Kamis, Agustus 09, 2007

Pilkada Jakarta, Siapa Yang Menang?


Oleh: Choirul Asyhar


Tanggal 8 Agustus 2007 pukul dua siang, banyak LSM dan tim sukses kandidat melansir perolehan suara sementara. Data dari para saksi di setiap TPS mengalir ke pusat perhitungan masing-masing melalui SMS, telepon dan sebagainya. Teknologi Informasi mempermudah semua pekerjaan ini. Salah satu tim kandidat menyebut ini sebagai data real count. Berbeda dengan Quick Count yang dilakukan dengan mengumpulkan data-data secara sampling dari seluruh TPS yang ada, real count diperoleh dari perolehan data dari seluruh TPS yang ada, yang masuk secara berangsur-angsur.

Data sementara Fauzi-Prijanto (FP) unggul atas Adang-Dani (AD). Perolehannya berkisar antara 55 : 45. Jika perbandingan ini terus terjaga dengan berangsur-angsurnya data yang masuk dari setiap TPS, maka sudah bisa dipastikan FP memenangkan pilkada ini. Dan keduanya akan tinggal mengikuti hari pelantikan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, propinsi paling bergengsi di negeri ini karena kota ini juga merupakan Ibu Kota negara RI.

Bukan mendahului takdir. Tapi jika FP mendapatkan 55% suara maka FP dinyatakan menang. Dan AD yang mendapatkan 45% dinyatakan kalah. Dalam konteks pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur pernyataan ini benar adanya. Tapi bagaimana dengan sudut pandang partai politik sebagai mesin politik?

Seperti dimaklumi FP didukung oleh 20 partai politik. Ke-20 parpol tersebut pada Pemilu 2004 memperoleh 76% suara. Jadi kalau dianggap ke-20 parpol tersebut mewakili 76% warga DKI, berarti ada 21% suara pendukung parpol-parpol tersebut yang tidak memilih FP. Kondisi sebaliknya terjadi pada AD yang hanya didukung oleh satu parpol yaitu PKS. Partai ini dalam Pemilu 2004 hanya didukung oleh 24% warga DKI. Tapi dalam Pilkada kali ini didukung oleh 45% warga DKI. Jadi ada lonjakan dukungan yang luar biasa. Yaitu 21%. Sebuah kenaikan yang fantastis. Meskipun dikeroyok oleh 20 parpol diantaranya 3 parpol besar (Golkar, PDIP, PPP), ternyata AD tidak kalah telak! Malah kalau dilihat dari sudut mekanisasi parpol, hal ini menunjukkan keberhasilan PKS sebagai mesin politik bagi pasangan AD. Diluar dukungan kader militan PKS sendiri yang bisa dipastikan memilih AD, kecuali yang tidak terdaftar dalam DPT, ternyata tim sukses AD bisa menggaet 21% tambahan pendukung. Ini adalah potensi bagus bagi bargaining position PKS dalam berbagai Pilkada lainnya di berbagai daerah yang akan datang dan bahkan pada Pemilu dan Pilpres 2009.

Benar bahwa keroyokan yang dilakukan oleh ke-20 partai berhasil menggagalkan PKS mengantarkan jagoannya untuk menjadi Gubernur dan Wagub. Tapi disisi lain ternyata keroyokan ini justru meningkatkan kedudukan PKS dalam percaturan politik di Jakarta atau bahkan nasional. Bayangkan 20 vs 1 ternyata hanya menghasilkan 55 vs 45. Mestinya secara teoretis menghasilkan sekitar 76 vs 24. Artinya dalam kemenangan ini Parpol-parpol pendukung FP harus segera berbenah diri. Siapa diantara mereka sebenarnya yang tidak atau kurang kontribusinya dalam mobilisasi pendukung dalam pilkada ini. Atau adakah massa dari ke-20 parpol itu yang suaranya terpecah, sebagian ke FP, sebagian lagi ke AD. Fenomena ini adalah gambaran bahwa koalisi elit ke-20 parpol tersebut bukanlah otomatis berarti koalisi massanya. Jika parpol-parpol tersebut yakin akan berhasil memobilisasi massanya maka FP tidak perlu mencari dukungan sampai 20 partai. Cukup 2-3 partai besar saja. Lalu parpol-parpol kecil bisa mengajukan 1 pasang calon lagi. Tapi dukungan yang bombastis ini mau-tidak mau memang menunjukkan bahwa elit 20 parpol tersebut tidak percaya diri untuk bisa mengikat dan memobilisasi massanya. Tampak sekali ketakutan akan kewalahan menghadapi calon PKS, membuat mereka berkumpul melakukan pengeroyokan sehingga dapat mengalahkan AD, meski tidak dengan telak.

Fenomena sebaliknya justru terjadi pada partai pendukung AD. Sendirian ternyata tidak berarti terpencil jauh. Selisih yang tidak terlalu besar jika dilihat dari ‘kebesaran’ lawannya, telah mengatakan hal ini.
Jadi pelajaran dari Pilkada DKI adalah parpol harus berbenah diri menjalin hubungan yang mesra dengan massanya. Atau kalau mau menang Pilkada cukup berkoalisi dengan PKS saja. Ongkos politiknya sangat murah daripada harus menggandeng 20 parpol yang ternyata hanya menghasilkan 55%. Kata Fachry Ali, seorang pengamat politik, kalau 55% itu dibagi 20 parpol berapa rata-rata kontribusi parpol dalam perolehan suara itu. Jadi siapa yang menang?

Cikarang, 8 Agustus 2007

Tidak ada komentar: