Senin, Agustus 20, 2007

Uang BOS

Oleh : Choirul Asyhar

Sejak kepemimpinan Presiden SBY, di dunia pendidikan ada istilah Uang Bos. Tentu maksudnya bukan Bos dalam arti juragan, pemilik pabrik, pejabat, tauke, pengusaha dan sejenisnya. Tapi maksudnya adalah Bantuan Opersional Sekolah. Uang ini diberikan oleh pemerintah sebagai konpensasi kenaikan harga BBM. Jadi subsidi harga BBM dicabut lalu dialihkan kegunaannya diantaranya untuk bantuan operasional sekolah ini.

BOS diberikan kepada sekolah-sekolah. Jumlahnya sebanding dengan jumlah muridnya. Jadi uang yang diterima setiap sekolah adalah perkalian dari sejumlah uang tertentu dengan jumlah total murid setiap sekolah. Jadi setiap sekolah menerima uang BOS sejumlah itu. Untuk SD menerima Rp 19.000 x jumlah murid sekolah tersebut. Atau setiap murid SD menerima 19.000 rupiah per bulan.

Untuk SD swasta uang tersebut bisa dipakai untuk mensubsidi SPP siswa yang rata-rata di atas 75.000 per bulan. Untuk SD Negeri karena SPP-nya gratis, uang BOS bisa digunakan sebagai pengganti uang POMG, sumbangan ini-itu, uang buku dan lain-lain. Seperti diketahui umum meskipun katanya sekolah gratis, SD Negeri ternyata tidak sepi dari tarikan biaya ini itu. Jadi gara-gara si BOS, murid sekolah atau orang tuanya bisa bernapas lebih lega. Semua mendapat bantuan BOS sehingga dana untuk bayar sekolah bisa dipakai untuk menambah belanja bumbu dapur dan lauk-pauk di rumah.

Tapi dasar BOS, memberi sesuatu tapi penggunaannyapun ditentukan. Tujuannya agar tidak salah pakai atau disalahgunakan. Misalnya untuk memperbaiki dapur rumah guru. Itu sangat menyimpang, meskipun gara-gara dapur rumah guru bocor, bu guru jadi tidak nyaman masaknya, sehingga masakannya masih setengan matang, lalu bikin sakit perut kalau dimakan, selanjutnya guru tidak bisa mengajar karena berbaring sakit. Akibatnya murid di sekolah memperpanjang jam main bolanya karena kelasnya tidak dihadiri guru.

Belakangan, di Kabupaten Bekasi, uang BOS serentak dipakai untuk mensubsidi harga buku yang selama ini terkenal mahal karena penerbit ambil untung 50% lebih. (Sssst.... ini sih katanya juga untuk kesejahteraan guru, karena yang 30% dikembalikan untuk guru yang capek-capek mengepak buku untuk murid-muridnya. Sssstt..... lagi.... 10% untuk oknum kepala sekolah atau bagian pengadaannya yang tanpa persetujuannya penerbit Anu tidak akan bisa menjual bukunya langsung ke sekolah).

BOS datang maka orang tua sedikit terbantu dengan masalah harga buku. Paling tidak ada satu atau dua buku gratis. Karena sudah dibayar dengan uang si BOS. Agar uang BOS yang sedikit itu bisa dapat buku murah maka Diknas menjalin kerjasama dengan penerbit untuk mendapatkan harga khusus. Akses langsung penerbit buku ke sekolah dikurangi. Juga sebaliknya akses sekolah langsung ke penerbit juga berkurang. Paling tidak dari 12 buku per anak, tinggal 10 buku yang dijual oleh sekolah. Dua gratis, karena sudah dibayar oleh Diknas menggunakan uang BOS.

Orang tua murid senang, guru tersenyum meski agak kecut. Bisa karena omset kurang, bisa juga karena kualitas isi buku gratis itu kurang bagus. Ada penerbit-penerbit anyar muncul sebagai rekanan Diknas dalam pengadaan buku gratis itu. Gurupun bertanya-tanya apa criteria pemilihan buku atau penerbit tersebut.

Untuk menjembatani hal-hal yang kurang sehat, Diknas yang bijaksana membolehkan sekolah memilih sendiri buku gratisnya. Deal dengan penerbit dengan harga BOS. Nanti bukti pembayarannya ditukarkan dengan uang BOS di kantor Diknas. Bagus… Transparan… Harga juga terkontrol sehingga sekolah tidak main mark up harga.

Dengan kesepakatan itu maka di Cikarang ada seorang kepala sekolah yang dikenal jujur dan lurus melaporkan pembeliannya kepada kantor Diknas untuk ditukar uang BOS. Seharusnya semuanya lancar jika kesepakatan diikuti. Tapi petugas menolak, karena nama penerbit buku yang dibeli sang kepala sekolah tidak ada dalam list kantor Diknas. Sang kepala sekolah baru tersadar ternyata ada kesepakatan lain yang harus diteken antara penerbit dengan kantor Diknas.


Cikarang, 31 Juli 2007

Tidak ada komentar: