Kamis, Agustus 30, 2007

Rumah Untuk Rakyat

Tanggal 28 Agustus 2007 ada peresmian 4500 rumah untuk pekerja di Kompleks Kota Serang Baru, Cikarang. Saya, pak RW 07 Cikarang Baru dan seorang Ibu pengurus majlis taklim di wilayah kami mendapat undangan menyaksikan acara ini. Tidak tanggung-tanggung acaranya. Yang mengundang bukan pihak pengembang tapi Kementrian Perumahan Rakyat. Yang meresmikan juga pejabat nomor wahid negeri ini. Siapa lagi kalau bukan Presiden SBY.

Dalam sambutannya, Pak SBY mendorong pengusaha perumahan atau pengembang agar terus membangun rumah bagi rakyat setingkat rumah sederhana sehat (RSS), agar para buruh dapat hidup tetang dan tentram di rumahnya sendiri. Beliau juga menyampaikan bahwa untuk keperluan itu tahun ini pemerintah memberikan subsidi bagi rumah sederhana sehat (RSS) sebesar 300 milyar rupiah. Dan tahun depan subsidi ditingkatkan hampir 300% menjadi 800 milyar rupiah.

Wow, subsidi? Terlintas pertanyaan dalam hati: kok di Cikarang harga jual rumah tipe 21 dengan luas tanah 60 m2 masih berkisar 50 jutaan. Ini adalah harga biasa. Malah kalau pengembang menjual tanah saja dan kita membangun sendiri, dengan uang sebanyak itu insya Allah akan mendapatkan rumah yang sedikit lebih baik kualitasnya. Tapi buruh mana punya uang kontan untuk membangun sendiri. Wal hasil dapatlah rumah kredit dengan kualitas seadanya. Jadi siapa yang merasakan subsidi itu? Jangan-jangan pengembang perumahanlah yang mendapatkannya karena mereka menjual dengan harga pasar dengan kualitas seadanya.

Dalam brosur-brosur penjualan rumah, disebutkan bahwa subsidi dalam bentuk bunga bank yang lebih kecil daripada rumah tipe 45 ke atas. Jadi selisih bunga itulah yang akan ditalangi oleh pemerintah kepada bank penyedia dana. Oh, terima kasih Pak SBY dengan subsidinya. Tapi apakah mencapai sasaran?

Dalam perjalanan pulang, saya bertemu seorang guru teman istri saya. Dengan anggapan saya banyak duit (Alhamdulillah, semoga anggapan ini menjadi doa bagi saya. Amin), dia mengompori saya untuk membeli 3 unit untuk membuka usaha sekolah TK. Praktek demikian memang sudah lazim dilakukan oleh para pengusaha. Toko material sering membeli 2-3 rumah di sudut yang sering ada kelebihan tanahnya. Jalan-jalan strategis sudah diborong pengusaha retail dan rumah makan sehingga 1-2 tahun kedepan disulap fungsinya menjadi pertokoan.

Pengembang sering tutup mata terhadap hal ini. Bahkan cenderung menyambut baik. Dengan banyak berdirinya pertokoan ini, maka warga akan mudah mendapatkan barang-barang kebutuhannya. Warga tidak perlu keluar perumahan untuk belanja kebutuhan sehari-harinya. Belum lagi jika investor minimarket waralaba mulai menjejakkan kakinya. Warga akan beruntung mendapatkan barang berkualitas dengan harga murah plus hadiah-hadiah pada even-even khusus.

Pengusaha ini pasti membeli rumah dengan harga yang sama dengan harga rumah untuk buruh pabrik itu. Jadi mereka juga menerima subsidi yang diberikan pemerintah. Subsidi yang semestinya untuk buruh dan rakyat yang uangnya pas-pasan. Bukan untuk mereka yang sebagain di antaranya membangun tokonya ini bukan sebagai toko pertama. Di mana ada perumahan baru dibuka, mereka segera menjadi pembeli pertama di jalan-jalan protokol.

Bagaimana pengembang tidak tutup mata terhadap kedatangan mereka. Pengembang jualan rumah. Dan mereka adalah pembeli rumah. Mana ada penjual menolak pembeli. Apalagi keberadaan pengusaha-pengusaha ini justru dapat menarik pembeli-pembeli rumah selanjutnya. Rumah-rumah jadi laku terjual. Maka tak heran jika sebentar lagi akan terpasang spanduk di pintu gerbang yang mengumumkan bahwa rumah-rumah tahap I telah terjual habis dan pembangunan tahap kedua segera dimulai. Plus himbauan: Segera booking sebelum harga naik!

Kalau toko-toko suka mempromosikan bahwa harga barangnya turun, demi menarik pembeli. Tidak demikian dengan pengembang rumah. Mereka justru menjadikan kenaikan harga sebagai alat promosi untuk menarik pembeli. Lalu kalau harga rumah naik, maka apalah arti subsidi itu.

Para pengusaha yang mengambil hak rakyat untuk mendapatkan rumah murah itu, bukan saja merebut hak rakyat, tapi justru menaikkan harga rumah rakyat. Maka yang belum kebagian pada pembagunan tahap pertama, akan gigit jari pada tahap selanjutnya.

Jadi pemerintah harus mencari jalan, bagaimana agar subsidi yang dikucurkan benar-benar dinikmati oleh rakyat. Bukan oleh pengembang dan pemilik toko. Terlintas dalam benak saya, kalau untuk mendapatkan keringanan biaya rumah sakit, pasien harus membawa surat miskin. Tidak ada salahnya juga untuk mendapatkan rumah rakyat harus melampirkan surat sejenis pada aplikasi kreditnya.

Cikarang Baru, 30 Agustus 2007

Tidak ada komentar: