitan (2/2)

Pemberdayaan Sumber Daya Alam

Mimpi buruk lainnya adalah banyaknya sumber daya alam yang dikuasai oleh asing. Saat ini pemerintah Indonesia hanya mengusai 8% sumber minyak di negerinya sendiri. Selebihnya dikuasai swasta dan asing. Maka wajar jika rakyat Indonesia tidak merasakan kesejahteraan sebagaimana layaknya warga dari negara yang kaya minyak. Minyaknya diekspor oleh swasta dan asing keluar negeri. Untuk rakyat Indonesia sendiri pemerintah harus impor dengan harga internasional yang melangit tinggi.

Air bersih juga sudah menjadi komoditi milik swasta dan asing. Sumber-sumber air dikapling dan dikuasai oleh swasta lalu bekerjasama dengan perusahaan asing. Mengemasnya dan menjualnya untuk rakyat. PDAM sendiri mendapatkan bagian yang sangat sedikit dengan teknologi seadanya dan sanitasi sederhana dengan penambahan kaporit saja. Maka pemakai air dari PDAM cukup menerima pasokan air dengan debit air yang sangat kecil. Dan tidak jarang tidak mengalir sama sekali.

Hasil laut yang berlimpah dinikmati oleh nelayan pencuri dari negara-negara tetangga yang tidak jarang bekerjasama dengan orang dalam yang bermental korup. Hutan semakin gundul karena dikelola oleh pedagang demi sebesar-besar kemakmuran diri dan keluarga sendiri.

Maka kita akan bisa bangkit jika bersama-sama membangun anak tangga di atas mimpi buruk eksploitasi sumber daya alam ini. Melakukan gerakan mengambil alih kekayaan alam Indonesia dibawah kekuasaan negara Indonesia. Kalau kerjasama dengan swasta dan asing tidak bisa dihindari maka perbaikan kontrak perlu dilakukan. Pembagian keuntungan yang adil harus diperjuangkan agar dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahterakan rakyat.

Kesejahteraan Buruh

Anak tangga berikutnya adalah upaya keras mensejahterakan buruh.
Enam belas tahun penulis perpengalaman menjadi buruh. Sampai kini bukan kesejahteraan sejati yang dimiliki. Kini buruh menjadi kuli di negeri sendiri. Investor diberi keistimewaan dan rangsangan agar berinvestasi di Indonesia. Sementara pemerintah Indonesia menyediakan tenaga buruh yang murah meriah dengan peraturan ketenaga kerjaan yang semakin lama semakin tampak keberpihakannya kepada pengusaha dan pihak asing.
Seakan berkata silakan buruh Indonesia dipakai dan dibayar secukupnya jika diperlukan tenaganya. Dan silakan dipecat tanpa pesangon sepeserpun jika sudah tak dibutuhkan. Tak ada ikatan kontrak yang berimbang. Satu-satunya keuntungan buruh adalah tenaganya dipakai dan dibayar. Karena hal itu lebih baik dari pada tenaganya nganggur dan tak menghasilkan apa-apa. Kehadiran pengusaha yang demikian oleh pemerintah dirasa sudah lebih baik daripada ancaman pengangguran yang menyepatkan mata memandangnya.

Enam belas tahun yang lalu, buruh yang diterima di sebuah perusahaan harus melalui masa percobaan selama tiga bulan untuk dinilai oleh pengusaha. Jika tidak layak diputus, jika dinilai bagus diangkat menjadi pegawai tetap. Delapan tahun kemudian, diberlakukan masa kontrak 1-2 tahun. Baru setelah itu diangkat atau diputus tanpa pesangon. Kini ada peraturan outsourcing tenaga kerja. Tidak ada hubungan kerjasama pengusaha dengan karyawan. Yang ada hubungan kerjasama pengusaha dengan pengerah tenaga kerja. Lalu ada lagi peraturan diperbolehkannya perekrutan buruh harian yang digaji sepekan sekali. Tidak bekerja tidak digaji. No work, no pay. Semua praktik ’pemberdayaan’ buruh ini dipayungi dengan peraturan ketenagakerjaan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Jika Indonesia hendak bangkit maka paradigma buruh murah dan minimnya perlindungan pemerintah akan menjadi anak tangga sandungan menuju kebangkitan itu. Buruh berkerja tidak melulu mengharapkan gaji besar. Perlindungan diri dan keluarga dan penjaminan masa depan lebih berharga daripada gaji besar yang setiap saat diintai oleh terkaman pemutusan hubungan kerja. Kalau kini gaji besar masih jadi impian siang bolong para pekerja, cukuplah pemerintah melaksanakan perannya yang diamanatkan oleh UUD 1945 untuk melindungi warga negaranya dan memberikan kepada mereka hak pekerjaan, sebelum mampu memberikan penghidupan yang layak.

Pornografi dan Pornoaksi

Anak tangga selanjutnya yang juga harus dibangun oleh bangsa ini adalah anak tangga anti pornografi dan pornoaksi.

Peredaran pornografi dan pornoaksi telah merata melalui berbagai macam media. Koran, majalah, komik anak-anak, televisi dan pertunjukkan musik, menjadi ladangg empuk persemaian budaya pornografi. Masuknya pornografi menyebabkan mental generasi muda yang hedonis dan permisif, akan mengikis habis semangat kerja keras dan penghargaan terhadap proses menuju keberhasilan. Jalan pintas bermula dari sifat hedonis. Maka akan menjalin kerkelindan dengan mental korup nantinya.

Pornografi juga menrusak kepribadian. Para artis melepas kepribadiannya demi memenuhi skenario dan tuntutan sutradara. Apa yang muncul dalam foto, video dan film layar lebar dianggap sebagai bukan dirinya sebagai pribadi. Tapi sebagai diri yang profesional menjalani tuntutan skenario. Kepribdian menjadi terpecah-pecah. Memainkan beberapa peran dalam berbagai kesempatan. Yang pada gilirannya akan melahirkan manusia yang munafik.

Maka di atas kondisi kebobrokan moral ini harus dibangun anak tangga anti pornografi dan pornoaksi. Menuju kebangkitan kembali negeri ini harus dilakoni oleh generasi yang bersih secara moral dan jauh dari kemunafikan.

Inilah beberapa anak tangga yang harus kita bangun menuju kebangkitan kita. Tentu masih banyak yang lainnya. Tapi beberapa anak tangga ini saja, insya Allah cukup untuk menapaki kebangkitan kita jika kita mau bekerja bersinergi dimulai dengan menyamakan persepsi.

Wallahu’alam bisshowab.

Cikarang Baru, 23 Mei 2008

Tangga Kebangkitan

Seratus tahun berdirinya Boedi Oetomo diperingati sebagai seratus tahun kebangkitan Indonesia. Bangkit dari mana? Bangkit berarti bangun menuju posisi lebih tinggi. Kalau awalnya duduk, bangkit berarti berdiri. Kalau awalnya tidur, bangkit berarti terbangun. Kalau awalnya pingsan, kini berkesadaran. Kalau awalnya mimpi, kini saatnya meraih kenyataan. Kalau tadinya tertinggal, kini waktunya berlari mengejar ketertinggalan.

Maka kalau kini pemerintah dan bangsa Indonesia berkeinginan bangkit berarti kita menyadari posisi kita saat ini. Tanpa kesadaran itu, tak mungkin kita mampu bangkit. Sama dengan seseorang yang sedang bermimpi indah, dia akan kecewa ketika terbangun. Maka dia ingin terus tidur dan meneruskan mimpinya. Tetapi ketika sedang mimpi buruk, dia ingin segera terbangun agar bisa bebas dari bayangan buruk yang menakutkan itu.

Jadi, kita akan bersemangat untuk bangkit ketika kita memahami ’mimpi buruk’ yang sedang kita alami. Jika tidak, maka peringatan seratus tahun kebangkitan Indonesia hanya sekedar merupakan hasil perhitungan matematis 2008 dikurangi 1908 sama dengan seratus. Tentu saja bukan ini yang kita inginkan. Karena perhitungan matematis ini sudah dengan mudah dikerjakan oleh murid-murid sekolah dasar kelas satu.

Memulai bangkit kita perlu membangun tangga menuju kebangkitan itu. Tangga itu harus dibangun di atas kesadaran akan ’mimpi buruk’. Bahwa saat ini kita sedang tertidur lelap dengan mimpi yang sangat menakutkan. Masalahnya, apakah kalangan elit sebagai pemegang keputusan sadar akan mimpi buruk yang sedang di alami negeri ini. Tidak sedikit mereka justru memaknai hal ini sebagai mimpi indah, sehingga enggan bangun dari tidurnya.

Tangga itu tersusun dari beberapa anak tangga. Beberapa anak tangga penyusun tangga kebangkitan itu adalah:

Uang BLBI

Misalnya tentang uang BLBI yang ditilep oleh para bankir. Apakah kita seluruh komponen bangsa memandang seragam bahwa ini mimpi buruk kita? Ataukah masih ada elit pengusa yang menjadikannya sebagai mimpi indah? Sehingga kasusnya dibiarkan tak diusut. Tarik ulurnya bahkan menghasilkan kasus suap 6 milyaran rupiah kepada seorang jaksa. Dan melibatkan pejabat teras sebuah partai politik. Ketidakseragaman memandang masalah ini menyebabkan pemerintah tak kunjung selesai menyelesaikannya. Padahal ini adalah anak tangga yang harus ditapaki untuk menuju kebangkitan.

Hidup Hemat

Saat ini kita jarang melihat pejabat Indonesia berpakaian jas lengkap dengan dasi. Baju batik atau baju koko adalah pemandangan pakaian pejabat yang sering kita lihat di televisi. Saat awal berpenampilan demikian ada pesan bahwa inilah pakaian yang menggambarkan kesederhanaan dan kerakyatan. Lalu pemerintah sering berpesan tentang gerakan hidup hemat. Hanya saja tidak ada petunjuk pelaksanaannya maka gerakan hidup hemat belum pernah dilakukan, kecuali sekedar gerakan-gerakan simbolis saja. Pejabat masih bergaji tinggi lengkap dengan tunjangan yang bertingkat-tingkat. Rumah dinas yang mewah menjadi tempat isolasi dari penderitaan rakyat. Keberadaan Pasukan Pengawal menjadi jawaban alasan keamanan dari makhluk jahat yang sebenarnya adalah rakyat yang belum tersentuh kesejahteraan. Kalau semua fasilitas itu melekat pada diri pejabat mana mungkin pejabat bisa menjadi teladan gaya hidup hemat. Anak tangga ini juga harus dilalui menuju kebangkitan kita.

Pemberantasan Korupsi

Anak tangga selanjutnya adalah pemberantasan korupsi. Pembersihan negeri ini dari para koruptor hanya bisa dilakukan menggunakan sapu yang bersih. Ketika membersihkan langit-langit rumah yang penuh dengan sarang laba-laba, tak cukup hanya dengan satu sapu bersih. Ketika sapu bersih itu telah jenuh dengan kotoran, harus diganti dengn sapu bersih yang baru. Jika tidak dia justru akan mengotori dinding.

Pemberantasan korupsi tidak hanya di lembaga pemerintah, karena korupsi juga terjadi di perusahaan-perusahaan swasta. Saat ini definisi korupsi memang barus terbatas pada efek kerugian bagi keuangan negara. Padahal mental korup tumbuh subur di mana-mana. Mulai dari pejabat negara yang menikmati hasil mark up pengadaan kertas suara pemilu, sampai kuli bangunan yang menaikkan harga beli sebuah engsel pintu dibantu oleh pemilik toko yang menulis harga semau pembelinya. Perilaku korup di lingkungan swasta bertemu dengan kepentingan sesama pebisnis. Perilaku korup beririsan dengan nafsu cinta-dunia pejabat negara. Yang menyedihkan lagi perilaku korupsi tumbuh dari mental korup yang telah tumbuh subur di berbagai level masyarakat dari yang sudah bergaji sangat besar sampai yang berpenghasilan sangat minim. (bersambung..)

Minggu, Mei 18, 2008

Amplop

Amplop. Siapa yang tak kenal dengan manfaat benda ini. Dia akrab dengan benda yang bernama surat, perangko, dan Pak Pos. Anak kos pasti akrab dengan benda ini, karena minimal setiap bulan dia mengirim surat dan menerima surat ke dan dari kampung. Pak Pos hampir tiap hari melewati gang-gang rumah kita. Kedatangannya sangat ditunggu oleh mahasiswa yang indekos. Setiap hari sepulang kuliah saya senang sekali jika ada amplop tergeletak di meja belajar saya.

Itu dulu......

Sejak adanya telpon genggam, kita sudah jarang menggunakannya. Komunikasi lewat surat sudah banyak digantikan oleh sms. Kita jadi jarang beli amplop, kertas surat dan perangko. Maka benda-benda pos ini sudah kalah populer dengan hape, voucher pulsa dan sms. Kalau dulu hampir di semua toko alat tulis dan warung-warung tertulis ”jual benda pos”. Kini digantikan dengan tulisan ”sedia pulsa elektrik”. Itulah dampak kemajuan teknologi informasi.

Tapi, belakangan ini, sejak 11 Mei 2008 benda yang bernama amplop ini benar-benar menjadi pembicaraan ramai di negeri ini. Amplop dalam bahasa Indonesia, dalam bahasa Inggrisnya envelope. Dalam bahasa mandarin (?) disebut angpao. Yang terakhir ini identik dengan amplop yang berisi uang. Bukan surat. Banyak beredar di acara tahun baru imlek. Kini istilah ini banyak dipakai juga untuk amplop isi uang yang dibawa oleh tamu dalam pesta pernikahan.

Tanggal 11 Mei 2008, ketua MPR Dr. Hidayat Nurwahid melangsungkan pernikahannya dengan dr. Diana, setelah 4 bulan menduda karena istrinya meninggal dunia. Resepsi pernikahan tokoh sederhana inipun dihadiri oleh ribuan tamu undangan. Karena itu acara di Sasana Langen Budoyo, TMII, tidak cukup 3-4 jam, tapi 8 jam demi menghormati tamu. Lazimnya resepsi pernikahan lainnya, dalam acara inipun kedua mempelai juga mendapatkan angpao dari tamu undangan.

Tidak ada yang aneh dalam hal ini. Tapi menjadi berita yang menarik ketika angpao ini menjadi daya tarik tersendiri bagi petugas KPK. Tanggal 24 April KPK melayangkan surat kepada Dr. Hidayat bahwa mereka akan hadir dalam acara resepsinya dan akan mengawasi angpao yang diterima dari tamu undangan. Apalagi isunya kalau bukan masalah sensitif akhir-akhir ini. Yaitu gratifikasi bagi pejabat negara!

KPK menilai angpao pernikahan bisa saja menjadi jalan pemberian gratifikasi kepada pejabat negara. Maka setelah usai resepsipun, semua angpao berada dalam pengawasan KPK. Yang membukapun KPK disaksikan oleh keluarga Dr. Hidayat.

Ternyata tidak hanya angpao yang diperiksa KPK, kado dalam bentuk barangpun akan diaudit, bahkan juga rekening bank. Siapa tahu ada kolega yang bermaksud memberikan gratifikasi melalui hadiah pernikahan melalui transfer bank. Wah, merembet kemana-mana, nih. Jangan-jangan setelah itu rekening istrinya juga diperikasa, juga rekening orang tua dan mertua. Karena seperti kata petugas KPK, bahwa pemberian yang diniatkan sebagai gratifikasi dan bernilai di atas 1 juta bisa berupa apa saja, melalui mana saja.

Sikap kooperatif Dr. Hidayat menjadi hal penting demi mulusnya pemeriksaan KPK ini. Ini juga yang disyukuri oleh petugas KPK. Bahkan insya Allah akan menjadi contoh bagi pejabat yang lain yang akan menikah, atau mantu, atau berpesta ulang tahun, atau pesta lainnya baik untuk diri sendiri maupun anak-anaknya.

Wah, ribet juga ya jadi pejabat. Maka mengingat ribetnya dan potensinya merembet ke mana-mana maka paling tidak ada tiga pelajaran dari kasus ini:

  1. Pejabat akan enggan menyelenggarakan pesta. Hal ini akan memberi contoh hidup hemat ditengah krisis yang melanda negeri ini.
  2. Demi memudahkan sang pejabat, para undangan tidak perlu memberikan hadiah apa-apa. Lebih baik hadiahnya untuk fakir miskin yang lebih membutuhkannya.
  3. Jikapun harus memberikan hadiah tidak perlu yang bernilai tinggi, toh pejabat sudah mendapat gaji dan fasilitas melebihi rakyat pada umumnya.

Insya Allah semua ada hikmahnya.

Cikarang Baru, 16 Mei 2008

PS. Untuk Ust. Dayat dan Istri: “Barakallaahu laka wa baraka ‘alaika wa jama’a bainakuma fii khoir.”

Selasa, Mei 06, 2008

Siap Sukses, Siap Gagal

Purdi E. Chandra, bos Primagama dalam berbagai kesempatan sering mengatakan kurang lebih bahwa untuk menjadi pebisnis tak perlu pintar-pintar amat. Terlalu pinter, terlalu perhitungan, maka rencana bisnis tidak kunjung direalisasikan. Semakin menghitung-hitung semakin takut gagal.

Seorang bijak pernah mengatakan bahwa takut gagal adalah kegagalan sejati, takut mati adalah mati sebelum mati. Artinya ketakutannya membuatnya beku. Tak berani bertindak. Maka keberhasilanpun mana mungkin diraih. Maka kehidupan yang suksespun mana mungkin dinikmati.

Hampir sama dengan hal di atas, Bob Sadino terkenal dengan selorohnya: harus goblok untuk jadi pengusaha. Kalau pinter, terlalu banyak mikir, lalu kapan bertindaknya? Malah tidak perlu perencanaan dan penentuan tujuan segala. Maklum, lha, wong orang globok, tidak punya ilmu tentang planning dan goals. Ketika di awal-awal perjalanan bisnisnya, Bob Sadino berjualan telur bersama istri. Keuntungannya beberapa ratus rupiah saja perhari. Tak terbayang olehnya suatu saat nanti beliau akan memiliki mobil Jaguar dan rumah mewah. Apalagi sampai menguasai kerajaan bisnis seperti yang dinikmati sekarang ini. Mengalir seperti air, katanya. Sukses syukur, gagal ikhlas.

Perry Tristianto, sang raja factory outlet, pernah mengatakan untuk terjun di dunia wirausaha kita cukup bekerja saja. Masalah untung rugi itu urusan Tuhan. Intinya manusia bisa berikhtiar, Allah yang menentukan. Dan sebagai hamba-Nya kita harus pasrah apapun hasilnya. Ikhlas. Kalau kita ikhlas maka ketika gagal mudah saja kita bangkit lagi untuk bekerja lagi.

Ketika para kandidat kepala daerah memutuskan ikut berlomba dalam Pilkada, biasanya menandatangani pernyataan siap menang siap kalah. Kalau ditanya ”siap menang?”, banyak yang cepat menjawab ”Siap!” dengan mata berbinar pula. Padahal tidak sedikit mereka belum punya program kerja detail untuk menepati janji kampanyenya.

Sebaliknya, ketika ditanya apakah siap kalah. Jawabnya tidak serta merta. Biasanya jawabnya ”perhitungan suara belum selesai.” Atau ”saya tidak mau berandai-andai.” Meskipun lalu ditutup dengan kalimat bersayap, ”kita harus patuh pada keputusan, asal fair dan adil.”

Modal untuk mengikuti Pilkada memang besar. Karena itu para kandidat selalu berharap menang, dan kurang siap kalah. Atau dengan bahasa bersayap pula ”Siap menang siap kalah. Tapi lebih siap menang.”

Sama dengan pilkada, menjadi pengusaha sering juga perlu modal relatif besar. Tapi kenapa mental pengusaha lebih siap menerima pil pahit ”kegagalan” dari pada kandidat pimpinan kepala daerah dalam menelan pil pahit ”kekalahan”? Usaha dan kerja keras sama-sama mereka lakukan. Kemungkinan hasilnya juga sama dan sudah diketahui. Yaitu sukses atau gagal. Tapi kenapa ketika pengusaha gagal, dia bangkit lagi. Sementara politikus gagal, ujungnya demonstrasi massa atau paling ringan maju berperkara ke pengadilan.

Kalau belajar dari ungkapan Bob Sadino, tampaknya sebab dari perbedaan reaksi itu adalah: pengusaha punya kepasrahan dan keikhlasan. Sesuatu yang jarang dimiliki para politikus saat ini. Padahal kalau keikhlasan ini mereka miliki, Insya Allah negeri ini akan cepat maju mengejar ketertinggalannya. Dan itulah kesuksesan jangka panjang yang menjadi hak seluruh rakyatnya.

Cikarang Baru, 23 April 2008

Sabtu, Mei 03, 2008

Pengen Jadi Artis

Cari kerja susah. Itu sejak dulu. Maka banyak orang yang rajin belajar. Sekolah formal yang tinggi bisa menembus dinding-dinding kantor dan pabrik. Lulusan S1 bisa langsung jadi manager produksi. Yang sekolahnya rendah, jadilah buruh kontrak. Setiap saat bisa dilepas tanpa pesangon.

Itu dulu....
Kini yang lulusan sekolah tinggi-tinggi pun banyak yang menganggur. Ijazahnya tumpul untuk menembus peluang kerja di kantor dan pabrik. Pertumbuhan lapangan kerja jauh ketinggalan dibandingkan pertumbuhan tenaga kerja.

Pemerintah memang bekerja keras membuka lapangan kerja, tapi hasilnya dalam menyerap tenaga kerja belum tampak signifikan. Maka banyak orang yang membuka lapangan kerja sendiri. Itupun hanya beberapa gelintir yang punya nyali. Tapi patut disyukuri telah bisa mempekerjakan dirinya sendiri dan beberapa orang tetangga kanan kiri.

Ada juga yang memilih mempekerjakan dirinya sendiri. Bahasa kerennya self employee. Nyalinya besar dengan percaya diri atas potensi yang dimiliki. Kalau sekolahnya tinggi masak sih tidak bisa menafkahi diri dan keluarga sendiri. Kata Aa Gym, kuda nil yang berendem doang aja bisa hidup.

Jatuh bangun adalah biasa. Tempaan kerasnya berusaha membuatnya matang dan mampu bangkit kembali. Tidak sedikit pula yang rugi lalu bangkrut, sehingga harus mulai dari nol lagi. Atau berhenti sama sekali.

Tapi banyak yang tidak tahan. Majunya lambat. Tabungannya tidak kunjung bertambah. Maka kalau ada jalan pintas, kenapa tidak dicoba.

Akhir-akhir ini banyak bermunculan acara-acara TV yang menjanjikan pekerjaan dan popularitas. Anak-anak muda banyak jadi peminatnya. Siapa yang tidak mau? Sekolah susah dan mahal. Ujian Nasional bisa mengkandaskan segalanya. Setelah lulus belum tentu dapat kerjaan. Lebih baik jadi artis. Uangnya bakal jauh lebih banyak daripada jadi buruh pabrik yang upahnya tak kunjung cukup untuk hidup layak. Jangankan untuk istri dan dua anak, untuk sendiripun sudah habis sebelum gaji bulan depan diterima.

Maka berbagai acara untuk mengantar jadi penyanyi dan artis terkenal bermunculan. Dukungan via SMS sangat menentukan untuk jadi pemenang. Juga dukungan sang Mama yang memanajeri anak-anaknya dalam kontes nyanyi ini. Klop sudah. Anak pengen jadi artis, Ibu mendorong dan menyiapkan segalanya. Kalau anak jadi artis, uang banyak dan terkenal dimana-mana, siapa yang bangga kalau bukan ibunya.

Pemandangan unik dan memprihatinkanpun banyak kita tonton di acara ini.

Di panggung sang anak menyanyi dengan pakaian minim. Pakaian artis kan memang demikian. Rambut diurai atau disasak tinggi sehingga leher jenjangnya bisa dinikmati. Dada terbuka sampai tampak sedikit belahannya. Ketiak tak malu dibuka karena sudah pakai rexona. Baju penutup perut sesekali menampakkan pusarnya. Bentuk pinggul jelas muncul karena dicitrakan oleh disain dan warna kostumnya. Apalagi ketika dibawa goyang ke sana sini. Rok mini sengaja dipakai agar postur tubuh tampak lebih tinggi.

Di barisan penonton, jelas disorot oleh kamera seorang perempuan tua berkerudung rapi. Tersenyum dan menyemangati. Kadang didampingi laki-laki paruh baya mengenakan kopiah dan baju takwa.

Pada kesempatan orang tua naik panggung, pemandangan seperti peragaan busana antar budaya yang berbeda. Budaya luhur dan budaya yang kabur. Tapi si luhur mendukung si kabur. Sang Ibu yang berpakaian santun menyemangati dan mendorong anaknya yang nyaris mirip tak berpakaian.

Ketika dinyatakan lolos masuk babak berikutnya, sang calon artispun tersungkur bersujud syukur. Tentu tanpa sempat menutup auratnya lebih dahulu..... Masih banyak bagian tubuhnya yang terbuka di mana-mana. Entah bersujud syukur kepada siapa.....

Air mata meleleh dari mata sang Ibu. Gembira atas kemenangan anaknya. Atau..... sedih sambil bertanya-tanya kalau demikian jadinya kapan anaknya bakal memakai jilbabnya seperti dirinya?

Wallahu’alam bis shawab.

Choirul Asyhar, 3 Mei 2008

Senyum

Ketika ditanya kesannya berkunjung ke Indonesia, banyak turis asing menyampaikan bahwa orang Indonesia ramah tamah. Murah senyum. Banyak kita jumpai di masyarakat mereka saling melempar senyum ketika bersua di jalan. Tetangga saling bersapa dan bertukar senyum ketika berjumpa di depan rumah.

Indonesia pernah memiliki seorang presiden yang digelari the Smiling General, karena dia memang murah senyum. Senyumnya ditebarkan di mana-mana di muka umum. Jarang wajah cemberutnya mengemuka.

Senyum adalah ungkapan perasaan hati sehingga tidak bisa direkayasa. Ketika bibir tersenyum sedangkan hati sedang kesal dan gundah, maka gambaran senyum terasa hambar. Ketika senyum mengembang sebagai visualisasi hati yang ikhlas maka akan diterima oleh hati penerima senyuman itu.

Menurut para ahli senyum bisa mengendurkan ratusan urat syaraf di wajah kita. Senyum itu menyehatkan. Banyak wajah kusut dan tak bersahabat dimiliki oleh orang yang pelit senyuman.

Dalam Islam, senyum itu bernilai ibadah. Karena senyum termasuk sedekah. Selain sedekah dalam bentuk materi.

Akhir-akhir ini banyak berita di televisi dan koran yang membuat kita tersenyum sinis. Banyak pejabat yang sedang bermain badut, banyak badut bermain-main jadi pejabat. Mengaku jujur, tapi rumah mewahnya di mana-mana. Di garasi bertengger tiga mobil mewah. Kalau penghasilannya hanya dari gajinya sebagai pejabat, kalkulator paling canggih takkan mampu menghitung dari mana dia memperoleh semua kekayaan itu. Itupun masih bersisa banyak uang di rekeningnya di berbagai bank. Kalau ada bisnis, bisnisnya menjual jabatan dan tandatangannya. Maka senyum pemirsa mengembang di mana-mana. Kali ini senyum sinis, sesuai dengan suasana hatinya.

Bangsa ini memang murah senyum. Ketika pejabat diseret ke kantor KPK untuk interogasi dugaan korupsi, sambil berjalan dikawal petugas sang pejabat masih menebar senyumnya kepada seluruh wartawan dan pemirsa TV. Tak ada penyesalan yang tampak ke permukaan. Ketika diwawancarai, sang pejabat dengan yakin merasa diri tak bersalah. Ketika diminta mengundurkan diri, sang pejabat mengatakan ”kita tunggu keputusan pengadilan.” Seolah yakin di pengadilan kepandaian pengacaranya bersilat lidah bakal mengantarkan dia sebagai yang tak bersalah. Di pengadilan, salah bisa menjadi benar jika pengacaranya pintar. Benar bisa menjadi salah, jika pengacaranya berulah. ”Pintar” dan ”berulah” dalam makna kontekstual zaman ini.

”Kita taat hukum, supremasi hukum harus kita junjung. Selama belum ada keputusan hukum, saya belum bersalah.” Katanya sambil lagi-lagi melempar senyum ke mana-mana.

Jadi teringat sabda Rasulullah, bahwa dosa itu adalah sesuatu yang menggelisahkan hati dan kita tidak suka jika sesuatu itu diketahui oleh orang lain.

Maka wajar jika kegelisahan hati sering membuat kita tak mampu lagi tersenyum. Sebaliknya kebersihan hati membawa kita menjadi murah senyum. Karena tak ada dosa yang membebani.

Lalu fenomena apa yang terjadi, ketika para pejabat yang korupsinya dimana-mana masih mudah melemparkan senyum sepanjang jalan?

Dikabarkan bahwa jika neraka bocor selubang jarum saja maka panasnya bakal meluluhlantakkan bumi seisinya. Sejak itu Rasulullah tak pernah lagi tertawa kecuali sekedar senyum indahnya.

Ketakutan akan siksa Allah yang dahsyat seharusnya membuat kita banyak bermuhasabah, introspeksi. Banyak menangis dan sedikit tertawa.

(60) أفمن هذا الحديث تعجبون(59) وتضحكون ولا تبكون

”Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?
Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?” (QS. An Najm: 59-60)

Ukuran benar salah itu bukan di pengadilan dunia, tapi ada di ajaran Islam agama kita. Yang built-in dalam qalbu kita.

Cikarang Baru, 3 Mei 2008