Selasa, Juli 31, 2007

Serial Peluang Korupsi - 2:

Di Pabrik (1)

Pada serial pertama, saya menulis peluang korupsi menurut Datuk, seorang kakek yang hanya membuka toko kelontong di rumah bersama Emak –panggilan saya untuk Nenek- dan dibantu oleh Ibu saya. Itu puluhan tahun yang lalu.

Ketika lulus universitas saya memasuki dunia kerja. Sesuai dengan bidang pendidikan saya, saya bekerja di sebuah pabrik makanan akhir tahun 80-an. Saya bekerja sebagai staff produksi di sebuah pabrik. Setahun kemudian, setelah mengikuti training di luar negeri, saya dipindah ke bagian Quality Assurance sebagai asisten menejer.

Bekerja di Quality Assurance, membuka mata saya bahwa ternyata bukan ketiga profesi di atas saja yang seharusnya dilarang oleh Datuk. Tapi bertambah satu yaitu bekerja di bagian pembelian. Karena kedekatan pekerjaan dengan pengecekan incoming material, saya jadi tahu bagaimana pekerjaan di bagian pembelian juga tidak jauh dari urusan uang komisi yang sebenarnya bisa masuk katagori suap menyuap.

Ketika material tertentu saya nyatakan rejected maka kawan saya dari bagian pembelian mencak-mencak, berusaha agar barang yang dibelinya bisa diloloskan. Pasalnya dia sudah terlanjur membelinya sangat banyak. Mungkin bisa untuk stok kebutuhan sebulan produksi. Padahal menurut teori pergudangan, sangat merugikan jika harus menumpuk stok, sementara barang bisa diorder setiap saat denga leadtime yang pendek. Bahkan manajemen Jepang menerapka Just In Time, sehingga harus menetapkan zero stock di gudangnya. Prinsipnya untuk apa membayar biaya gudang, jika supplier bisa memenuhi kebutuhan pabrik setiap saat dibutuhkan.

Tapi manajemen pergudangan berbeda dengan menejemen komisi, semakin banyak membeli semakin besar komisi yang dikumpulkan. Maka ketika saya menolak barang yang dibeli sang kawan, beliau berusaha agar saya dapat merubah keputusan. Bisa jadi bukan karena sayang kalau barangnya terbuang, tapi karena komisi sudah ada di tangan. Wallahu ’alam.

Sebagai seorang muda yang idealis, saya menolak permintaannya, karena jelas-jelas barang tersebut tak bisa dipakai. Kalau dipaksakan pasti akan mempengaruhi kualitas produk secara keseluruhan. Sang kawan akhirnya membujuk saya untuk menjumpai supplier. Saya menolak karena khawatir terjadi sesuatu. Bagi saya laporan tertulis dengan bukti-bukti yang dikeluarkan oleh departemen saya sudah cukup.

Kalau saya memenuhi undangannya saya khawatir akan terjadi tawar-menawar. Kalau saya mau pasang tarip untuk menyelesaikan masalah ini, tentu supplier mau membayar. Karena ini lebih menguntungkan dibandingkan jika barangnya 100% saya reject.
Kalau saya melakukannya maka bertambah satu profesi yang rentan terhadap korupsi dan suap menyuap, yaitu asisten menejer QA.

Tidak ada komentar: