Jumat, September 21, 2007

Sahur Heboh

Hari ke delapan Ramadhan ini benar-benar heboh. Tahun ini adalah tahun kedua bagi anak kami untuk menjalankan puasa Ramadhan. Umurnya baru 7 tahun, tapi sudah belajar puasa penuh. Karena itu harus bangun sahur jam setengah empat pagi dan berbuka ketika maghrib tiba. Ya tahun ini adalah tahun ke dua baginya. Dan hari ini adalah hari ke delapan dia harus bangun sahur.

Tujuh hari telah dilaluinya dengan mulus. Tapi pagi ini anak kami benar-benar bikin heboh. Paling tidak, heboh bagi ibunya. Awalnya saya tidak tahu persis. Karena tiba-tiba istri saya membangunkan saya sambil berkata: “Ayah, tuh temenin Athaya untuk sahur. Mungkin bisa lebih tenang.” Jadi saya bangun paling belakangan. Begitu saya ke ruang (tamu yang disulap jadi ruang) makan, saya lihat Athaya sedang merengek. Di depannya sudah ada semangkuk mie instant. Saya menyimpulkan, pasti tadi dia minta mie ini. Sedangkan ibunya meskipun tidak setuju, akhirnya mengabulkan juga. Tapi anehnya, justru mie di depannya pun tak disentuhnya. Istri terus bicara, bahwa kalau makan mie saja, pasti besok puasanya gak kuat. Jadi harus makan nasi dan telor ceplok juga.

Saya hanya berkata dalam hati: Mie-nya saja belum dimakan sudah disuruh makan nasi dan ceplok juga. Tapi saya tidak bicara apa-apa karena kalau saya nimbrung pasti sahur pagi ini makin heboh.

Berkali-kali istri mengingatkan dengan nada tinggi bahwa jamnya jalan terus. Anak kami berdalih bahwa Ibu juga tidak sahur, cuman makan minuman organik saja. Istri saya memang sedang melaksanakan terapi obesitasnya dengan makan makanan organik saja ketika sahur. Istri saya membela diri, bahwa ini berbeda. Makanan ini memang mengenyangkan, tapi rasanya tidak enak, sehingga Athaya pasti tidak suka. Karena itu ia tidak menganjurkan Athaya untuk ikut-ikutan sahur makanan organik saja.

Sekali lagi istri saya berkata untuk menakut-nakuti Athaya bahwa jamnya jalan terus. Athaya gak ngerti jam, sih, jadi nyantai aja. Juga kata-kata lain yang tidak mudah untuk menuliskannya dengan pilihan bahasa yang lembut. Karena mungkin amarah sudah semakin meningkat menguasai dirinya. Mungkin kesal akan tingkah laku sang anak membuat beberapa kata meluncur tanpa pikiran jernih.

Diam-diam kulirik jam dinding. Sudah jam empat kurang lima menit. Berarti sudah hampir setengah jam Athaya ngambek. Tak ada komunikasi lagi dari mulutnya kecuali suara rengekan. Lalu dia pindah menelungkup di lantai di depan kamar. Rengekannya masih berlanjut. Mungkin dia berharap kita sebagai orangtuanya mestinya tahu apa maksud tangisannya. Orang tua kan serba tahu. Tapi kenapa sekarang tidak paham juga. Istri saya malah menjawabnya dengan ”Athaya, Ibu mana tahu dengan apa yang ada dalam hatimu. Ayo, Athaya mau apa, sih?” Dia sekali lagi menjawab dengan rengekan.

Tangisan makin keras ketika istriku mengatakan bahwa meskipun dia tidak makan sahur hari ini dia tetap harus puasa. Saya meraba-raba bahwa kekesalan karena kebuntuan komunikasi menimbulkan keputusasaan sehingga melahirkan ’ancaman’ ini. Sebuah ’ancaman’ yang saya sendiri takut mendengarnya. Padahal sebelumnya saya hendak menengahi dengan mengatakan sebaliknya. Kalau tidak makan sahur, berarti tidak puasa. Saya yakin ’ancaman’ saya ini juga efektif. Karena anak kami paling takut kalau tidak puasa penuh. Tapi ’ancaman’ istri lebih dulu terdengar. Maka Athaya menangis makin keras mendengarnya. Mungkin dia takut kelaparan. Sementara tidak puasa juga ketakutan tersendiri baginya.

