Rabu, Januari 30, 2008

Dari Tukang Sapu Sampai Guru

Ini adalah mimpiku. Sudah lama ada di kepala, tapi baru kali ini berani menuliskannya. Gara-gara ada acara Milad ke-2 TDA. Untuk membuktika kerja LoA. Semoga dimudahkan Allah Ta'ala.

Dari Tukang Sapu Sampai Guru

“Jangan bermimpi!”
Itu kata orang di sekitar kita jika kita punya cita-cita yang menurut ukuran budaya dan kebiasaan lingkungan dianggap sebagai hal yang tak mungkin dicapai.

Ketika melihat seorang gila berdiri di tepi jalan raya berpidato bak seorang politikus, saya membayangkan mungkin dulu semasa waras dia punya cita-cita terlalu tinggi. Mungkin dia memang pernah bercita-cita jadi presiden, gubernur, walikota atau bupati atau bahkan sekedar ketua RT pun. Sementara dia hanya lulusan sekolah dasar. Sehingga cita-citanya tidak kesampean. Kata peribahasa “Bagai pungguk merindukan bulan”. ….. He… he… sebab persisnya, sih, saya tidak pernah tahu. Karena tidak bisa konfirmasi ke keluarganya. Apalagi pada orang gila itu sendiri.

”Bahasa adalah bangsa” ini adalah kata-kata mutiara yang artinya kurang lebih adalah cara kita berbicara, berbahasa menunjukkan siapakah kita sebenarnya. Lha, ternyata nenek-kakek moyang kita punya peribahasa tadi. ”Bagai pungguk merindukan bulan.” Maka kita diajarkan untuk tahu diri. Jangan berkeinginan muluk-muluk. ”Ngaca, atuh” bahasa gaulnya. Jadi dengan dua peribahasa tadi, kita sudah dipersepsi untuk melihat keadaan kita sekarang. Jangan melihat jauh ke depan. Apalagi yang terlalu jauh. Lihatlah yang di bawah. Jangan melihat yang di atas. Apalagi yang di langit. Nanti stress! Gila! Nah, apakah nation culture kita memang demikian? Kurang menyemangati. Kurang mendorong. Kurang visioner, kata para morivator. Cukup apa yang ada di tangan saja. Syukuri. Berarti memang segitu jatah rezki dari Allah untuk kamu. Lho, ikhtiar belum maksimal kok kita diminta menyimpulkan dengan kata ‘memang segitu rizkimu’.

Persepsi demikian memang sering melintas dalam kepala saya. Bahkan sampai sekarang juga sekali-sekali muncul. Jangan-jangan saya bakal gila, kalau gagal mewujudkan mimpiku untuk memiliki rumah toko sendiri. Apalagi mengikuti saran-saran teman-teman TDA. Tulis mimpimu. Gambar mimpimu. Tulis selembar cek berisi angka satu milyar. Fotokopi. Gede’in 200%. Laminating. Tempel di kamar tidur, kamar makan, kamar mandi. Wow, belum gila beneran pasti anak-istri, ayah-ibu, tetangga kiri-kanan sudah mencap saya sebagai orang gila. Boro-boro datang LoA, jangan-jangan datang jin! Hiii......... Jin yang berupa cemooh dari kiri-kanan. Cemooh yang menakutkan bagai jin hantu ifrit kuntilanak sundelbolong. Hiiii...........

Ya, saya bermimpi punya rumah toko yang berlantai dua. Mungil. Berdiri di tempat strategis. Dari situ saya bisa menjual apa saja. Yang jelas pelanggan bakal tahu di sanalah saya bisa dihubungi. Untuk keperluan apa saja. Jaraknya akan sangat mengenakkan jika tidak jauh dari rumah saya. Toko saya akan menjadi kantor saya. Tempat saya melayani pelanggan. Jika tidak ada pelanggan, saya bisa melanjutkan hobbi saya menulis. Post ke blog saya. Menerima tamu: teman-teman saya dari beberapa komunitas. Dan yang sangat menggembirakan pula, lewat kantor sekaligus outlet saya ini, siapa saja dapat memesan kebutuhannya. Dan saya akan menyanggupi memenuhinya karena saya punya komunitas yang kompak yang selalu besinergi, bekerja sama, membangun ekonomi umat, yang siap mensupport saya dengan berbagai barang dagangannya, yaitu komunitas TDA yang punya motto ”Bersama Menebar Rahmat”.

Sebenarnya dua tahun terakhir saya sudah punya kantor sendiri. Saya sudah memiliki lembaga kursus Bahasa Inggris. Di sana, karena masih bayi, saya merangkap beberapa pekerjaan. Pagi-pagi membuka pintu, menyapu dan mengepel lantai, membersihkan kaca. Memungut daun-daun yang berguguran di halaman depan. Menyiapkan alat-alat tulis untuk keperluan guru. Membersihkan karpet dengan penyedot debu. Memfotokopi soal-soal ulangan. Membukukan penerimaan dari pembayaran SPP. Membuat laporan bagi hasil dengan franchisor. Memesan buku-buka modul. Menyiapkan gaji guru setiap akhir bulan. Dan jika ada guru yang absen, saya masuk kelas menggantinya mengajar. Pendeknya saya ini office boy yang merangkap menjadi direktur. Dan sesekali jagi guru.

“Kerjaan banyak. Gajinya banyak dong?” Ya, itu pikiran teman-teman yang sudah bertahun-tahun keenakan jadi TDB. Kalau TDA, apalagi yang masih orok ini?…. Ya, gajian kalau kebagian aja…… yang penting guru-guru saya dan staf lainnya dapat gaji dulu.

Setahun pertama bisnis, saya membayar seorang pegawai administrasi dan seorang manager. Tapi karena usaha masih orok, maka setiap bulan saya tekor untuk menggaji mereka dan tiga orang guru. Meskipun demikian saya sangat senang bisa memberikan pendapatan bagi guru dan karyawan. Hanya karena manager dan staff admin saya mengundurkan diri, maka sekarang saya merangkap semuanya. Alhamdulillah, sekarang saya basah kuyup oleh pengalaman ngurusi semuanya sendirian. Jadi basah kuyup oleh ilmu dan pengalaman dan juga....... oleh keringat!

Banyak hikmah yang saya peroleh dengan mengerjakan semuanya seperti sekarang ini. Yang paling penting, bahwa pekerjaan yang dulu saya anggap sepele ternyata tidak demikian ketika saya harus melakukannya sendiri. Benar sepele kalau hanya sesekali saja. Tapi kalau setiap hari, tentu akan menimbulkan masalah kejenuhan. Misalnya menempatkan sesuatu pada tempatnya. Kalau di komputer: tempatkan file pada foldernya. Sementara jumlah foldernya ini cukup banyak. Sehingga harus pandai mengingat apa diletakkan di mana. Padahal kejenuhan sering membuat kita lalai. Menunda pekerjaan, sehingga akhirnya lupa.

Menjaga kebersihan kelas, misalnya. Dulu saya marah besar jika staf saya lalai terhadap hal ini. Sekarang saya harus marah pada diri sendiri, karena sesekali saya juga melakukan kesalahan yang sama. Tentu sulit marah pada diri sendiri. Sebagai gantinya akhirnya saya menjadikannya pelajaran bahwa staf saya dulu sudah berusaha, tapi khilaf sehingga saya marah. Dan dulu saya bisanya cuma marah-marah. Tapi ketika mengerjakan sendiri tidak semudah dan sesempurnya yang saya inginkan. Kalau karyawan lalai karena dia tidak ikut memiliki, maka saya sebagai pemiliknya harus menekan kelalaian-kelalaian itu.

Kemudian pemasukan dan pengeluaran uang, saya bisa tahu persis. Ternyata agar saya kebagian rizki setelah menggaji semua jasa guru, maka saya harus kerja lebih keras. Salah satunya adalah harus ngantor dari jam delapan pagi sampai delapan malam. Lho, kayak TDB dong? Siapa bilang? Bahkan lebih parah, tau! Dulu waktu TDB saya ngantor jam setengah delapan pagi sampai jam setengah lima sore. Senin sampai Jum’at. Maghrib sudah di rumah dan setelah maghrib bisa becanda sama anak-anak dan istri. Sabtu dan Ahad bisa jalan-jalan. Sekarang jam kerja 12 jam sehari. Hari kerja Senin sampai Sabtu. Lebih berat, to? Ternyata demikianlah adanya. Apalagi setelah gabung milis TDA. Ternyata semua pengusaha-pengusaha sukses selalu : Mulai dari bawah. Mulai dari susah. Mulai dari diri sendiri. Dan biar gak terlambat start: ikuti kata Aa Gym ”Mulai sekarang juga!”

Alhamdulillah, sekarang usaha saya berubah menjadi lebih baik. Karena kerja keras dan mulai dikenal lebih banyak orang. Jumlah murid setiap bulan selalu bertambah. Yang berarti bertambah pula penghasilan lembaga kursus saya ini. Jumlah pengeluaran juga semakin mudah ditekan. Karena saya tahu persis mana yang perlu dan mana yang hanya buang-buang biaya. Dan yang terpenting juga adalah saya bersyukur karena saya sudah dapat gaji meskipun belum besar.

Jadi orang gajian lagi dong? Ya…. Tapi yang menggaji adalah diri sendiri. Dan dapat bonus pula setiap bulan. Yaitu: bisa menggaji orang lain!

Lalu kenapa pengen punya ruko sendiri? Karena sekarang cuma ngontrak. Setiap tahun sewanya naik dan terancam diusir pula.

Punya ruko pasti biayanya mahal ya. Bisa-bisa saya gak gajian lagi karena uangnya habis untuk angsuran KPR. Maka saya bermimpi ruko ini jadi markas bisnis saya. Selain jadi tempat kursus, bisa jadi outlet saya jualan apa saja. Karena ruangnya gak cukup untuk simpan barang, maka saya buka toko online saja dulu. Masalah dagangan kayaknya banyak member TDA yang bisa support. Tapi DP untuk ruko besar banget ya. Mungkin harus jual rumah saya atau mobil carry saya. ...... Lalu kami sekeluarga tidur di mana?
....... Sudahlah, Rul, jangan mikirin tidur. Bukankah selama ini kamu sudah banyak tidur? Ayo bangun! Kerja! Wujudkan mimpimu! Jadi TDA beneran!

Cikarang Baru, 13 Desember 2007

Kaya Itu Hanya Akibat

"Mengalir saja!" Demikian kesimpulan rahasia sukses seorang Bob Sadino saat diwawancarai oleh majalah WK-nya Pak Isdiyanto. Majalah lama, karena terbit Mei 2007, tapi sangat baru bagi saya yang awam dengan pembelajaran bisnis. Karena isinya tidak kadaluarsa maka saya ucapkan terima kasih buaaanyak kepada Pak Is atas majalah gratisnya yang saya peroleh dalam Milad ke-2 TDA yang baru lalu.

Bagi yang sudah sering mendengar pernyataan-pernyataan beliau, mungkin hal ini bukan hal yang aneh. Aneh sih.... tapi biasa saja kalau yang ngomong Om Bob. Emang begitulah Om Bob. Ceplas-ceplos dan keluar dari pakem akademis teori kewirausahaan. Ini juga kebaruan yang saya temukan dari majalan lama ini. Ini bagi saya suatu pencerahan dari sisi lain yang indah untuk dicermati.

"Lakukan saja, ikuti perencanaan Tuhan!" Itu kesimpulan berikutnya. Allah yang Maha Merencanakan, kita tinggal bekerja saja. Tidak ada tujuan. Kesuksesan bukan tujuan, kekayaan bukan tujuan. Kesuksesan dan kekayaan hanya akibat dari bekerja.
Wow, indah sekali. Just do it. Setelah pasrah maka bekerjalah. Apapun hasilnya ikhlaskan. Saya berguman dalam hati mungkin ini salah satu makna dari firman Allah dalam Surat At Taubah : 105. ”Beramallah, nanti Allah, Rasulnya dan orang-orang yang beriman akan melihatnya.” Wallahu’alam.

Karena tidak ada tujuan maka otomatis tidak ada perencanaan untuk mencapai tujuan itu. "Saya senang aja melakukannya." Demikian kata Om Bob menirukan ucapan anaknya yang jauh-jauh sekolah di Swiss ternyata akhirnya hanya jual pecel lele di pinggir jalan.

Lalu apakah pake intuisi sehingga tanpa perencanaan dan tujuan bisa mencapai sukses demikian? Tanya wartawan. Maka sekali lagi Om Bob mengatakan bahwa wartawan otaknya telah diracuni teori kewirausahaan yang menurut beliau isinya hanya sampah saja. Om Bob menganggap pertanyaan itu tidak muncul dari diri wartawan murni tapi dari otak yang sudah menelan sampah berbagai informasi teori kewirausahaan.

Kalau Tuhan memberi intuisi yang hebat untuk seorang Bob Sadino, sementara tidak memberikan intuisi itu kepada yang lain, maka betapa tidak adilnya Tuhan. Demikian kata Om Bob. Bahwa apa yang dilakukannya dan mengakibatkan kesuksesan bisa jadi adalah langkah ke seribu dari 999 langkah gagal sebelumnya yang telah ditempuh oleh beliau. Jadi bukan intuisi yang tiba-tiba muncul. Thomas Alfa Edison juga demikian. Bola lampu bukan hasil kehebatan intuisinya tapi hasil percobaannya yang ke 1000 setelah 999 kali gagal. Kolonel Sanders membuka KFC bukan karena naluri bisnisnya yang hebat, tapi hasil perjalanan gagalnya menawarkan resepnya kemana-mana dan selalu ditolak. Maka dia membuka warung sendiri. Jadi bukan intuisi tapi hasil dari pantang menyerah dan tahan banting.

Jadi... untuk menjadi wirausahawan tidak ada pembelajarannya yang njelimet dan baku. Nanti bikin bingung dan kapan mau mulai. Lakukan saja. Bebas saja lakukan. Lalu evaluasi hasilnya. Hasil yang hebat hanya akibat dari keuletannya sendiri. Ketika menjual lima kilogram telor bersama istri, Bob Sadino tidak pernah bermimpi bakal bisa naik mobil jaguar atau punya rumah mewah dari hasil jualan telur yang marjinnya Cuma Rp 150,- per hari itu. Mengalir saja. Kalau ada kegagalan, kekecewaan dan sejenisnya rangkullah, belailah karena itu adalah bagian dari kesuksesan itu sendiri.

Tidak ada pembelajaran dalam kewirausahaan. Yang ada hanyalah melangkah, melangkah dan melangkah. Untuk bisa melangkah itu kita perlu membebaskan dari rasa takut, jangan punya keinginan macam-macam, dan bebaskan dari belenggu pikiran sendiri.

Bingung? Tidak perlu bingung, karena Om Bob tidak memaksakan kita untuk mengikuti jalan pikirannya yang sering dianggap gila oleh banyak orang. Ini hanya sharing beliau –karena ditanya oleh wartawan- bagaimana dia bisa menjadi Bob Sadino seperti sekarang ini. Kalau mau jadi duplikasi Bob Sadino silakan ditiru. Kalau mau jadi diri sendiri ya silakan pake cara lain.

Peace, …..

Cikarang Baru, 30 Januari 2008.

Senin, Januari 28, 2008

Mengapa Saya Ikut Lomba Menulis Mimpi?

Gara-gara Bu Aning Harmanto ngojok-ojoki (bahasa kerennya: mem-provokasi) member milis TDA, maka saya memberanikan diri ikut lomba menulis mimpi dalam rangka MILAD ke-2 TDA Community ini.

Motovasi saya ada tiga. Pertama: Kasihan sama Bu Ning... eh Bu Aning, karena sebagai penggagas sekaligus juri, ide lomba menulis mimpi ini tidak selaku jualan jamunya. Waktu saya terojok-ojoki (cocok nggak ya untuk terjemahan dari kata ”terprovokasi”?) jumlah pesertanya belum sampai 15 orang. Padahal member milis ini ada 1600 orang lebih. Kalau yang sepertiga (optimis!) sudah gak punya mimpi lagi (ada nggak ya?) jadi gak minat ikut lomba ini, berarti seharusnya ada 1000-an peserta. Karena menulis itu gak seperti makan kacang goreng, yang lancar sampai ludes dan terus renyah sampai masuk kerongkongan, maka jika hanya 20% saja dari 1000 yang ikut lomba menulis, maka seharusnya ada 200 peserta. Tapi memang meski mimpi itu gratis, banyak orang yang takut bermimpi, maka wal hasil pesertanya Cuma 25 orang (kalau nggak salah, karena saat diumumkan kemarin saya sedang asyik ngobrok dengan Pak ’Luar Biasa Prima’ Wuryanano pemenang TDA Blogger Award pada Milad ke-2 ini)

Motivasi yang kedua adalah saatnya saya menulis mimpi saya! Siapa tahu gatel-gatel yang sering muncul pada kulit kaki saya bisa sembuh. Lho? Ya, katanya ahlinya sih, selain alergi makanan, gatel-gatel juga bisa muncul jika kita stress. Dan yang penting lagi, jika sudah ditulis akan tertanam dalam otak bawah sadar saya lalu kekuatan otak ini akan menggerakkan berbagai aktivitas menuju cita-cita itu.

Ketiga adalah hadiahnya. Paket herbalnya bu Aning Harmanto. Karena dulu saya sebenarnya pernah kontak dengan salesnya untuk menjadi resellernya. Sekarang pengen nyicipin gratis dulu. Hadiah selanjutnya adalah tulisan akan dimuat dan dibukukan oleh Pak Isdiyanto big boss-nya majalah Wirausaha dan Keuangan. Siapa tahu kalau berhasil jadi pemenang dan dimuat dan dibukukan menjadi pintu gerbang pembukuan tulisan-tulisan saya yang lain. Amiin.....

Duar!...... ternyata nama saya dipanggil diurutan paling akhir pengumuman yang disampaikan oleh Bu Aning.

Alhamdulillah, ternyata mimpi di balik tulisan tentang mimpi ini terealisasi. Saya jadi pemenang. Pemenang hiburan! Ya.... ini benar-benar menghibur saya. Di sela-sela ngobrol dengan Pak Nano yang ternyata sangat hangat menerima salam kenal saya yang selama ini belum pernah ketemu muka, kecuali sekedar kirim-kiriman foto di blog, nama saya dipanggil sebagai salah satu pemenang hiburan.... Ha... ha... ha... benar-benar menghibur saya dan semoga juga bisa menghibur pembaca majalahnya Pak Isdiyanto nanti.

Dan sebentar lagi mimpi di balik mimpi yang lain bakal terwujud juga yaitu dibukukannya tulisan para pemimpi ini. Dan tulisan saya menjadi salah satu diantaranya. Lalu gatel-gatel saya bakal sembuh. Lalu .... rasanya indah sekali kalau saya punya ruko sendiri. Semua aktivitas bisnis dan sosial dapat saya ’nakhodai’ dari markas saya ini. Karena dalam simulasi yang dibimbing oleh Pak Yusef Hilmi di akhir acara Milad kemarin, mimpi ini jugalah yang saya telah tanam dalam otak bawah sadar saya.

Semoga Allah membimbing selalu dalam mewujudkannya. Amiin. Amiin. Amiin.

(Maaf, foto sebagai buktinya, saya gak punya. Tapi saya yakin Pak Nano punya karena Bu Nano saya lihat dari atas panggung mengabadikan lengkap kegiatan ini. Saya tunggu sharingnya ya Pak. Matur Nuwun).

Jumat, Januari 25, 2008

Ittiba' dan Ikhlas

Syarat diterimanya Ibadah

Sering kita mendengar orang mengatakan: “Ah, yang penting ikhlas…”. Biasanya kalimat ini dilontarkan untuk menjawab komentar orang terhadap nilai infaq yang sedikit. Banyak orang karena takut disebut tidak ikhlas, maka dia bahkan membatalkan sedekahnya. Maka “biar sedikit, asal ikhlash”.

Ada juga seseorang yang melakukan sesuatu pekerjaan yang tidak wajar menurut nilai-nilai moralitas mengatakan: “Ya... saya ikhlas menerima keadaan ini. Suami tak bertanggung jawab. Saya melakukan pekerjaan hina ini demi menafkahi anak-anak saya.”

Benarkah penempatan kata ikhlash pada kedua konteks di atas?

Salah satu syarat diterimanya amal dan ibadah kita oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah keikhlasan kita. Ikhlash artinya mengharapkan ridho Allah semata. Allah ridho jika amal kita dilaksanakan semata-mata karena Allah. Bukan karena mengharapkan pujian dari manusia (riya’) ataupun sum’ah (mengagumi diri sendiri).

Infaq

Dalam contoh orang yang berinfaq, godaannya adalah riya’ dan sum’ah itu. Karena itu sering ada yang berpendapat daripada infaqnya banyak tapi tertolak lebih baik sedikit tapi ikhlas. Ada juga yang berkata bahkan daripada sedikit tapi tertolak karena riya’ dan sum’ah lebih baik uangnya untuk beli bakso aja. Alias gak usah sedekah sekalian. Kan lumayan kenyang perut.

Padahal mestinya tidak demikian dalam menyikapi potensi riya’ dan sum’ah itu. Bukan justru meninggalkan amal atau menyedikitkan amal, karena gak mau rugi. Tapi seharusnya justru melatih jiwa ikhlas itu tumbuh dalam diri kita.

Sebelum berlatih kita perlu berdoa agar diberi keikhlasan oleh Allah SWT. Allahlah yang membolak-balik hati kita. Kita terus-menerus meminta agar diberi kepandaian dalam mengelola hati kita agar dapat bersedekah banyak dan tetap ikhlas.

Selain berdoa, kita juga harus banyak belajar. Dengan terus menerus menuntut ilmu agama terutama tentang bagaimana melatih diri agar selalu ikhlash. Belajar bisa dilakukan melalui membaca buku dan menghadiri majlis-majlis taklim. Membaca riwayat hidup para salafus sholih dan orang-orang sesudah mereka dari para salihin sangat memotivasi kita untuk bisa menjadi orang yang ikhlas. Kini juga ada buku kontemporer tentang ikhlas yang disajikan dan ternyata dapat dipahami secara ilmiah. Seperti buku-buku yang berisi ilmu pemrograman panjang gelombang otak kita. Yang menyatakan bahwa keikhlasan kita dapat dilakukan dengan teknologi otak, neuro linguistic programme, quantum ikhlas dan sebagainya. Semua itu harus dilakukan dengan sungguh-sungguh (mujahadah) sehingga Allah akan memudahkannya sebagai ganjaran dari kesungguhan kita.

والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وإن الله لمع المحسنين

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS Al-Ankabut: 69)
Selain itu bergabunglah dengan komunitas orang-orang yang ikhlas dalam aktivitasnya. Ini akan memudahkan kita tertular menjadi orang yang ikhlas pula. Bagaimana tidak, kita semua memiliki kecenderungan kepada kebaikan. Maka ketika melihat orang yang tentram hidupnya karena jiwa ikhlasnya, tidak mencari popularitas yang sering justru merepotkannya sendiri, maka pasti kita ingin menikmati hal yang sama.

Ketika lama bergaul dengan lingkungan orang-orang culas yang mementingkan diri sendiri, suatu saat kita akan tertular menjadi culas dan egois. Maka sebaliknya dalam lingkungan masyarakat yang baik kita juga akan terbawa menjadi orang baik.


Bekerja Menyimpang

Dalam contoh orang yang terpaksa masuk dalam dunia hitam, jelas terjadi kontradiksi. Bagaimana mungkin ikhlas dalam arti mengharapkan keridhoan Allah, sementara mereka melaksanakan pekerjaan yang justru diharamkan oleh Allah. Bagaimana mungkin Allah meridhoi hal yang demikian. Bagaimana mungkin Allah memberi pahala sedekah kepada keluarga, jika nafkahnya diperoleh melalui cara yang diharamkan oleh Allah. Bukankah disamping kita diperintahkan memberi nafkah kepada keluarga, kita juga diperintahkan untuk mencari nafkah yang halal.
Ya.... ternyata selain ikhlas juga ada syarat kedua yaitu ittiba' dimana amal dan ibadah yang kita lakukan harus sesuai dengan yang telah diajarkan oleh Rasulullah Shalallahhu 'alaihi wa salam dan para shahabatnya.
Allah mengajarkan dalam Al Quran bahwa sedekah itu boleh disampaikan secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi. Kalau sudah bisa ikhlas dengan sedekah secara terang-terangan, kerjakan! Kalau belum bisa, lakukan secara sembunyi-sembunyi. Bukan mengbatalkan sedekah. Terus lakukan sedekah dengan mengasah hati agar bisa ikhlas.

Beramallah, maka Allah, rasulnya dan orang-orang mukmin akan menilainya. Demikian firman Allah dalam Al Quran Surat At Taubah : 105.

Dalam bekerja mencari nafkah, sudah ada rambu-rambu. Mana halal mana haram. Mana pungli mana gaji. Mana hak hasil kerja mana suap. Mana laba mana riba. Demikian juga dalam ibadah ritual. Ada banyak hadis mana ibadah yang dicontohkan mana yang mengada-ada. Mana yang boleh mana yang tambahan-tambahan tak berdalil. Meskipun lafal dzikir itu termasuk kalimah tayyibah, tapi kalau harus diucapkan pada jumlah tertentu, masa tertentu, tempat tertentu yang tidak diajarkan Rasul dan dilakukan para sahabat, maka itu berarti tidak ittiba’.

Dengan mengikuti (ittiba’) sunnah Rasulullah dan para sahabat maka Agama Islam akan terjaga kemurniannya.

Bermunculannya aliran sesat adalah karena mereka tidak ittiba’. Mereka mulanya melakukan rekayasa-rekayasa cara peribadatan. Dan meninggalkan penafsiran-penafsiran al Quran dan Hadits yang telah banyak dilakukan oleh para sahabat, salafus sholeh, dan ulama-ulama yang datang kemudian yang dikenal lurus. Dengan dalih kebebasan berfikir, kebebasan berpendapat maka lama-kelamaan ternyadi penyimpangan dari rukun iman dan rukun Islam. Karena mereka cenderung mengagungkan prasangka dan akal pikirannya sendiri di atas Allah dan Rasulnya.

أرأيت من اتخذ إلهه هواه أفأنت تكون عليه وكيلا
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?(QS. Al Furqon: 43)

Kebenaran bukan mengikuti hawa nafsu kita, tapi mengikuti petunjuk Allah dan Rasulullah dan juga contoh-contoh praktek yang telah dilakukan oleh Rasul dan para sahabatnya.

Kalau mengikuti hawa nafsu maka yang terjadi adalah kekacauan dan kehancuran:

ولو اتبع الحق أهواءهم لفسدت السماوات والأرض ومن فيهن بل أتيناهم بذكرهم فهم عن ذكرهم معرضون

Andai kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (QS. Al Mu’minum : 71)
Jadi ibadah kita harus mengikuti ajaran dari Pemilik Agama ini yaitu Allah SWT melalui contoh-contoh yang diberikan oleh para Rasul dan para sahabatnya.

إن إبراهيم كان أمة قانتا لله حنيفا ولم يك من المشركين

Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan) (QS. An Nahl : 120)

لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله كثيرا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al Ahzab : 21)

Untuk itu marilah kita membulatkan niat beramal dan beribadah hanya untuk mengharap wajah Allah Ta'ala saja dan mencari keridhaan Rabb Yang Maha Tinggi, dan tidak bercampur baur dengan kesyirikan.

إنا أنزلنا إليك الكتاب بالحق فاعبد الله مخلصا له الدين

Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Qur'an) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. (QS. Az Zumar : 2)

وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة وذلك دين القيمة

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
(QS Al-Bayyinah: 5)

قل إنما أنا بشر مثلكم يوحى إلي أنما إلهكم إله واحد فمن كان يرجو لقاء ربه فليعمل عملا صالحا ولا يشرك بعبادة ربه أحدا

Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya". (QS Al-Kahfi:110)
Rasulullah Shalallahhu 'alaihi wa salam telah bersabda: "Barangsiapa berbuat suatu amal supaya amalnya didengar orang lain (sum'ah, mencari popularitas), maka Alloh mempopulerkan amalnya tersebut pada makhlik-Nya, kemudia Dia menghinakannya". (HR Ahmad dan at-Thabrani) Latihan Ikhlas

Ikhlas tidak mudah, karena itu perlu latihan. Beberapa sikap yang bisa dilatih untuk membentuk diri agar ikhlas dalam beramal dan beribadah, antara lain: 1. Takut mendapatkan popularitas 2. Introspeksi / Menuduh diri sendiri dengan serba kekurangan
3. Banyak berdiam, bicara seperlunya 4. Tidak mencari pujian atau gila dengan pujian
5. Tidak bakhil memuji orang yang berhak mendapatkan pujian dan sanjungan dengan berbagai kriterianya 6. Meluruskan niat dalam beramal karena Alloh ta'ala - baik sebagai pimpinan maupun sebagai yang dipimpin
7. Mengharapkan Ridho Alloh Ta'ala bukan Ridho manusia 8. Menjadikan ridho dan kemurkaannya karena Alloh bukan karena nafsunya 9. Bersabar menapaki jalan panjang yang sangat berat ketika pertolongan-Nya belum kunjung tiba 10. Bergembira dengan keberhasilan lawannya atau minimal tidak marah karena hal itu 11. Senantiasa berusaha membersihkan batinnya dari rasa 'ujub 12. Tidak menganggap suci dirinya
13. Merahasiakan ketaatannya kecuali untuk kemaslahatan yang sangat jelas 14. dan lain-lain. Demikian kiat-kiat perjuangan melatih diri untuk senatiasa hidup dan beribadah kepada Alloh ta'ala dengan IKHLAS, Semoga nikmat hidayah dan kebersihan niat kita dalam beribadah hanya untuk Alloh semata, selalu mendapat pertolongan dan bimbingan dari Alloh Rabbul 'alamin.

Rujukan:
Digital Al Quran Ver 3.2
Manajemen Hati, Dr. Muhammad bin Hasan asy-Syarif, Darul Haq, 1425 H

Minggu, Januari 20, 2008

Ada Makan Siang Gratis (?)

(Sebuah upaya memaknai Silaturahim)


Banyak ungkapan yang memaknai bahwa di permukaan bumi ini tidak ada orang yang melakukan suatu perbuatan tanpa mengharap imbalan dari orang lainnya. Tidak ada yang dilakukan tanpa pamrih. Sedemikian skeptis sehingga setiap tindakan dianggap secara gebyah uyah memiliki tendensi tertentu. Maka siapa diantara kita yang tidak kenal dengan ungkapan :

“Ada udang dibalik batu”
“Tidak ada makan siang gratis”
”There is no free lunch”

Wow, sedemikian sumpeknya kah hidup kita sekarang?
Tidak adakah lagi persahabatan sejati? Tidak ada lagikah silaturahim sejati?

Ya… bahkan silaturahim pun bisa menjadi ajang pertemuan yang ujung-ujungnya adalah bagi-bagi rejeki proyek! Jadi ada udang di balik silaturahim. Pakai dalil lagi. Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW, bahwa silaturahim akan memanjangkan umur dan membuka pintu rezeki.

Siapa yang nggak mau rezeki? Zaman krismon begini, Bung! Banyak karyawan di PHK. Lowongan kerja bagaikan lubang jarum bagi orang tua yang matanya sudah rabun. Memasukkan benang ke lubang jarum saja susah. Apalagi dengan mata yang rabun. Susah buanget, Rek! Ya… Susah mengisi lowongan kerja yang sempit bagi korban PHK yang tentu sudah berumur dibandingkan yang fresh graduate atau lulusan SMA yang masih terang benderang matanya. Lalu kalau ada yang menawarkan rezeki, maka sekali lagi, siapa yang nolak?

Lalu yang kedua: Siapa yang nggak mau umurnya panjang? Mati?… Hiii begitu menakutkan. Bekal dunia aja cupet, apatah lagi bekal akhirat. Mungkin telah terhapus oleh keluh kesah sumpeknya hidup. Mana sempat mencari bekal akhirat, kalau waktu kita habis untuk mengais-ngais rezeki 12 jam sehari, 7 hari seminggu, 30 hari sebulan, 12 bulan setahun. Kalau ada istirahat, itu karena badan sakit meriang radang tenggorokan masuk angin puting beliung. Kalau orang berduit istirahatnya menghambur-hamburkan uang untuk wisata baik jasmani maupun rohani sampai ke Tanah Suci. Orang miskin istirahatnya adalah menyetorkan uangnya ke rumah sakit, apotik dan warung obat.

Maka wajar kalau orang berbondong-bondong ‘melaksakan’ sunnah Rasul ini. Orang berbondong-bondong silaturahim demi mendapatkan rezeki. Kalau pepatah mengatakan ada udang di balik batu. Maka kini ada rizki dan umur panjang di balik silaturahim. Jadi, kalau udangnya adalah rizki dan umur panjang. Silaturahim lalu sama dengan batu. Keras, kaku, mati, bisu, dingin kalau saja tidak ada pembicaraan proyek dan bagi-bagi rizki di dalamnya. Licin, gampang pecah berkeping-keping, mudah menggelincirkan kalau tidak arif dan adil dalam membagi rizki dan proyek.

Maka bahasa keren dari silaturahim bergeser menjadi networking. Membuka jaringan. Jaringan usaha. Jaringan bisnis. Apa saja jaringan yang penting tujuannya adalah rizki. Kalau rizki maknanya dipersempit menjadi ’uang’ saja, maka jaringan justru diperluas maknanya bahkan sampai menjadi jaringan kolusi, korupsi dan nepotisme. Ya... bahkan silaturahim menjadi ajang membuka jaringan KKN!

Pasti kita tidak jarang mendengar seorang bertamu ke rumah atau kantor pejabat. Layaknya tamu yang datang pembicaraannya bisa dibagi menjadi tiga bagian. Pembukaan, isi dan penutup. Ketika dipersilakan duduk, sang tamu membuka pembicaraan bahwa “pertama-tama tujuan kedatangan kami adalah untuk silaturahim”. Selanjutnya…. Sang tamu akan menyampaikan apa ’udang’nya. Bisa menawarkan barang atau jasa. Bisa minta proyek, minta restu ini itu. Lalu penutupnya adalah janji cipratan rizki sana-sini yang akan mengalir ke pundi-pundi sang pejabat. Maka silaturahim yang kaku seperti batu kalau tanpa udang, berubah menjadi lentur, hangat, hidup, cair dengan adanya udang yang berupa proyek bagi-bagi rizki itu.

Ini bikin hidup lebih hidup. Bikin umur makin panjang dan lama. Lalu serasa nikmat banget hidup di dunia. Gimana gak uenak.... Umur panjang, rezeki banyak. Lalu silaturahim yang demikian membuat kita malah lupa, ... atau tepatnya : nggak mau mengingat mati.

Maka pada gilirannya hadis Rasul yang menyatakan bahwa orang yang cerdas adalah orang yang sering ingat akan kematian, menjadi hadis yang tidak populer. Jauh kalah populer dengan hadis silaturahmi membawa rizki dan umur panjang itu. Yang pertama mengingatkan kematian, yang kedua menjanjikan kamakmuran hidu. Bisa dipastikan kita lebih mencintai hidup daripada kematian. Kita lebih banyak merencanakan kehidupan yang layak daripada kematian yang penuh ampunan. Meskipun kita hafal peringatan Allah :

(17) والآخرة خير وأبقى (16) بل تؤثرون الحياة الدنيا

Tetapi kamu memilih kehidupan dunia. Padahal kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal. (QS. Al A’laa : 16-17)

Benarkah istilah silaturahmi telah mengalami degradasi makna sedemikian rendahnya? Karena dia telah menjadi bahasa akademis dalam dunia marketing? Menjadi salah satu kiat dalam membesarkan bisnis?Do silaturahim! Do networking!

Lalu bagaimana kalau silaturahim itu ternyata tidak menawarkan proyek dan duit?
Silaturahim hanya untuk menjaga nasab agar kita dan sanak saudara kita tidak ’kepaten obor’? Kepaten obor adalah bahasa jawa yang dipakai untuk mengungkapkan kondisi dimana kita tidak tahu lagi silsilah keluarga dan kerabat. Ketika bertemu di jalan, kita panggil saja mereka dengan Pak, Om, Mas atau Dik. Karena kita tidak tahu detail siapa mereka sebenarnya dan di mana posisinya dalam hubungan kekerabatan keluarga besar kita.

Ya... ternyata silaturahim demikian ternyata tidak menarik. Kaku, bisu, dingin dan .... lucu! Lucu karena meskipun judulnya silaturahim ternyata malah diam-diaman saja dengan teman duduk yang ada di sebelahnya.

Ada lagi yang lebih lucu. Judulnya silaturahim ditambah dengan embel-embel silaturahim nasional atau silaturahim akbar nasional. Acaranya pun diumumkan di mana-mana. Sepanjang jalan sekian kilometer menuju gedung silaturahim terpasang puluhan umbul-umbul dan spanduk. Dihadiri oleh peserta seluruh negeri, terhormat dan berkedudukan. Tapi hasilnya adalah lempar-lemparan kursi dan caci maki. Kemudian esoknya muncul di surat kabar nasional adanya kepengurusan tandingan! Lalu berebut kantor pimpinan. Lalu berperkara di pengadilan. Sekali lagi, karena tidak ada ‘udang’-nya maka silaturahim menjadi seperti batu yang keras, licin, gampang pecah dan menggelincirkan kita terpeleset jatuh dalam perpecahan.
Lho, bagaimana dong! Silaturahim harus disyaratmutlaki adanya bagi-bagi proyek?

Ternyata tidak!

