Minggu, Agustus 19, 2007

Anak Pintar Dilarang Sekolah


(Kecuali Yang Kaya)
Oleh: Choirul Asyhar

Tahun ini saya benar-benar memeras otak dan menguras tabungan. Dua anak saya masuk pesantren. Melanjutnya jenjang pendidikan sekolah lanjutan pertama. Biaya masuknya saja sudah 10 juta lebih. SPP-nya dan biaya hidup mereka berdua sekitar satu tengah juta per bulan. Belum biaya nengok ke sana sebulan sekali.

Pilihan ke pesantren saya dan istri lakukan setelah berdiskusi dengan anak-anak. Pertimbangan salah satunya adalah kehidupan diluar pesantren yang sangat polutif. Tidak hanya udara perkotaan yang kotor dengan karbon monooksida, bising dengan suara knalpot kendaraan bermotor dan gas buangan pabrik. Tapi juga udara sekitar yang kotor dengan pemandangan anak-anak muda yang asik berpacaran. Mulai yang berbaju banyak jendelanya sampai yang berjilbab atasnya tapi pinggulnya nongol. Mulai yang duduk mojok di taman-taman kota, sampai yang berpelukan lekat di atas motor.

Belum lagi udara di rumah yang ruangannya penuh dengan cahaya tivi. Suaranya penuh dengan umpatan dan caci maki mematikan hati nurani. Gambarnya menyedihkan dan membuat orang tua tak habis mengerti. Iklannya menguras kantong baju dan celana. Musik dan video klipnya mengikis habis kepribadian dan jati diri.

Pertimbangan kedua adalah mahalnya biaya sekolah. SPP bulanan sudah ratusan ribu, belum biaya antar jemput, aneka kegiatan dan lain-lain. Itupun masih ditambah biaya les sore atau malam harinya. Biayanya tinggi, waktunya habis. Sehingga ketika tiba dirumah, orang tua tak kebagian waktu untuk berbagi nasehat atau sekedar bercengkeramapun. Anak capek, nyalakan TV. Lalu pulas di depan TV. Jadi bahkan baca doa sebelum tidur pun tak sempat.

Ternyata mahal benar untuk jadi pintar. Ada biaya materi dan biaya sosial. Akhirnya orangtua pun menghabiskan waktunya pula untuk mencari nafkah lebih keras. Demi menutup biaya pendidikan. Maka rumah hanya jadi tempat singgah. Melepas lelah dan membunuh kantuk. Begitu mata terbelalak bangun, berarti saatnya keluar rumah.

Dengan hitung-hitungan ini, maka pendidikan di Pesantren jadi lebih murah. Karena saya tidak perlu lagi mengeluarkan biaya transport, uang makan siang, biaya mencuci pakaian dan lain-lain. Belum lagi covering biaya sosialnya. Saya juga terbantu oleh kegiatan yang ketat di Pesantren, sehingga anak-anak tidak ada waktu dan keinginan untuk membuang-buang waktunya dengan nonton TV, dengerin musik, ngobrol di tempat-tempat nongkrong dan lain-lain. Apalagi memang tidak ada TV di Pesantren. Juga larangan membawa HP, MP3, MP4 dan lain barang elektronik yang cenderung menghabiskan uang dan menyia-nyiakan waktu.

Satu lagi harapan saya menyekolahkan anak di pesantren adalah nanti kalau mereka lulus SMA dari Pesantren mereka bisa meneruskan perguruan tinggi di luar negeri dengan biaya murah, syukur-syukur mendapatkan beasiswa dari negara tujuannya nanti. Tak terbayang jika mereka harus kuliah di dalam negeri. Hanya orang kaya raya yang bisa membayar biaya masuk PT. Coba survey, berapa persen penduduk Indonesia yang memiliki tahungan 50 juta ke atas. Buruh pabrik bergaji 5juta per bulan aja, harus empot-empotan untuk menabung sehingga bisa mencapai jumlah itu. Apalagi yang bergaji minimal. Kalau toh ada, pasti berat sekali mengeluarkan uang sebanyak itu, karena uang itu adalah pesangon yang diterima ketika pabrik tempat kerjanya tutup.

Pasal 29 UUD 45 dan amandemennya memang memayungi kita bahwa pemerintah berkewajiban menyediakan pendidikan dan penghidupan yang layak bagi setiap warga negara. Layaknya sebuah kewajiban, yang menurut ahli fikih, kalau dikerjakan berpahala kalau diabaikan berdosa. Maka pemerintah hendaknya merasa berdosa tidak bisa memenuhi hak-hak warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang layak. Alih-alih merasa berdosa, justru pemerintah malah suka mencabut subsidi pendidikan. Memprivatisasi perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum pendidikan yang harus berupaya sendiri untuk menutup biaya operasionalnya. Jadi perguruan tinggi negeri tak ubahnya dengan PTS yang hidup sendiri. Yang akhirnya memeras kantong wali muridnya.

Tahun ini anak saya masuk SMP, berarti enam tahun lagi masuk perguruan tinggi. Kalau sekarang masuk perguruan tinggi harus bayar 60 – 100 juta. Enam tahun lagi entah berapa juta. Kalau misalnya tetap 100 juta berarti mulai sekarang saya harus menabung 1.4 juta per bulan. Untuk dua anak saya berarti saya harus pandai-pandai menabung 2.8 juta rupiah perbulan. Perlu kesabaran dan ketawakalan yang tinggi agar saya tidak terjerusmus mengikuti jalan pintas apapun untuk mencapainya.

Sebagai warga negara yang cinta dengan pemerintahnya, saya mengingatkan pemerintah agar berupaya keras memenuhi kewajibannya. Jika tidak mereka akan menimbun dosa sepanjang periode pemerintahannya. Kalau demikian, maka jika masa jabatannya habis mereka akan sakit dua kali. Yang pertama post power sindrom. Yang kedua penimbunan dosa. (Semoga amal baiknya masih lebih banyak sehingga kalau mati tetap masuk Surga. Amin).

Kalau masih juga pemerintah kita lupa terhadap kewajibannya ini, maka kita cari pemerintah negara lain saja yang mau mengasihani kita. Membiayai pendidikan anak-anak kita. Dan saya dengar banyak negara di Timur dan Barat juga Timur Tengah menyediakan beasiswa untuk anak-anak kita. Dan yang membanggakan mahasiswa Indonesia yang di negeri sendiri tidak diopeni. Dicuekin kaarena miskin, ternyata berprestasi cemerlang di luar negeri. Lalu ketika pulang ke Indonesia, pemerintah Indonesia tinggal menikmati pengabdian mereka untuk masyarakat. Uenak tenan……… Semoga Allah memberi hidayah kepada kita semua, sehingga kita bisa menangkap mana kewajiban yang harus ditunaikan dan mana hak yang pantas kita peroleh. Amin.

Cikarang, 19 Agustus 2007

1 komentar:

Anonim mengatakan...

assalaamu alaikum.wr.wb.
secara tidak sengaja sy membuka blog ini.
satu hal yg membuat tertarik adalah foto yg terpampang,foto sebuah tempat yg sdh tdk asing lagi bg sy,enam thn sy berada dsn,menuntut ilmu..
...memang begitulah kondisi pendidikan di Indonesia saat nini.hany org2 berduitlah yg bisa sekolah.termasuk di aslm, bg sebagian bsr org jg msh tergolong mahal..tp sy tdk akn berkomentar lbh pnjng ttg pndidikn Ind.saat ini..
..memilih assalaam, mdh2an tdk hany skedar tempat menitipkan anak, krn bagaimana pun jg mreka tetap butuh bimbingan ortu,krn dukugan (bkn hanya finansial) ortu thdp studi anak di pesantren bs mempengaruhi prestasi dan kualitas putra2 bpk .hal ini yg sering dilupakan sebagian besar wali santri.namun sy yakin bpk lbh tahu akan hal ini..
semoga hrpn bpk bisa terwujud...
..mhn maaf klo ada yg kurang berkenan..
wassalaamu alaikum wr.wb.
alumni 18 (2005)