Saya terus menyelesaikan makan sahurku. Sama sekali tidak hendak memperkeruh suasana pagi yang penuh berkah ini. Dalam hati saya terus berdoa, agar tidak keluar dari mulut istriku ancaman dan omongan yang lebih tidak baik lagi.

Perlahan Athaya bangkit dari posisi telungkupnya. Dia harus bangkit untuk melihat jam dinding, karena pandangannya terhalang lemari kayu tuaku. Ternyata dia mengerti jam. Buktinya dia segera menuju meja (tamu yang disulap menjadi meja) makan. Diambilnya sepiring nasi dan telor ceplok yang sudah disiapkan setengah jam yang lalu. Dua puluh menit lagi masuk waktu imsya’. Seperti biasa, dia makan dengan pelan. Ibunya sudah masuk kamar setelah menyelesaikan ’makan’ sahurnya. Mengaji atau menyiapkan diri untuk shalat Subuh. Sesekali saya ingatkan agar dia makan lebih cepat. Kalau tidak keburu imsya’. Meskipun saya tahu bahwa imsya’ hanya tanda waktu berhati-hati sebelum masuk waktu Subuh dimana kita baru benar-benar harus mengakhiri sahur kita.

Benar juga. Nasinya habis pas waktu imsya’ tiba. Tapi dia belum minum segelaspun, tangannya justru meraih semangkok mie yang sudah dingin itu. Saya tidak melarangnya. Masih ada waktu 10 menit sebelum masuk Subuh. Dia lahap sekali menyeruput mie dinginnya. Celakanya, azan Subuh di masjid dikumandangkan lebih cepat tiga menit oleh Muazin. Mungkin jam di masjid lebih cepat 3 menit. Anakku masih menikmati mie-nya. ”Teruskan, masih ada waktu tiga menit” kata saya. Dia menghabiskan kuah mie-nya. Lalu menyeruput segelas air. Dalam hati saya berkata “Masih banyak waktu untuk kamu mengerti kewajiban agama ini”.


Cikarang Baru, 20 September 2007/ 8 Ramahan 1428 H.

Sabtu, September 15, 2007

Para Jundi Cilik Negeri Sakura

Oleh: Lizsa Anggraeny

Namanya Ibrahim, berumur kira-kira 4 tahun. Lahir dari pasangan muslim Pakistan dan muslimah Jepang. Jika ditanya cita-cita "Kalau sudah besar mau jadi apa?" Jawaban tegasnya selalu membuat bulu tangan berdiri. "Okikunattara Masjidil Haram no Imam ni naritai ! (Kalau sudah besar pengen jadi Imam di Masjidil Haram!). " Di usianya yang masih belia, Ibrahim hapal hampir seluruh juz ke-30 Al-Quran. Sebuah prestasi yang menggembirakan bagi seorang anak yang dididik dalam lingkungan negeri yang tidak mengenal agama seperti Jepang.

Namanya Ismail, berumur sekitar 4 atau 5 tahun. Lahir daripasangan muslim Afrika dan muslimah Jepang. Jika ditanya tentang cita-cita, jawabannya akan polos terdengar. "Okikunattara suika ni naritai (Kalau sudah besar ingin jadi buah semangka)" Jawaban khas anak kecil yang mungkin akan membuat orang dewasa tersenyum geli. Namun tidak begitu jika ditanya "Ismail orang mana?" Sosok kecilnya akan tegas menjawab "Boku wa Isuramu jin da yo (Aku orang Islam). " Sosok kecil Ismail mungkin belum mengenal nama-nama negara di dunia, yang ia tahu hanyalah kebangaan menjadi orang Islam – seorang anak muslim yang lahir di negeri sakura.

Tidak hanya Ibrahim dan Ismail, ada si kecil yang bernama Aisha, Nurjanah, Sahar, Samar, Hasan, Jibril, Thalhah serta beberapa jundi cilik lainnya yang tinggal di negeri sakura. Umumnya mereka terlahir dari pasangan campuran muslim asing dengan muslim Jepang. Tidak seperti anak-anak muslim di Indonesia, mungkin mereka jarang sekali mendengarkan adzan di masjid, tidak bisa sering berkumpul dengan sesama anak muslim lainnya, sulit mendapatkan buku cerita anak tentang Islam serta kurang memiliki lingkungan kondusif untuk belajar agama.

Dengan kondisi seperti ini, tidak salah jika para orang tua mereka begitu giat ingin menanamkan jiwa mencintai Allah dan Rasulullah saw sejak masih dalam buaian. Setiap dua pekan sekali ataupun dalam acara khusus, saya memiliki kesempatan bertemu dengan para jundi ini di sebuah masjid di sekitar kawasan Tokyo. Jarak perjalanan yang jauh sepertinya tidak menjadi halangan. Semata semua dilakukan untuk menambah 'charge' ruhaninya tentang Islam.

Dalam keterbatasan waktu dan ruang, para jundi cilik ini tetap memiliki semangat. Mengikuti dengan mimik serius setiap mendengarkan cerita shirah nabawi ataupun sahabat, tertawa-tawa riang ketika diajarkan huruf hijaiyah dengan permainan kotak dadu, serta kadang terbata-bata berusaha menghapalkan setiap untaian ayat, surat-surat ataupun doa-doa pendek yang dilantunkan bersama di antara kelincahannya sebagai anak-anak. Tak berlebihan rasanya, jika melihat sosok mungilnya yang ceria dengan semangat menyala, ingatan saya selalu melompat pada beberapa cerita tentang para pahlawan cilik di masa Rasulullah saw.

Rafi bin Khudaij pemanah cilik ulung yang pernah ikut dalam jihad di Uhud. Zaid bin Tsabit dalam usianya yang masih belia, diberi kehormatan membawa bendera pasukan muslim saat perang Tabuk karena memiliki hapalan Qur`an yang baik. Salamah bin Akwa yang tekenal sebagai pelari cilik tercepat hingga dapat menahan para perampok unta-unta Rasulullah saw dengan teknik berlarinya. Aisyah binti As-Shiddiq gadis cilik cerdas banyak mengetahui tentang Al-Qur`an, hadits, ataupun syair. Pahlawan cilik yang dalam usia belia, begitu bangga dengan izzah sebagai muslim. Dengan gagah berani membela Islam. Memerangi kezaliman dengan kecerdasan dan keahlian, meski terkadang musuh yang dihadang lebih besar daripada badanya.

Para jundi negeri sakura, mungkin belum tahu tentang cerita kehebatan para pahlawan cilik di atas. Dan mungkin pula kehebatan para jundi negeri sakura belum sebanding dengan para pahlawan cilik di zaman Rasulullah saw. Namun tak berlebihan jika para orang tua termasuk saya, memiliki harapan yang sama. Bahwa para jundi cilik tersebut suatu saat akan menjadi pahlawan pembela Islam di negeri sakura. Dalam jiwa kecilnya, akan tumbuh kebanggaan menjadi seorang muslim. Dapat gagah berani membela Islam. Memiliki sikap tegas berjuang melawan kezaliman berupa serangan pemikiran barat. Tidak terimbas oleh lingkungan sekuler yang siap menghancurkan mutiara imannya.

Perlahan tapi pasti, jundi-jundi cilik di negeri sakura akan tumbuh menjadi generasi yang berjiwa kuat seperti para pahlawan cilik di zaman Rasulullah saw. Mereka akan menjadipenegak panji Allah swt. Yang selalu bangga mengatakan "Saya adalah muslim. " Yang dapat meluaskan syiar Islam hingga semakin menyebar dan kokoh tegak di bumi sakura. Insya Allah.

Yakumo -Sepenggal catatan aishliz et FLP Jepang –

Sebuah cerita menarik, dari Eramuslim, 6 Sep 07 12:54 WIB, untuk menyemangati kita menyiapkan pula anak-anak kita menjadi penerus da’wah di Indonesia.

Rabu, September 12, 2007

Allahumma Ballighna Ramadhan

Sedianya aku bertekat menulis setiap langkah persiapanku menuju Ramadhan. Untuk menyemangati diri sendiri bahwa aku memang harus serius mengisinya dengan ibadah berkualitas.
Tapi lagi-lagi kesoksibukan melenakan saya. Sehingga jangankan menuliskan persiapan saya, mempersiapkan diripun aku tak bisa mendefinisikan. Apa yang telah kusiapkan. Tak ada data apa yang telah disiapkan dan apan yang belum. Sebagaimana ketika kita hendak pergi jauh. Daftar barang yang mau dibawa kita buat rapih, sehingga ketahuan mana yang sudah ada dan mana yang belum.

Padahal pengetahuan bahwa Ramadhan penuh berkah, sudah sering kita dengar. Dan kita percaya benar sebagai orang beriman. Tapi rasanya saya mau mencapainya saja tanpa cukup mempersiapkannya.

Juga Ramadhan yang penuh maghfirah. Siapa yang akan menolak dosanya yang bejibun diampuni Allah. Siapa lagi yang mengampuni dosa kita jika bukan Allah. Maka Choirul siapkan dirimu memenuhi panggilan Ramadhan. Menjemput ampunan-Nya.

Lalu Allah membebaskan kita dari Api neraka. Wow, api rokok saja kita tak sanggup menahannya. Apatah lagi api neraka yang panasnya sampai 70 kali lipat panas api dunia. Lalu apa yang akan kita siapkan untuk menyambut tawaran ini. Sami’na wa atho’na. Ya Allah aku mau. Siapa yang tak mau. Bimbinglah aku mendapatkannya.
Oh, kesempatan yang sayang jika lewat begitu saja. Kapan lagi kita bisa mendapatkannya kalau bukan sekarang.
Beberapa menit lagi Ramadhan datang. Itupun belum tentu umur kita sampai, apatah lagi menunggu Ramadhan tahun depan.

Tertunduk hatiku memohon lagi kepada Allah
Allahumma ballighna Ramadhan.....
Allahumma ballighna Ramadhan....
Allahumma ballighna Ramadhan....

Cikarang Baru, 12 September 2007

Ramadhan Countdown -2

6 Hari Lagi

Semakin dekat, semakin terasa
Tak bakal bisa ditolak kehadirannnya
Betapapun berat hati menerimanya
Dia pasti datang menjelang

Maka kenapa kita tak siap-siap saja menyambutnya
Kalau di dalamnya banyak Allah menjanjikan kebaikan bagi kita
Kenapa tak kita tangkap saja kebaikan itu
Kenapa tak kita siapkan saja syarat-syaratnya

Demikian guruku selalu mengajarkan
Tapi persiapanku pun tak kunjung lengkap
Rasanya aku selalu menyiapkan diri
Tapi selalu saja aku tak percaya diri

Ketika ruhiyah harus diasah
Tetap saja banyak aktifitas yang kulakukan justru menumpulkannya
Ketika hatiku bertekat menghadap Allah malam hari
Selalu saja nafsuku membisik-bisiki
Tidur lebih baik agar besok segar mencari rizki

Ketika harus berlatih menahan diri sepekan dua kali
Susah benar bangun sahur karena semalaman tidur larut sekali
Ketika kutahu Rasulullah manusia mulia
Susah payah mempersiapkan diri sejak dua bulan sebelumnya
Oh, siapakah saya merasa ringan dengan kedatangan bulan mulia ini

Cikarang Baru, 7 September 2007

Serial Peluang Korupsi - 6:

Di Jalan Raya (2)

Ketika coba-coba jualan kayu untuk palet, pada pengiriman pertama saya ikut menumpang truk. Sekitar jam sembilan malam truk masuk ke sebuah pintu tol. Baru saja truk meluncur setelah menerima tiket tol, sopir telah menginjakkan lagi kakinya di pedal rem. Truk berhenti tepat di belakang mobil polisi yang dari tadi berhenti di bahu jalan sambil menyalakan lampu sirine polisinya. Sopir truk turun menuju mobil polisi. Tidak lama, karena semuanya sudah disiapkan. Sopir truk mengulurkan sejumlah uang. Selesai.

Ketika truk kembali berjalan saya menanyakan apa yang dia lakukan tadi. Katanya, ini hal yang biasa. Setiap lewat jalan ini sopir truk harus menghentikan truknya meskipun tidak distop polisi. Lampu sirinenya yang menyala dan berputar-putar adalah sinyal keberadaannya. Sopir truk yang mengerti pasti berhenti, turun dan setor sejumlah uang. Jika tidak pasti dikejarnya dan akan menghadapi masalah yang lebih besar. Yang bermakna uangnya harus lebih besar untuk berdamai.

Ketika saya tanya berapa uang yang disetor? Jawabnya hanya lima ribu rupiah. Angka ini juga sudah menjadi kesepakatan tak tertulis. Jika sopir memberikan lebih banyak, justru polisi akan curiga. Barang berharga apa yang ada di truk ini kok sopirnya royal banget.
Saya hanya tersenyum kecut, sambil membayangkan jika semalam ada seratus truk yang lewat berarti besok pagi pak Polisi akan membawa pulang lima ratus ribu rupiah. Uenak tenan……..

Dalam perjalanan, pak sopir menceritakan bahwa sebenarnya perusahaan transportasi tempatnya bekerja sudah menyetor sejumlah dana bulanan kepada pejabat kepolisian setempat. Tapi, katanya –sebagaimana pengakuan polisi di lapangan- dana itu tidak sampai muncrat ke lapangan, karena itu yang di lapanganpun mengutip lagi.
Kali ini saya tersenyum lagi, sambil berkata dalam hati kepada pengusaha transportasi .... “kacian deh lu........”

Jumat, September 07, 2007

Serial Peluang Korupsi - 5:

Di Jalan Raya (1)

Untuk menambah mengepul dapur istri, saya memberdayakan mobil carry saya dengan mengangkut anak-anak sekolah. Hitung-hitung sekalian mengantar anak saya sekolah juga. Sekitar lima tahun saya menjalankan usaha hidup seperti ini. Alhamdulillah bisa menggaji sopir dan membuat mobil saya bisa berjalan karena ada uang bensin dan oli lebih dari cukup. Tidak ada halangan berarti, sampai suatu ketika mobil saya dicegat oleh polantas. Mobil saya ditilang karena tidak memiliki izin usaha bus sekolah. Saya yang buta dengan perundang-undangan yang banyak sekali itu mempertanyakan sejak kapan kita harus punya izin usaha bus sekolah. Ternyata ada Perda-nya. Ya sudah saya mengalah. Maka saya ditilang. Untuk membantu program pemerintah (padahal sebenarnya karena saya kesal) saya sampaikan ke petugas yang menilang saya. Bahwa kalau memang mau menegakkan perturan, polantas tidak perlu berpanas-panas di jalan raya. Cukup nongkrong aja di depan sekolah. Pasti puluhan mobil tertangkap. Sekalian bisa memberi pencerahan kepada para sopir, bahwa usaha antar jemput anak sekolah harus berizin. Saya menyebutkan 3-4 sekolah di Cikarang yang banyak menggunakan jasa antar jemput untuk murid-muridnya. Tapi sang petugas hanya tersenyum kecut. Entah apa artinya hanya dia dan Allah yang tahu.

Ketika mendatangi persidangan pada tempat yang disebutkan dalam surat tilang, sopir saya di arahkan ke kantor polisi tertentu. Ternyata STNK mobil saya ada di sana. Untuk menebusnya tidak perlu sidang. Cukup sopir saya menyerahkan uang 80 ribu dan STNK pun sudah berpindah tangan! Ketika dilapori hal ini sore harinya, kali ini saya yang tersenyum kecut!

Lho, apa gunanya surat tilang. Apa gunanya saya patuh tidak memberikan uang damai, kalai ujung-ujungnya uang saya toh tidak masuk ke kas negara. Tapi jadi bancaan kantong petugas!

Suatu Sabtu saya naik motor dari Cikarang ke Cibitung. Di perjalanan ada razia surat-surat kendaraan dan SIM. Merasa surat saya lengkap saya berhenti dengan santai. Ketika saya membuka dompet saya, ternyata saya hanya menemukan SIM C saya. STNK-nya tidak saya temukan, meskipun saya sudah teliti membuka lembar-lembar struk ATM dari dompet saya. Saya teringat, bahwa STNK tertinggal di salah satu kantong baju saya yang saya pakai beberapa hari yang lalu. Kejadiannya ketika parkir motor di suatu pertokoan, saya harus menunjukkan STNK kepada petugas ketika meninggalkan tempat parkir. Setelah itu saya tidak mengembalikannya ke dompet saya, tapi ke kantong baju. Karena tidak disiplin menempatkan sesuatu pada tempatnya maka sekarang saya menerima akibatnya. Saya ditilang karena tidak bisa menunjukkan STNK.

Kata Polisi seharusnya kalau tidak punya STNK, yang ditahan adalah motornya tapi Pak Polisi dengan kebijaksanaannya cukup menahan SIM C saya, meskipun saya sebenarnya merelakan motor saya ditahan. Setelah itu Polisi mengeluarkan kebijaksanaan lagi, bahwa kalau keberatan ikut sidang bisa menitipkan uang Rp 75.000,- kepadanya. Karena pengalaman terdahulu, saya memilih titip uang saja. Toh sama-sama ujung-ujungnya uang tilang masuk kantong petugas. Tapi karena saya masih harus meneruskan perjalanan, saya minta tanda bukti bahwa saya sudah ditilang. Kalau tanpa tanda bukti, saya khawatir di depan ada tilang lagi, saya jadi tekor kor. Apa jawaban Pak Polisi? ”kalau gitu, Bapak sidang aja, deh.” Wow, ngambek ni yee.... Karena curiga, ujung-ujungnya uang saya ditilep juga, maka saya minta diberi kemudahan. Karena menggunakan bahasa Jawa, maka akhirnya saya diarahkan untuk menebus SIM saya di Polres Kabupaten Bekasi yang ada di Cikarang, dekat rumah saya.
Pada hari H saya ambil SIM saya. Setelah membuka data base yang berisi besarnya denda setiap kesalahan, ternyata benar saya harus bayar Rp. 75.000,- Saya coba menawar. Akhirnya petugas memberikan diskon Rp. 5.000,-. Jangan tanya kuitansi, karena sudah saya tanyakan, dan ternyata tidak ada. Oh kasihan negeriku, banyak enterpreneur di kantor pemerintahnya.

Rabu, September 05, 2007

Ramadhan Countdown

8 Hari Lagi

Hari ini 23 Sya’ban 1428H, bertepatan dengan 5 September 2007.
Menurut hisab, Ramadhan akan jatuh tanggal 13 September ini.
Berarti delapan hari lagi.
Enam atau tujuh hari lagi ahli ru’yat akan melakukan aktifitasnya menjadi saksi munculnya hilal bulan Ramadhan.

Apapun keputusannya, Ramadhan bakal datang.
Tinggal apakah kita sempat menemuinya atau tidak, wallahu’alam.
Karena itu saya selalu berdoa dan berharap agar usia saya sampai pada Ramadhan tahun ini.

Allahumma ballighna Ramadhan...
Ya Allah, sampaikan umurku pada Ramadhan....

Ketika membaca do’a ini, saya menghadirkan suasana Ramadhan yang sayang jika terlewat.
Ramadhan yang penuh barakah. Sayang sekali kalau tak diisi ibadah.
Pahalanya berkelipatan. Sayang sekali kalau kualitas ibadahku asal-asalan.
Bertebaran hikmah di dalamnya. Sayang sekali kalau kita tidak memaknainya.
Waktunya Cuma sebulan. Sayang sekali kalau terlewatkan.
Menjadikannya sama dengan bulan-bulan lain.
Oh, alangkah meruginya saya.

Ramadhan yang penuh maghfirah. Allah menjanjikan ampunan-Nya kepada siapa saja
yang berpuasa dan menegakkan Ramadhan dengan iman dan penuh perhitungan.
Wow, kalau setiap Ramadhan menghapus dosa-dosa kita tahun sebelumnya.
Berarti dosa ku yang berusia 42 tahun ini sama saja dengan dosa adikku yang berusia 36 tahun.
Yang tercatat hanya setahun terakhir saja. Dan segera akan terhapus begitu memasuki hari raya.
Oh, Maha Pengasihnya Allahu Rabbuna. Oh, Maha Penyayangnya Allah.
Tapi, jika aku melewati Ramadhan tanpa isi apa-apa?
Betapa menumpuknya dosaku. Sedangkan sepertinya tiada amalan lain
yang bisa menghapuskannya melebihi amalan-amalan Ramadhan.

Sangat wajar, jika bisa meraih ampunan dari Allah, berarti dosa-dosa kita menjadi minimal.
Maka wajar pula Rasulullah berkata dengan Ramadhan Allah akan membebaskan kita dari api neraka.
Oh, kesempatan yang sayang jika lewat begitu saja. Kapan lagi kita bisa mendapatkannya kalau bukan sekarang.
Delapan hari kedepan saja, belum tentu umur kita sampai, apatah lagi menunggu Ramadhan tahun depan.

Tertunduk hatiku memohon jawaban
Allahumma ballighna Ramadhan.....
Allahumma ballighna Ramadhan....
Allahumma ballighna Ramadhan....

Cikarang Baru, 5 September 2007