Rasulullah benar-benar menjalin silaturahim dengan para sahabat tanpa proyek bagi-bagi duit. Tanpa prospek bisnis yang segera harus ditindaklanjuti. Silaturahim benar-benar menyambung kasih sayang seperti halnya makna dari silaturahim itu sendiri. Silaturahim adalah mengucapkan salam sesama muslim. Silaturahim adalah saling bertegur sapa di masjid selepas shalat berjama’ah. Silaturahmi adalah bertegur sapa dengan tetangga. Silaturahim adalah menengok, mendoakan dan menghibur orang sakit. Silaturahmi adalah bahkan memandikan, menyolatkan jenazah dan mengantarkannya ke kuburnya.

Silaturahim adalah ketika Rasulullah setiap hari mendatangi dan memberikan roti kepada pengemis Yahudi buta yang justru setiap hari mulutnya mencaci maki kegiatan da’wah Rasulullah. Maka hasil silaturahim adalah masuk Islamnya si pengemis buta itu. Karena sepeninggal Rasulullah, sahabat Abu Bakar melanjutkan kebiasaan silaturahim itu. Tapi sang pengemis Yahudi ini mencaci rasa roti buatan Abu Bakar. Kenapa rasanya tidak selezat roti yang selama ini diterimanya. Abu Bakarpun menjelaskan bahwa pembuat roti lezat yang selama ini mengantarkannya sendiri kepadanya telah meninggal dunia. Karena itu Abu Bakar menggantikannya. Dan pembuat roti lezat yang rajin mengunjunginya itu adalah Rasulullah yang selama ini dicaci maki kegiatan da’wahnya oleh si pengemis buta itu. Maka hasil silaturahim adalah datangnya pengemis Yahudi itu ke pangkuan Islam.

Silaturahim adalah ketika Fatimah menyedekahkan gaun pengantin buatan ayahanda Rasulullah yang akan dikenakannya esok pagi kepada seorang pengemis yang mengetuk pintunya minta sekeping dua keping sedekah untuk mengganjal perutnya. Maka hasilnya adalah kedatangan seseorang yang mengantarkan gaun pengantin mewah, yang tidak lain adalah Jibril alaihis salam.

Silaturahim adalah ketika Ali Bin Abi Thalib mendapatkan beberapa dirham uang yang diperolehnya dari berhutang di pasar demi mengepulkan asap dapurnya, tapi lalu disedekahkan kepada sabahatnya yang ternyata dianggapnya ‘lebih’ membutuhkannya. Maka hasil silaturahim adalah Ali Bin Abi Thalib pulang tanpa membawa sepeser uangpun untuk Fatimah di rumah. Tapi dengan penuh keterperangahan Ali melihat bahwa telah tersedia hidangan masakan istimewa dari Surga sebagai ganti sedekahnya di pasar tadi.

Silaturahim adalah ketika Umar Bin Khattab sang pemimpin negara memanggul sendiri dengan punggungnya sekarung gandum demi meredakan tangis anak-anak warga negaranya yang capek menunggu matangnya beberapa burtir batu yang direbus oleh ibunya. Maka hasil silaturahim adalah kesejahteraan rakyatnya dan lecutan bagi Umar agar menjadi pemimpin yang lebih peduli lagi dan melayani rakyatnya.

Agaknya silaturahim demikian terjadi karena didasari oleh minimal kedua hadis Nabi di atas. Menjaga kehidupan tapi terus menginvestasikannya bagi kematian yang menjadi pintu gerbang menuju akhirat. Karena faham benar bahwa kehidupan akhirat adalah kehidupan sejati.

Adakah silaturahim demikian? Sekarang?

Tidak sama persis memang. Tapi saya mendapatkan nuansanya. Ada makan siang gratis. Tak ada pamrih proyek atau prospek.

Tanggal 11 Januari 2008, dalam kunjungan saya menengok anak saya di pesantren Assalam di Solo, saya meluncur ke kantor seorang aktivis TDA Joglo. Tak ada komunikasi dan tatap muka sebelumnya kecuali melalui email. Sampai di kantornya, teman tadi tidak ada di tempat. Kabarnya baru tadi pagi subuh pulang ke rumah. Berarti jam sebelas siang ini pasti beliau masih istirahat di rumahnya. SMS dan telpon saya ke HP-nya pun tak berbalas. Sampai akhirnya saya harus pamit karena sebentar lagi masuk waktu sholat jum’at.

Ba’da shalat Jum’at, Hp saya berdering tanda ada SMS masuk. Sang teman menanyakan saya ada di mana dan dia mau menjemput saya. Tak lama kemudian dengan mengendarai motor dia memasuki halaman masjid. Meski belum pernah ketemu, saya hafal wajahnya setelah dia membuka helmnya. Karena saya beberapa kali menyaksikan wajahnya di weblognya. Blog yang berisi aktivitsnya membina dan bersama beberapa kelompok tani. Pemberdayaan dan advokasi petani. Siapa yang tak kenal dengan Pak Riza ini.

Setelah bertegur sapa, saya pun nyengklak ke jok belakang motornya menuju sebuah rumah makan. Kita makan siang dulu, katanya. Yang diiyakan oleh perut saya yang memang sudah mulai berasa lapar.

Makan siang nasi dan sayur asem serta ikan lele goreng plus sambel demikian nikmatnya. Obrolan pun berlangsung gayeng, sampai kemudian bergabung seorang bujangan yang energik dan aktif. Seorang koordinator TDA Solo, Mas Sangaji, yang katanya pengen menikah tahun ini.

Tak terasa obrolan silaturahim ini berlangsung satu setengah jam. Dan saya sudah harus pulang karena tiket bus sudah di tangan. Mas Sangaji pun dengan bermotor ria mengantar saya ke pool bis yang akan mengantar saya menuju Cikarang.

Ini pertemuan silaturahim murni. Tidak ada pembicaraan proyek, karena saya belum jadi pebisnis seperti Pak Riza dan Mas Sangaji. Tak ada bagi-bagi rizki apalagi komisi. Yang ada hanyalah menambah persaudaraan sehingga nanti saya akan mampir ke sini lagi saat menengok anak saya sebulan lagi. Syukur bisa menumpang tidur, sehingga uang penginapan saya bisa jadi uang saku anak saya di pesantren selama sebulan.

Lumayan, di sini ada makan siang gratis. Tumpangan gratis ke pool bis. Belajar ilmu sosiologi pertanian gratis. Belajar ilmu agribisnis gratis. Dan pertemanan yang sudah pasti gratis. Mudah-mudahan bulan depan ditambah numpang tidur gratis. Khas TDA. Hasil silaturahim ini telah saya rasakan saat itu juga berupa rasa syukur kepada Allah karena ada kesempatan yang diisi pertemanan yang tulus. Dan hasil silaturahim ini saya yakin nantinya juga akan saya rasakan lagi. Tidak harus berupa bisnis. Tapi juga tidak harus tidak berupa bisnis. Karena: Ini TDA, Bung!

Cikarang Baru, 19 Januari 2008
Atau 10 Muharram 1429H, saatnya mulai menjalin juga silaturahim dengan anak yatim dan dhuafa.

Rabu, Januari 09, 2008

Tahun Baru, Hati Baru

Nanti malam ba’da maghrib tanggal 9 Januari 2008, kita memasuki tahun baru 1 Muharram 1429 H. Alhamdulillah, Allah telah memberi kita umur panjang, rezki halal dan luas, dan jauh dari yang haram.

Setiap masuk tahun baru Islam selalu diperingati dengan tausiyah agar kita berhijrah dari kondisi sekarang menjadi kondisi lebih baik. Dari malas sholat menjadi rajin sholat. Dari sholat di rumah menjadi sholat berjamaah di masjid, baik di masjid kantor maupun masjid di lingkungan kita.

Dari sedekah tanpa ikatan, menjadi kewajiban berzakat dari penghasilan kita yang telah mencapai nishob. Dari sibuk bisnis yang lupa berderma, menjadi pebisnis yang gemar sedekah dan selalu menjadi tangan di atas. Dari aparat negara yang suka minta pungli, menjadi pejabat yang bersih dan peduli. Dari pegawai yang cinta komisi, menjadi pegawai yang amanah melaksanakan tugas. Dari pemimpin yang cuek terhadap kesejahteraan rakyat menjadi pemimpin yang mengayomi dan melayani. Dari politikus yang mengejar kekuasaan demi kepentingan pribadi, menjadi politikus yang mengejar kekuasaan untuk kemashlahatan umat.

Saya sendiri juga akan berhijrah. Setelah sekian tahun selalu berhijrah dengan berbagai konteks. Kini saya akan menghijrahkan diri saya dari diri yang didominasi oleh pikiran menjadi diri yang selalu mendengar katahati dan perasaan. Dari hati yang kurang ikhlas menjadi pribadi yang ikhlas. Karena beberapa hari ini saya mendapatkan pencerahan dari membaca Quantum Ikhas (http://www.quantumikhlas.com/) karya Erbe Sentanu –semoga Allah memberikan pahala berlipat ganda atas ijtihadnya. Ikhlas yang ternyata bisa kita rasakan jika kita tidak lagi menuhankan pikiran. Tapi lebih banyak memberi porsi pada perasaan yang dikendalikan oleh hati (baca: jantung). Yang kekuatannya 7 kali lebih dahsyat dari pada pikiran.

Ikhlas yang membuat kita selalu bahagia karena selalu bersyukur atas nikmat yang kita rasakan saat ini. Apapun kondisi kita, nikmat Allah pasti lebih banyak daripada ’kekurangan’ yang sering kita tonjolkan sebagai nasib buruk yang lalu membuat kita sering berkeluh kesah. Sehingga lupa dengan berbagai nikmat yang kita tak bakal mampu menghitung-hitungnya karena sangat sangat dan sangat banyak.

وآتاكم من كل ما سألتموه وإن تعدوا نعمت الله لا تحصوها إن الإنسان لظلوم كفار

Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (QS. Ibrahim : 34)

Nabi Ayyub a.s. memberi teladan kepada kita bagaimana beliau ikhlash menerima kondisi terburuk sekalipun. Dari seorang kaya raya yang tinggal di rumah bak istana bersama anak dan istrinya menjadi seorang miskin berpenyakit menjijikkan yang ditinggalkan oleh anak dan istrinya. Semua kondisi itu dilewati dengan tetap bersyukur, menyembah Allah tanpa mensekutukannya. Saat kaya, beliau taat kepada Allah. Lalu jatuh miskin tidak protes, karena sadar ini ujian yang akan meningkatkan kelasnya. Penyakit yang menyedihkan tak membuatnya putus asa. Karena Ayyub a.s. merasa sakitnya yang hanya dua tahun itu sepele dibandingkan dengan nikmat sehatnya yang bertahun-tahun sebelumnya diterima dari Allah. Keikhlasan dan rasa syukurnya benar saja, ternyata mendatangkan nikmat Allah. Sakitnya disembuhkan, keluarganyapun kembali. Dan syaitanlah yang akhirnya bersedih karena gagal menggoda Ayyub a.s. untuk meninggalkan Allah ketika mendapatkan ujian yang sangat berat itu.

وإذ تأذن ربكم لئن شكرتم لأزيدنكم ولئن كفرتم إن عذابي لشديد

Wa idz ta-adzdzana rabbukum La in syakartum la aziidannakum, wa la in kafartum inna adzaabi lasyadiid

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih" (QS. Ibrahim : 7)

Syukur terhadap apapun nikmat Allah yang kita terima akan mengantarkan kita pada kebahagiaan. Kebahagian dalam berkarya akan memudahkan kita mencapai kesuksesan.
Yang berarti tambahan nikmat dari Allah. Lalu kita syukuri lagi, enjoy lagi dalam berkiprah. Sukses lagi dan seterusnya. Syukur – bahagia – sukses - syukur – bahagia – sukses! Sebuah lingkaran takwa yang indah.

Semoga kita semua dapat masuk ke dalam lingkaran indah ini.

SELAMAT TAHUN BARU!

Sabtu, Januari 05, 2008

Syukur ku Pagi Ini.......




Alhamdulillah, pagi ini aku dihidupkan kembali oleh Allah setelah semalam dimatikan.

Alhamdulillah, pagi ini anak terkecilku berbaring pulas disampingku, setelah semalam tidur di kamar lain karena rewel sejak sorenya jatuh terjerembab ketika berlari-larian dengan teman-temannya.

Alhamdulillah, meskipun bangun agak kesiangan anak-anak melaksanakan sholat shubuh sebagai aktifitas pertamanya.

Alhamdulillah, istriku mengingatkanku untuk tilawah al quran ketika aku mau tidur lagi di sebelahnya selepas subuh. Sehingga aku bisa membaca surat Toha sampai selesai.

Alhamdulillah, Allah memberi kesabaran kepada istriku yang menasihati adiknya dengan terkendali. Adik yang cukup sering datang ke rumah tiba-tiba dengan menggunakan moda transportasi yang mahal dari tempat yang jauh. Lalu kami harus membayarnya di tempat dengan uang yang sebenarnya cukup untuk belanja sehari.

Alhamdulillah, pagi ini saya bisa memberikan ongkos kepada adik kami agar bisa kembali ke rumahnya di Tangerang sana.

Alhamdulillah, pagi ini saya bisa memenuhi undangan walimatul urusy di masjid tercinta kami. Salah satu jamaah masjid kami ngunduh mantu. Syukur, Allah telah memberi umur panjang. Sebentar lagi semoga segera menimang cucu ya, Pak.

Alhamdulillah, kembali saya menyaksikan ritual syariah Islam yang agung. Ritual suci pernikahan yang mengikat dua insan lain jenis yang sudah akil baligh dalam ikatan yang halal, disaksikan oleh sekian banyak jamaah yang teguh dalam agamanya. Di tengah hiruk pikuk glamoritas gaya hidup hedonisme Barat yang mengecilkan makna lembaga pernikahan, syariah Islam masih tegak demi menyelamatkan manusia agar menghasilkan anak keturunan secara bertanggung jawab dalam nilai kebenaran dan traceable.

Alhamdulillah, saya mendapat tausiyah dari ustadz di acara ini. Tausiyah yang sangat mengharukan dan memecut kesadaran untuk meluruskan niat menjadi keluarga sakinah. Berbakti kepada ayah-ibu, cinta kasih dengan pasangan, sayang dan selalu mendidik anak-anak buah cinta agar menjadi anak sholeh sholihah yang nantinya menjadi investasi support saat saya dan istri sebagai ayah ibunya meninggal dan dan menunggu di alam kubur.

Alhamdulillah, kami sedang melangkah di jalan itu. Mendidik anak-anak di sekolah dan pesantren yang bagus. Mempersiapkan mereka menjadi anak sholeh. Bermanfaat mandiri bagi diri sendiri dan lingkungannya. Terutama juga anak yang mendukung ayah ibunya. Rajin mendoakan saya dan istri nanti ketika kami menemui kesulitan di alam kubur. Anak-anak yang rajin menbaca Al Quran yang di akhirat nanti menghadap Allah dengan mengenakan mahkota di kepalanya. Mahkota cahaya benderang yang menembus timur dan barat. Yang lantaran itu kami dipanggil Allah dan dianugerahi mahkota bertahtakan permata. Hadiah bagi jerih payah kami mengenalkan mereka dengan Al Quran.

Alhamdulillah,…. Alhamdulillah….. Alhamdulillah……..

وآتاكم من كل ما سألتموه وإن تعدوا نعمت الله لا تحصوها إن الإنسان لظلوم كفار

Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah). (QS. Ibrahim : 34)

Alhamdulillah, indah sekali hidupku hari ini dari subuh sampai dzuhur. Setelah ini saya pasti mendapatkan keindahan-indahan lainnya yang patut disyukuri dan dinikmati.

Cikarang Baru, 5 Januari 2008

Rabu, Januari 02, 2008

Kurban Kami Tahun Ini

Catatan Idul Qurban yang terserak

Alhamdulillah, ada suasana baru pada kurban ku dan keluargaku tahun ini. Bersama kurban dua rekan lainnya, kami keluarga guru sebuah SMP swasta Islam di Cikarang melaksanakan kurban di sebuah kampung di desa terpencil di Kecamatan Rongga di Kabupaten Bandung Barat.

Selama ini saya berkurban di lingkungan perumahan yang hewan kurbannya terkumpul berlimpah. Seperti tahun ini ada 5 ekor sapi dan 41 ekor kambing. Sementara di kampung ini pada Idul Adha dua hari yang lalu hanya memotong seekor kambing untuk sekitar 300 kepala keluarga. Maka kedatangan kami berkurban pada hari tasyrik 13 Dzulhijjah dengan 3 ekor kambing yang kami beli di desa ini pula, terasa sebagai air sejuk di tengah kehausan warga di daerah dingin ini.

Tidak mudah mencapai daerah ini bagi yang belum pernah melakukannya. Perjalanan bermobil dari Cikarang ditempuh melalui tol Cipularang keluar di Padalarang dalam waktu 1.5 jam, lalu diteruskan ke arah Cimareme menuju lokasi yang ditempuh sekitar 4 jam lagi. Dengan jalan naik turun dan berkelok-kelok membuat beberapa guru dan anak-anak mabuk dan muntah-muntah. Berangkat dari Cikarang jam setengah sembilan pagi, kami tiba di lokasi jam setengah tiga sore. Di selingi istirahat sholat Jum’at di Cililin.

Ketika memasuki lokasi. Oleh salah satu guru yang bernama Pak Yusuf, kami diminta berhenti dan parkir di pinggir jalan yang lebarnya hanya cukup dilalui dua mobil berjejer.

”Di mana parkirnya?” tanya saya.
”Ya, di sini, Pak. Insya Allah di sini aman” jawabnya, sambil menjelaskan bahwa rumahnya berada di bawah sana. Sebuah tempat yang harus dilalui dengan berjalan kaki melalui jalan tanah. Jalan yang menurun dan pasti becek jika hujan turun. Barang-barang bawaan diturunkan. Lalu di sambut oleh para tetangga Pak Yusuf yang sudah siap menunggu kedatangan kami. Dengan cekatan mereka memanggul barang bawaan kami menuju rumah Pak Yusuf. Ya, kami memang hendak menuju ke rumah Pak Yusuf dan akan tinggal di sini tiga hari dua malam.

Adzan Ashar dikumandangkan dari tajuk, surau kecil sederhana berukuran 4 x 4 meter yang dibangun dari kayu di pekarangan rumah Pak Yusuf. Ba’da shalat ashar, beberapa diantara kami bersama anak-anak kami berjalan di atas pematang sawah mengenal medan alam pedesaan yang sangat asli ini. Di pandu oleh adik-adik Pak Yusuf, kami menyaksikan sawah yang membentang sambil tetap awas meniti pematang sawah, kalau tidak kita akan jatuh tergelincir ke sawah. Dalam perjalanan singkat kami menemui jamban di atas kolam ikan. Yang hanya dibatasi oleh bekas karung plastik setinggi dada orang dewasa. Di dalamnya ada dua batang kayu melintang tempat kita jongkok ketika buang air besar. Lalu ada pancuran air yang tak pernah berhenti mengalir, sehingga siap dipakai ketika kita selesai buang air besar. Dan beberapa meter di sebelahnya ada orang-orangan sawah seakan menjaga WC umum itu. Selanjutnya kami mengetahui bahwa di rumah tidak ada WC, dan disinilah kami nanti harus rela buang air besar, jika diperlukan.
Tidak ada pilihan lain!

Bayangkan Anda yang terbiasa buang air besar di ruang tertutup dengan air yang bersih lengkap dengan sabun, kini harus melakukannya di ruang terbuka dengan air kali untuk istinja’. Bayangkan apa yang Anda lakukan jika ketika sedang asik buang hajat tiba-tiba ada orang lewat. Anda pasti membayangkan orang tersebut akan usil melayangkan pandangannya melihat aurat kita. Tapi ternyata tidak, mereka menahan pandangannya, dan lewat begitu saja, seakan tak tahu kita ada di situ.

Malampun datang, ba’da Isya’ tak ada lagi kegiatan. Penerangan yang seadanya membuat kami orang kota tidak bisa melaksanakan aktifitas baca Quran misalnya dengan enak. Maka kami memilih tidur dalam dingin malam yang makin mencekam. Ibu-ibu tidur di dalam rumah, Bapak-bapak di tajuk. Jaket tebal, kaos kaki, selimut tebal menjadi teman paling dekat dan hangat.

Esoknya kami terbangun ketika adzan subuh dikumandangkan oleh Ayahnya Pak Yusuf. Segera kami berwudhu dengan air yang dingin menusuk tulang. Setelah berjamaah subuh, saya membaca Quran sampai waktu syuruq tiba. Lalu diteruskan dengan shalat Israq dua rakaat. Lalu kamipun siap-siap melaksanakan pemotongan 3 ekor kambing yang telah disiapkan. Pak Sayidin, telah menyiapkan pisau tajam. Lalu sekitar jam tujuh pagi saya memotong tiga kambing yang sudah disiapkan.

Ya Allah, ini dari ku dan keluargaku, terimalah kurban kami ya Allah.
Ya Allah, ini dari fulan dan keluarganya, terimalah kurban mereka ya Allah.
Ya Allah, ini dari fulanah dan keluarganya, terimalah kurban mereaka ini ya Allah.

Lalu oleh penduduk kambing tersebut digantung secara tebalik untuk dikuliti. Saya membayangkan beberapa hari yang lalu. Tanggal 10 Dzulhijjah kami warga perumahan kami memotong 5 ekor sapi dan 41 ekor kambing, lalu dibagi-bagi menjadi 1,200 kantong daging. Maka kini dengan tiga ekor kambing, paling-paling akan dapat dibungkus menjadi 50-60 kantong plastik. Sementara menurut informasi ada sekitar 300 keluarga yang layak mendapatkannya. Jika demikian maka setiap kantong harus dibagi lagi menjadi 6 bagian agar semua keluarga mendapatkannya meskipun sedikit.

Terbayang, betapa 3 hari yang lalu kami di perumahan Kota Jababeka di Cikarang berkelebihan daging, sedangkan penduduk di dusun ini harus berbagi sejumput sejumput daging agar semua dapat merasakannya.

Negeri ini ternyata sangat luas. Sehingga banyak wilayah yang kurang terjangkau oleh udara kesejahteraan. Kemauan kerja gampang, membuat banyak panitia zakat atau kurban mendistribusikannya sebatas yang dia mampu. Yaitu hanya radius beberapa kilometer saja dari masjid. Sementara nun jauh di sana banyak wilayah yang belum pernah merasakan suasana Idul Qurban. Karena ritual yang dilakukan penduduknya selesai begitu Shalat Iedul Adha selesai ditunaikan.

Cikarang, 13 Dzulhijjah 1428/ 22 Desember 2007