Selasa, Juli 22, 2008

Doa adalah Senjata

Kabar itu menyentak jantung. Ayahku masuk rumah sakit untuk menjalani operasi. Pancreas dan prostatnya ada masalah serius. Pada usianya yang ke tujuh puluh lima tahun pula. Setelah puluhan tahun tidak pernah berurusan dengan rumah sakit dalam urusan yang seserius ini. Benar-benar mengagetkan. Aku berada dalam kondisi antara pasrah dan panic.

Maka kutulis di milis dengan subject: “Mohon doa terbaiknya” Maksudku dalam sakit di usia lanjut seperti ini hanya kebaikan saja yang kami harapkan. Apapun itu. Sembuh atau jika harus Dia memanggilnya. Meskipun dalam hati yang terdalam aku tentu mengharap kesembuhannya.

Sehari sebelum berangkat ke Surabaya menengok Ayah yang sedang terkulai sakit itu, aku membuka inbox ku. Banyak email dari teman. Baik dari teman yang sudah kukenal, maupun yang baru saling kenal melalui tulisan di milis. Semua berisi doa. Doa keberhasilan operasi Ayah nanti. Doa kesembuhan Ayahku. Doa kebaikan bagi Ayah ku.

Hape-ku juga bertubi-tubi menerima SMS doa dari teman-teman. Doa yang menyemangati. Doa kekuatan. Doa kesabaran. Doa ampunan dosa… Bahkan ketika dalam perjalanan di bis menuju Surabaya, seorang teman yang aku belum pernah kenal secara langsung menelpon ke hape dari Balikpapan. Memberi semangat dan juga mendoakan kebaikan bagi Ayahku.

Rasulullah SAW pernah bersabda, bahwa doa adalah senjata muslimin. Maka aku berdoa sebagai senjata melawan penyakit Ayahku. Dan aku perlu banyak senjata itu untuk memberi kebaikan bagi Ayahku. Rasanya doaku sendiri tak akan cukup, maka aku perlu minta bantuan siapapun yang kukenal. Karena kita tidak tahu dari mulut siapa doa itu bakal diijabah.

Ketika Umar RA berpamitan kepada Rasulullah SAW hendak pergi ke negeri Syam, Rasulullah Muhammad SAW –yang doanya selalu diijabah oleh Allah- berpesan untuk minta didoakan oleh seorang Uwais Al Qarni RA. Selain menunjukkan kemuliaan Uwais yang sangat hormat kepada Ibunya, pesan ini juga sebagai pelajaran agar kita mau meminta orang lain untuk mendoakan kita.

Karena itulah ku SMS pula teman-teman dan para Ustadz yang kukenal. Setiap hape-ku bergetar, hatiku berdebar. Semoga doa ini yang diijabah Allah SWT.

Mohon maaf teman-teman kalau aku tidak tahu persis berapa jumlah teman yang mengirim doa untuk Ayahku. Jumlahnya sangat menggembirakan dan membesarkan hati. Betapa nikmatnya memiliki banyak teman. Meskipun semakin banyak doa itu ku terima, jumlahnya selalu saja terasa semakin sedikit. Benarlah kata orang bijak: Seribu teman terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak. Kalau saja semua orang yang ku jumpai adalah teman ku dan semuanya mendoakan kesembuhan Ayah ku………… Oh, betapa dahsyatnya do’a itu.

Alhamdulillah, kini Ayahku bisa dirawat di rumah. Operasi pengangkatan empedunya telah mengurangi drastic jumlah bilirubinnya yang selama ini sempat membuat seluruh bagian tubuhnya menguning. Ada beberapa tindakan selanjutnya yang akan dihadapi Ayahku. Dan …….tentu saja aku masih membutuhkan doa teman-teman semua. Karena kita tidak tahu dari mulut siapa doa tulus itu akan diijabah Allah.

Cikarang Baru, 22 Juli 2008

Selasa, Juli 15, 2008

Dari, Oleh dan Untuk Rakyat (?)

Ini adalah semboyan demokrasi yang saya perlajari dari bangku SMP puluhan tahun yang lalu.

Artinya para pimpinan berasal dari rakyat biasa, tidak pilih darah. Darah merah boleh, darah biru juga boleh. Yang penting mereka dipilih oleh rakyat. Rakyat dengan sukacita memilihnya. Meskipun guru SD jika rakyat cinta dan memilihnya, dia bisa terpilih jadi anggota DPR. Meskipun preman pelabuhan kalau rakyat suka mereka bisa jadi Bupati. Meskipun dia jendral kalau rakyat emoh memilih, dia bakal lengser. Walaupun dia keturunan raja Mataram, kalau rakyat tidak berkenan dia tidak bakal jadi lurahpun.

Namun setelah dipilih, jangan lupa bekerja dan berjuang untuk kepentingan rakyatnya. Bukan kepentingan diri sendiri dan keluarganya. Memakmurkan rakyat. Bukan kesejahteraan dan penggelembungan rekening pribadi.

Tahun 2009 negeri kita tercinta ini akan menjalani perhelatan akbar sebagai bentuk kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinnya. Pemilu akan diikuti oleh 34 partai politik sebagai wadah bagi para politikus untuk menyuarakan keinginan rakyat. Yaitu hidup lebih baik dan sejahtera. Berkah dunia akhirat.

Sebelumya Komisi Pemilihan Umum (KPU) bekerja keras melakukan verifikasi parpol yang mendaftar sebagai peserta pemilu. Banyak yang berguguran setelah diverifikasi kelayakannya. Setelah dinyatakan lolos dalam verikasi administratif, terjadilah hal-hal yang menyesakkan hati ketika ketika dilakukan verikasi faktual di lapangan. Berikut ini resumenya yang saya baca dari berbagai media cetak:

  1. Kantor cabang parpol di daerah alamatnya berada di alam kubur. Ketika KPUD mencari alamtnya, ternyata parpol itu beralamat di tanah pemakaman. Sedemikian buruknyakah administrasi daerah sehingga ada alamat ganda? Satu untuk makhluk hidup, dan yang lain untuk mayyit? Atau mudah-mudahan saja bukan karena pejabat parpol itu sudah layak dikubur karena telah mati hati nuraninya.
  2. Kantor Parpol beralamat di sebuah sekolah dasar. Sejak kapan sekolah dasar bisa dijadikan sebagai markas kegiatan politik. Jangan-jangan karena butuh uang, kepala sekolah menyewakan gedung sekolahnya kepada parpol, toh para peringgi parpol itu ngantornya lima tahun sekali. Jadi tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar.
  3. Pengurus parpol A juga menjadi pengurus parpol B. Tampaknya para politisi ini tidak mau kalah dengan pengusaha yang memiliki banyak perusahaan. Jadi kalau bisa politikus punya banyak parpol sekaligus. Kalau parpol yang satu kalah, siapa tahu parpol yang lain menang. Aya-aya wae.....
  4. Anggota parpol tidak nyadar kalau dia anggota parpol. Ketika KPUD mendatangai warga pemilik KTP anggota parpol itu, ternyata mereka kaget. Karena dia merasa tidak menjadi anggota parpol manapun. Yang diingatnya adalah beberapa bulan yang lalu pernah setor fotokopi KTP dan KK karena akan dapat jatah gas dan kompornya serta BLT.
  5. Pengurus Cabang Parpol tidak tahu di mana kantor Pengurus Pusat Parpolnya. Aneh bin ajaib. Lha, pengurus cabangnya aja gak tahu apalagi rakyatnya.
  6. Pengurus cabang tidak ada yang menyambut kedatangan petugas KPUD yang memverifikasi parpolnya. Mungkin sang pengurus tidak tahu jadwal verifikasi atau lagi-lagi pendiri partai hanya mencomot nama-nama dan fotokopi yang berserakan di kantor kelurahan.
  7. Kartu tanda anggota pengurus pusat hasil tulisan tangan. Yang ini seharusnya tidak jadi temuan, karena siapa tahu ini memang parpol rakyat miskin sehingga pengurus pusat tidak punya komputer dan printer. Warnet pun belum ada di kepalanya. Entah kalau warteg (mikir perut melulu).

Jadi demikianlah demokrasi dijalani di Indonesia. Sebagian (besar) masih berfikir ”Dari Rakyat (busuk, baca: polbus), Oleh Rakyat (bodoh, baca: pemilih), Untuk (menipu) Rakyat (dan negara).

Allahummaghfirlahum warhamhum wa’afihi wa’fu’anhum. Amiin.