Jumat, April 25, 2008

Black Campaign!

Seorang kandidat pilkada menyampaikan keburukan lawan politiknya di panggung kampanye. Massa yang hadir tepuk tangan tanda setuju. Sorak sorai menyemangati sang kandidat. Kampanye negatif berketerusan. Massa, makin senang. Bahkan merasa calonnya yang paling hebat. Dan keputusannya sudah bulat. Coblos nomor pilihannya di hari pilkada nanti.

Itulah black campaign. Sering ini dilakukan karena frustrasi mau ngomong apalagi untuk menggaet suara sebanyak-banyaknya. Apalagi jika lawannya sudah di atas angin. Lajunya tak terbendung. Maka jurus pamungkasnya adalah membuka aib-aibnya. Targetnya adalah calon pemilih lawan politiknya beralih memilihnya. Atau minimal calon pemilih lawan politiknya jadi ragu.

Karena asyik melakukan kampanye negatif lawannya, dia jadi lupa menyampaikan visi misinya. Anehnya massanya ’ho-oh’ saja.

Black campaign rupanya tidak saja terjadi di dunia politik. Di dunia bisnis juga tak kalah serunya. Iklannya sudah menyerang pesaingnya. Pada iklan motor, ketika pesaingnya menyatakan irit bensin, maka muncul iklannya dengan ”ah, paling juga segini iritnya” sambil memegang sesendok bensin.

Ketika sebuah operator telepon seluler memasang tarif rendah dengan syarat tertentu. Yang lain mengatakan tarifnya asli rendah. Perhitungannya tidak njelimet. Tanpa syarat. Dan sebagainya. Haruskah menyampaikan keunggulan suatu produk dengan sekaligus merendahkan produk pesaing. Pemasangan papan iklanpun saling bersebelahan. Dengan tema saling menjelek-jelekkan. Iklan jadi seperti perang ’mulut’. Iklan itu seharusnya menampilkan keunggulan kepada konsumen. Bukan menampilkan kejelekan pesaingnya kepada konsumen.

Sambil menyelam minum air. Itu barang kali prinsip yang dianutnya. Sambil menyampaikan keunggulannya, menjelekkan produk pesaingnya. Anekdot katak berenang sangat cocok untuk jenis iklan demikian. Agar sang kodok bisa melaju ke depan. Dia harus menendang ke kanan kiri dan menyibakkan kaki depannya ke kanan kiri pula. Artinya sukses maju dengan menyingkirkan lawan-lawannya. Sukses bersama gagasan Aa Gym mungkin tak berlaku.

Seorang teman yang punya usaha jualan pulsa sampai pusing menjelaskan banyak pertanyaan pelanggannya tentang cara menghitung tarif pulsa. Saya sendiri daripada pusing memikirkan pulsa yang saya pakai, mendingan saya pakai prinsip bicara seperlunya saja. SMS jadi pilihan pertama jika ini dirasa cukup. Jika bisa menyampaikan pesan dengan dua kata kenapa harus lebih. “Never use three words when you can say it in two.” Kata seorang pakar komunikasi.

Jadi daripada termakan black campaign lebih baik kita pilih yang santun dan tawadhu’. Akhir-akhir ini banyak wirausahawan yang menjual dengan hati. Mengedepankan etika. Bahkan banyak memberi dan melayani. Rasulullah Muhammad SAW adalah pengusaha sukses. Dia mengajarkan umatnya berbisnis dengan jujur. Ketika pedagang kurma mencampurkan yang buruk dengan yang baik, Rasulullah menegurnya. Maka beriklan bahkan tidak hanya menyampaikan kebaikan produknya, tapi juga kekurangannya sehingga calon pembeli tidak over expectation. Kandidat pimpinan daerah juga demikian. Kampanye seharusnya menyampaikan visi dan misinya. Sampaikan time schedulenya. Sampaikan tahapan-tahapannya untuk mencapai apa yang dijanjikan itu. Menyampaikan syarat-syaratnya. Rasional. Tidak di awang-awang. Apalagi sibuk mengupas tuntas keburukan musuhnya.

Dalam hal ini sang kandidat bisa belajar dari wirausahawan dalam membuat bisnis plan. Tentu saja dari wirausahawan yang jujur pula. Yang membuat proposal bisnisnya bukan untuk mengemplang bank.

Saatnya kejujuran menjadi panglima di negeri ini. Agar berkah Allah turun dari langit dan bumi.

Cikarang Baru, 25 April 2008

Jumat, April 18, 2008

Action!

Berbekal satu juta rupiah saya nekat take action. Ibu dan Ayah mendukung. Mungkin mereka juga urun beberapa ratus ribu rupiah atau lebih. Aku tak tahu pasti. Demikian juga dengan kakakku. Ya, atas dorongan kuat believe yang ada dalam diriku akau melakukan action. Kalau menurut kurikulum TDA yaitu BDSA. Aku mengabaikan D dan S. Aku gak punya dream yang jelas untuk melakukan action ini. Apalagi strategy. Pokoke action. Melobby ortu untuk mendukung action ku! Menyurati partnerku untuk melakukan actionku. Apakah ini strategy? Entahlah saya belum pernah ikut sekolah entrepreneur dan belum kenal TDA waktu itu. Karena TDA memang belum lahir.

Ya, action itu saya lakukan sekitar 14 tahun yang lalu. Setelah mengalami perasaan ragu gamang beberapa tahun. Padahal aku punya keinginan kuat. Rasa takut sering menghantui. Mampukah saya.

Akhirnya keputusanpun diambil. Ayah Ibu dan kerabatkupun datang menemui ortu calon partnerku. Melamarnya. Untuk menjadi partnerku. Membangun bahtera rumahtangga yang kokoh menghadapi bagaimanapun badai yang datang.

Ya, action itu adalah keputusan menikah. Setelah kurang lebih 6 bulan aku berkenalan melalui surat dengan seorang perempuan, melalui adik sepupuku. Karena dia di Jakarta dan aku di Wonosobo, maka kenalannya hanya lewat surat. Setelah beberapa surat, saya memberanikan diri bertandang ke rumahnya ditemani adik sepupuku. Setelah itu kami tak pernah ketemu lagi. Surat menyurat masih berlangsung. Tapi tidak ada basa-basi kecuali membicarakan hal-hal prinsip dan rencana pernikahan sesegera mungkin. Karena meskipun tidak bertatap muka, surat-menyurat bisa saja menjerumuskan kedalam perzinaan jika ngelantur. Kata perempuan yang sekarang jadi istri saya itu, ”boros perangko!”

Maka setelah pertemuan itu maka beberapa bulan kemudian, yang datang adalah Ayah dan Ibu serta beberapa kerabatku. Aku sendiri tidak ikut serta. Mereka datang untuk melamar wanita itu menjadi istriku. Aku hanya titip uang satu juta. Mungkin kalau dihitung dengan uang sekarang, ya sekitar 4 jutaan lah. Saya benar-benar nekat. Karena memang aku gak punya tabungan apa-apa, selain sebuah rumah kredit di Wonosobo yang waktu itu cicilannya Cuma sekitar 135.000 per bulan.

Kini setelah empat belas tahun, kami tetap hidup rukun, tenang meski kadang bergerak bergelombang karena ada riak-riak besar kecil yang kami lalui. Kami dikarunia Allah 4 anak yangg insya Allah soleh dan cerdas. Dua lak-laki dan dua perempuan. Sebagai penyejuk pandangan mata kami insya Allah.

Tulisan pendek ini, sebagai penyemangat untuk take more action for our live in the earth and the heaven. Just take an action!

Cikarang Baru, 18 April 2008

PS. Untuk istri tercinta, Ayah dan Ibu yang selalu kirim do’a. Anak-anak yang menyenangkan hati dan mata. Aku tetap butuh dukungan kalian!

Selasa, April 15, 2008

Satu Tulisan Lagi Buat Anakku Athaya

Kini giliranmu, Nak, membaca tulisan Ayah. Kamu kan sudah klas dua SD, sudah pandai membaca. Dan kaupun pandai menulis. Ayah tahu bakatmu menulis karena ketika kau ngambek, kau suka menulis surat kepada Ayah atau Ibu menyampaikan masalahnya atau sekedar meminta maaf. Juga kau paling rajin titip surat untuk kakakmu saat Ayah menengok kakakmu di Solo.

(Tapi maaf ya, tulisan ini terlambat sehari. Soalnya dua hari ini Ayah sibuk membantu mengurusi perhelatan besar di Jawa Barat yaitu pemilihan gubernur 2008-2013. Syukurlah pasangan yang Ayah dukung dan Ayah repot memperjuangkannya dan puncaknya dua hari terakhir ini berhasil memenangkan pilgub kali ini. Semoga Allah senantiasa membimbing mereka menjadi pemimpin yang amanah, adil dan mensejahterakan rakyatnya. Amin)

Sekali lagi, Ayah sampaikan, akhir-akhir ini Ayah sedang belajar menulis. Menulis kebaikan dengan harapan akan menjadi passive income bagi pundi-pundi pahala Ayah untuk bekal hidup di akhirat nanti.

Maka, semoga kamu bisa menerima dengan senang kado tulisan ini, sebagaimana kegembiraanmu menerima kado sepatu baru dari Ibumu.

Athaya, rasanya baru kemarin kamu dilahirkan oleh Ibumu ditolong oleh Bidan Nur di Cikarang Baru, 14 April 2000.

Waktu itu, ba’da ashar, Ibumu menelepon Ayah di kantor. Menyampaikan kabar yang tidak mengembirakan. Air ketubanmu pecah. Dengan berusaha tenang, Ayah menyampaikan kepada Ibu, jika Ibu kuat sebaiknya Ibu segera pergi duluan ke Bidan Nur. Sebuah saran yang terdengar aneh. Untuk apa menelepon Ayah kalau sarannya demikian.

”Ayah khawatir kalau Ibu menunggu Ayah tiba di rumah setengah jam lagi, keadaan menjadi lebih parah. Dengan Ibu berangkat ke rumah bersalin lebih awal Ibu mendapatkan pertolongan lebih cepat. Ini lebih baik daripada menunggu.” Dan Alhamdulillah, Ibumu melaksanakan pesan aneh Ayah ini. Dan tidak hanya itu, Ibumu tidak minta tolong tetangga. Mungkin karena Ibu tahu, tetangga yang siap hanya para Ibu rumah tangga. Tidak ada mobil yang siap. Mungkin nanti malah merepotkan. Maka Ibu berangkat menuju tempat pemberhentian angkot. Beberapa tetangga, menyapa Ibumu, sebagaimana biasa. Ibumu juga menyapa sebagaimana biasa.

Setengah jam kemudian Ayah tiba di rumah bersalin. Alhamdulillah, Ibumu sudah istirahat dengan tenang setelah mendapat pertolongan yang memadai. Ayah dan Ibu bersyukur kepada Allah karena kamu dapat diselamatkan. Kandungan Ibumu masih sehat dan kuat untuk kamu bersemayam di dalamnya sampai saat kelahiranmu nanti.

Sampai maghrib belum ada tanda-tanda kelahiran. Kakakmu Ahsana dan Abyan mulai datang diantar mBak Suginah. Adzan Isya’pun tiba. Awan gelap di luar pertanda akan turun hujan. Ayah meminta mBak Suginah membawa kedua kakakmu pulang sebelum hujan turun. Jam delapan malam Ibumu sudah lelah menunggu. Tiba-tiba listrik padam. Emergency lamp pun menyala. Tak lama, karena beberapa menit kemudian mati entah kenapa. Maka Bu Bidan pun menyalakan beberapa lilin. Ruang bersalin pun jadi remang-remang. ....... Ibumu sudah mulai mules-mules.

Di tengah kegelapan malam di ruang bersalin tanpa penerangan dan pendingin ruangan, dari nyala lilin Ayah melihat wajah lelah Ibumu karena menunggu sejak sore tadi. Beberapa teguk air minum menyegarkannya. Kaupun makin keras mendesak ingin keluar dari rahim Ibumu.

Seperti dua kelahiran sebelumnya Ibumu menunjukkan keikhlasannya dan mengerahkan sisa-sisa kekuatannya untuk mendorongmu keluar. Ayah cuma bisa sekedar menyemangati dan mendo’akannya. Kalimat thoyyibah bersahut-sahutan Ayah dan Ibu lantunkan. Bidan Nur dengan sabar juga terus memberikan aba-aba yang menyejukkan dan menyemangati. Rasa cape, sangat jelas tampat diraut wajah ibumu di sela nyala lilin. Bidan Nur terus menyemangati. Kepalamu mulai sedikit demi sedikit tampak.

”Ya...., terus...., terus.... sedikit lagi......” kata Bu Bidan.
Tiba-tiba bayi mungil perempuan sudah berpindah ke tangannya. Alhamdulillah. Darah mengalir dari rahim ibumu. Tali pusarpun digunting. Kau dibersihkan oleh asisten Bidan. Bidan merawat Ibumu. Melakukan beberapa jahitan. Dan membersihkan darah di tempat tidur Ibumu. Lalu lampupun menyala. Kipas angin menyejukkan dan membawa pergi kelelahan Ibumu. Tampak senyum puas dan gembira tersungging dibibirnya. Ayahpun menyalaminya. Mencium pipinya. Mencium keningnya.

Setelah dibersihkan, kau diserahkan kepada Ayah. Ayahpun mengenalkan suara adzan dan iqomah di telingamu. Dengan harapan dan do’a nanti setelah saatnya nanti kau akan menjadi hamba Allah yang peka terhadap panggilan Allah. Segera datang memenuhi panggilan da’wah kapanpun dan dimanapun.

Untuk melengkapi do’a itu, Ayah menamaimu Athaya Nadiya Asyhar. Asyhar adalah nama Ayah, agar kau tak lupa pada orang tuamu. Dan pentingnya memelihara silsilah keluarga agar nasab terjaga rapih sesuai syari’ah. Athaya bermakna sebuah pemberian atau rizki. Sebagai wujud syukur kepada Allah atas pemberian ini. Perempuan cantik akhlak dan parasnya. Dan Nadiya berarti berani mengajak kepada kebaikan. Karena kita semua adalah da’i sebelum menjadi apapun lainnya. Atau menjadi apapun kita nanti, tugas da’wah selalu melekat dalam diri kita.

Nanti kamu akan menemukannya di dalam Al Quran, bahwa kita adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dan itu perlu keberanian. Itulah makna Nadiya.

Nak, Ayah menulis ini agar kau tahu bagaimana beratnya perjuangan Ibumu melahirkanmu. Belum lagi kalau Ayah menuliskan sembilan bulan kau di kandungnya. Pasti panjang sekali tulisan Ayah. Juga dari tulisan ini kau akan tahu betapa mulianya harapan Ayah dan Ibu dengan melekatkan rangkuman do’a-do’a dalam bentuk nama dirimu.

(Pada saat yang sama, Ayahpun bisa membayangkan bagaimana beratnya Mbah Putrimu dulu saat mengandung dan melahirkan Ayahmu. Bahkan sampai kinipun, seperti yang kau tahu, kasih sayang Mbah Putri kepada Ayah, Om dan Tantepun tak pernah pupus, tak habis-habisnya meskipun kasih sayangnya juga dicurahkan untuk kau dan para cucu lainnya. Rabbighfirlii wali waalidayya, warhamhuma kamaa rabbayaani shoghiroo. Ya, Rabbi, ampunilah aku dan kedua orang tuaku. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sejak aku masih kecil. Amiin).

...... Nak, nanti ketika kau belajar sastra, akan kau temui sastrawan dunia yang pernah mengatakan ”What is in a name?” Maka saat itu kaupun bisa menjawabnya. Betapa pentingnya nama. Maka arti sebuah nama itu harus dipersiapkan. Nama adalah dreams. Dreams Ayah dan Ibu terhadap anak-anaknya. Doa Ayah dan Ibu, demi kebaikan anak-anaknya. Kebaikan bagi dunianya dan kebaikan bagi akhiratnya.

Allahu Akbar.....

Cikarang Baru, 15 April 2008

Jumat, April 11, 2008

Pilkada

Sejak memasuki era reformasi, kegiatan yang paling sering menghiasi berita di lavar kaca adalah pilkada. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Kegiatan ini juga menjadikan banyaknya wajah-wajah para politikus dipajang di sepanjang perjalanan. Baik jalan negara, jalan propvinsi, maupun jalan kabupaten. Jumlahnya bersaing dengan banyaknya iklan rokok. Ini jadi berkah tersendiri bagi pengusaha sablon dan digital printing.

Saya dengar pilkada sudah hampir dua ratusan kali diadakan. Seharusnya makin sering penyelenggaraannya semakin rapih dan bersih. Tapi sayangnya belum ada satupun yang berjalan mulus tanpa keluhan masyarakat maupun partai pendukung calon. Yang sering dikeluhkan adalah penetapan pemilih tetap. Tidak sedikit warga masyarakat yang tidak memperoleh haknya sebagai pemilih karena namanya tidak tercantum dalam DPS (Daftar Pemilih Sementara) maupun DPT (Daftar Pemilih Tetap). Protes sering disampaikan. Tapi kejadian terus berulang. Komisi pemilihan sepertinya tidak peduli. Alasannya pendataan penduduk bukan urusannya. Sehingga komite pemilihan sering menggunakan data apa adanya. Tahun lalu menyelenggarakan pemilihan Bupati, datanya diprotes massa, eh.... tahun ini mengadakan Pemilihan Gubernur, datanya masih belum benar juga. Masih menggunakan data yang dulu yang jadi ajang ribut massa bahkan sampai ke pengadilan tinggi. Yang lebih parah, bahkan ada keluhan beberapa nama yang dulu saat pemilihan Bupati bisa memilih, kini malah namanya tak terdata.

Sedemikian sulitkan pemerintah mendata warganya?
Ketika menerima fotokopi salinan DPT Pemilihan Gubernur Jawa Barat, saya melihat ada keanehan dalam susunan ketikan DPT itu. Ada ketikan dari mesin ketik manual pada nomor urutnya. Ada garis kolom yang tidak lurus. Ada ketebalan font yang berbeda-beda. Atau ketajaman tinta printer yang berbeda. Belum lagi alamat pemilih yang tidak terstruktur. Sebagian tertera alamat lengkap sehingga mudah dicari. Tapi tidak sedikit yang hanya tertera RT dan RW-nya saja. Itupun data RT dan RW sebelum terjadi pemekaran RT dan RW karena perkembangan penduduk yang pesat di perumahan kami.

Ketika mengecek Daftar Pemilih Sementara beberapa bulan sebelumnya, saya melihat cara kerja PPS. Ternyata petugas menerimanya dari KPUD terketik rapi dari komputer. Tapi jika diteliti, ternyata lokasi tempat tinggal pemilih acak-acakan, maka oleh PPS disusun kembali dengan cara menggunting dan menempel berdasarkan RT dan RWnya. Setelah itu difotokopi ulang dan diberi nomor urut menggunakan mesin ketik manual. Juga dilakukan penambahan data pemilih jika ada warga yang namanya belum tercantum. Setelah mendapatkan laporan warga tersebut maupun laporan RT. Maka jadilah salinan DPT yang aneh.

Di zaman komputerisasi begini, mengelola data dengan menggunting dan menempel sudah ketinggalan kereta. Hare gene..... ?????

Selain itu up date data akan memakan waktu lama, Booo.... Jadinya, data baheula masih dipakai juga. Jadinya, data tidak pernah terbarukan. Jadinya, pembaruan hanya ada ditingkat hard copy. Kalau memperbaiki soft copynya, perlu waktu dan tenaga pula. Jadinya, setiap pilkada banyak yang ribut. Jadinya, setiap pilkada banyak yang merasa dikebiri hak-haknya.

Ketika mengobrol dengan petugas PPS saya menangkap tidak ada niatan memanipulasi data. Mereka adalah pekerja ikhlas yang berhonor sangat kecil untuk kerja berat dan menuntut tanggung jawab besar ini. Demi terselenggaranya pilkada yang notabene sangat penting untuk penyelenggaraan negara, mereka bekerja dengan fasilitas apa adanya. Dengan segala fasilitas yang tidak dimiliki mereka melakukannya secara manual di zaman komputer ini. ”Fotokopipun pakai uang sendiri.” kata seorang petugas PPS.

Data kepesertaan warga dalam pilkada kurang dari 60%. Maka kalau mau meningkatkan peran serta masyarakat, komite pemilihan dan jajaran aparat pemerintah harus peduli dengan keluhan masyarakat. Mau ikut milih kok sulit. Nama tak tercantum di DPT. Tapi disuruh berpartisipasi. Mana bisa?

Yang aneh malah yang warga namanya sudah tercantum di DPT kok nggak datang ke TPS? Usut punya usut, ternyata paling tidak ada tiga alasan kenapa warga dewasa tidak datang mengambil haknya. Pertama, warga yang cuek dengan pilkada. Baik yang karena hidupnya sudah makmur jadi merasa tidak berkepentingan dengan pilkada, maupun yang apatis karena ganti pimpinan tidak mengangkatnya dari kemiskinan dan keterpurukan. Yang kedua, warga yang tidak punya ongkos menuju TPS karena tinggalnya jauh di seberang Desa. Yang ketiga, warga yang tidak mungkin datang karena rumahnya sejak dulu tidak pernah dilalui angkot. Karena angkot mana yang mau membuka jurusan TPS-Kuburan?


Cikarang Baru, 11 April 2008

Menyongsong Pemilihan Gubernur Jawa Barat 13 April 2008.
Pilih Pimpinan Yang Membawa Harapan Baru Jawa Barat!

http://lintasankatahati.blogspot.com

Kamis, April 10, 2008

Menangkap Pencuri

Di negeri ini menangkap pencuri tidak gampang. Tapi sering kali juga mudah. Tergantung siapa malingnya. Jadi kalau sudah ketahuan siapa malingnya maka tingkat kesulitannya baru bisa diukur. Yang paling mudah, jika malingnya rakyat jelata. Yang memang sudah layak disebut maling, sehingga pantas saja menjadi penghuni penjara yang kumuh, sempit, dan berbaur dengan begundal yang lain. Yang agak mudah adalah kalau malingnya adalah musuh kita. Maka dengan semangat kita akan menangkapnya, lalu menjebloskannya kedalam bui. Yang sulit adalah kalau malingnya adalah teman kita sendiri. Dan yang paling sulit lagi jika malingnya adalah atasan kita sendiri. Atau para bangsawan.
Tapi ada lagi yang menyebabkan kesulitan menangkap maling: yaitu polisinya malas menangkap maling karena yang dicuri adalah masalah yang sepele. Karena ada pekerjaan lain yang dianggap lebih penting. Jadi pencurian dianggap sepele. Ketika ada pekerjaan penting lainnya.

”Ustadz, ini masalah serius!” kata saya kepada seorang ustadz di sebuah pesantren.
”Ya, Pak. Nanti saya akan tindak lanjuti.” katanya.
”Tentu.” kata saya. ”Rasulullah saja berjanji akan memotong tangan Fatima, jika Fatima anaknya itu mencuri” lanjut saya. ”Jadi harus segera ditindak lanjuti, karena pencurian bukan masalah sepele.”

Terus terang saya agak kesal, karena kemarin siang ketika saya lapor, ustadz tersebut berjanji malam ini akan menyelesaikannya. Tapi sampai subuh keesokan harinya, ketika saya mendengar informasi dari anak saya bahwa baju seragamnya belum dikembalikan, maka saya menyampaikan hal itu kepada sang Ustadz.

Sebenarnya anak saya belum setahun nyantri di pesantren ini. Tapi sudah dua kali kehilangan baju batik seragamnya. Belum lagi sandal, mungkin tidak kurang dari sepuluh kali. Handuk, ada tiga kali. Setrika sekali.

Setiap habis mencuci baju dan lain-lain, hatinya selalu was-was jangan-jangan hilang dari kawat jemuran. Ketika menengoknya ke pesantren saya menyempatkan diri mengunjungi area tempat penjemuran baju. Saya melihat pemandangan yang aneh-aneh. Biasanya handuk dijemur dengan membuka lebar lembaran handuk di atas kawat jemuran agar cepat kering. Tapi ini ada handuk yang dijemur dengan melilitkannya di kawat jemuran. Pasti lama keringnya. Ketika saya menyaksikan beberapa handuk jatuh ke tanah, saya berkesimpulan handuk itu dililitkan agar tidak jatuh. Tapi kata anak saya agar tidak di-ghosob. ”Kalau dililit kan sulit ngambilnya.” kata anak saya. Saya lihat sebagian besar atau mungkin semua jemuran sudah diberi nama, baik dengan spidol maupun ada yang dibordir. Tapi rupanya identitas ini tidak cukup. Perlu dililitkan, diikat, peniti agar tidak mudah dighosob santri lainnya. Sehingga jepitan jemuran saja, karena tujuannya bukan saja mencegah agar jemuran tidak jatuh. Kata anak saya, ”Bahkan ada juga yang digembok!” Kalau digembok tetap hilang, pasti malingnya bawa gunting!

Demikian juga ketika ke masjid 5 kali sehari. Saya yakin pasti anak saya was-was ketika melepas sandalnya. Ketika saya menegur kenapa uang jajannya cepat habis, salah satu jawabannya adalah untuk beli sandal. Karena sandalnya hilang dua kali bulan ini. Dua kali saya menengoknya saya juga menyaksikan dua kali anak saya kehilangan sandal.

”Ayah, sandal yang Ayah beliin bulan lalu sudah dighosob orang!” katanya. Hah? Saya kaget, padahal saya menuliskan nama anak saya di sepasang sandalnya dengan huruf yang besar memenuhi lebar sandalnya. Lalu peringatan agar tidak di-ghosob. Apakah sulit menghilangkan ghosob menghosob di pesantren?

Ketika melaporkan hilangnya seragam batik anak saya, dari jawaban pihak Ustadz saya menangkap kesan itu. Menghilangkan kejadian ini sulit. Kejadian ini wajar. Dan harap dimaklumi karena santrinya banyak dan punya perangai yang macam-macam. Bahkan barangkali yang tidak wajar adalah saya yang melaporkan hal sepele ini.

Ini pula yang tadinya ada dalam pikiran saya ketika pertama kali mendengar laporan anak saya bahwa sandalnya hilang. Atau handuknya. Atau baju batiknya saat hilang pertama kali. Wajar. Tapi kali ini saya berubah pikiran.

Beberapa hari yang lalu anak saya menelpon bahwa seragam batiknya hilang. Jadi harus beli lagi, sementara dia tidak punya uang. Saya jawab, pesan saja dulu di syirkah. Nanti uangnya saya transfer. Ketika pagi hari saya datang dan sholat subuh di masjid pesantren, anak saya melaporkan bahwa dikoperasi tidak ada stok baju seragam batik seukurannya, padahal nanti siang kalau keluar pondok harus pakai baju batik ini. Maka saya menghiburnya, nanti saya minta izin kepada Ustadz untuk keluar pondok ba’da jum’atan dengan baju putih.

Ba’da jum’atan saya dan anak saya mengantri makan siang di resto. Dalam antrian yang panjang anak saya menyaksikan bajunya yang hilang dipakai oleh seseorang. Ada namanya jelas tertulis di krah luar bajunya. ”Ayah, itu bajunya!” katanya. Langsung saya keluar dari antrian panjang. Anak yang memakai baju saya sedang menyendok nasi. Langsung saya dekati. Dan saya katakan bahwa baju yang dipakainya adalah baju anak saya.

”Nggak tahu, Pak. Saya cuma pinjam, kok!” jawabnya. Maka saya katakan, segera lepas dan kembalikan kepada anak saya. Si Anak mengiyakan. Lalu dia menuju meja makan. Saya masuk lagi ke antrian.

Setelah selesai mengantri saya dan anak saya menuju ke meja makan. Saya duduk di sebelah santri yang memakai baju anak saya. Saya katakan gara-gara baju hilang anak saya tidak bisa keluar pondok. Sekali lagi si anak mengatakan dia hanya pinjam. Ketika saya tanya kenapa pinjam? Jawabnya bajunya kegedean sehingga tukeran sama temannya. Karena tidak ada penyesalan dan permohonan maaf, maka saya berkata tegas kepadanya bahwa agar dia segera balik kamar, ganti baju dan mengembalikannya ke saya di resto ini. Sebelum pergi saya tanya siapa namanya, klas berapa dan dia tinggal di kamar berapa, rayon berapa. ”Bapak tunggu!” kata saya.

Sampai sekitar sepuluh menit dia tidak kembali. Saya datangi kamarnya, kosong melompong. Maka saya datang ke kantor kesantrian. Kali ini bukan Cuma minta izin anak saya keluar pondok tidak memakai baju seragam batik. Tapi juga melaporkan pencurian baju seragam batik dan akhlak santri klas 9 itu yang membohongi saya. Laporan saya dicatat. Nama, kelas, kamar dan rayon dicatat. Dan disanggupi malam nanti diselesaikan.

***
Sabtu sore, menjelang saya pulang, anak saya melaporkan bajunya belum dikembalikan. Saya pasrah, saya tidak mau meramaikan masalah ’sepele’ ini.
”Ya, sudah, sampai minggu depan kalau bajunya tidak dikembalikan, kamu beli aja lagi.” kata saya.

Beberapa hari setelah saya tiba di rumah, anak saya menelepon. Mengabarkan bajunya belum kembali. Ternyata ustadz yang berjanji menyelesaikan masalah itu juga tidak kelihatan perannya. Dan ada berita buruk lainnya. Ternyata nama anak kelas sembilan itu bukan seperti nama yang diberikan kepada saya. Kamarnya juga bukan yang diakui itu. Saya menghibur anak saya, ternyata akhlaknya santri itu memang sudah sangat memprihatinkan. Anak saya juga sempat mengkhawatirkan keselamatannya jika terus memperkarakan masalah ini.
Saya sempat mengatakan, ”Lho, masak yang benar takut sama yang salah?” Tapi dalam hati saya juga terbersit rasa khawatir itu. Sehingga saya minta anak saya melupakan saja.

Beberapa hari kemudian anak saya menelepon lagi. Bahwa baju seragam batiknya sudah kembali. Dititipkan ke kamarnya ketika anak saya tidak ada di kamar. Alhamdulillah. Semoga ini menjadi titik balik dari kebiasaan ghosob-menghosob di pesantren.

Cikarang Baru, 10 April 2008
Untuk Anakku yang Sedang Menuntut Ilmu di Pesantren.

Ayah terus berdoa, agar engkau rajin belajar dan selalu sadar bahwa Allah selalu mengawasi kita.

Senin, April 07, 2008

Kado Buat Anakku di Solo

Nak, seperti saat ulang tahun kakakmu Februari lalu, Ayah tidak kirim apa-apa kecuali tulisan ini.

(Akhir-akhir ini memang Ayah mulai berlatih menulis. Tulisan berumur lebih panjang daripada barang, karena itu Ayah melakukannya. Dan kata orang akan menambah panjang umur penulisnya. Artinya jika Ayah tiada, tulisan Ayah masih bisa dinikmati dan diambil manfaatnya oleh pembacanya. Maka Ayah menulis hal-hal yang bermanfaat. Menghindari menulis yang berbau maksiat. Kalau manfaatnya dirasakan pembaca, maka pahala akan terus mengalir melapangkan kubur penulisnya. Pahalanya menerangi kegelapannya. Dan juga meringankan siksanya. Insya Allah. Jika demikian, apalah jadinya jika tulisan itu mengajak orang bermaksiyat. Naudzubillahi mindzalika).

Nak, telah kusiapkan namamu ketika ibumu hamil sebulan setelah Ayah dan Ibu menikah 14 tahun yang lalu. Menyiapkan nama ternyata tidak mudah. Apalagi dalam Islam, kita diajarkan oleh Rasulullah memberi nama-nama yang indah pada anak-anak kita. Tidak hanya indah, tapi bermakna. Tidak hanya makna, tapi itu adalah doa. Seperti dalam teori The Law of Attraction, nama anak adalah harapan yang terus menerus kita panjatkan saat kita memanggil anak-anak kita. Getarannya akan menarik pemberian Allah, memenuhi harapan yang kita pinta. Bukankah Allah Maha Mendengar, Maha Pemberi, Maha Mengabulkan doa.

Dari sepuluh nama lebih, mengerucut menjadi dua nama. Satu nama laki-laki dan satu nama perempuan. Satu nama perempuan telah Ayah kenakan kepada kakakmu Ahsana Nabila Asyhar. Maka ketika kamu lahir di rumah Bidan Arti, Ayah gembira karena namamu masih rapi tersimpan di buku agenda Ayah. Maka tanpa berfikir dua kali, kuberikan nama itu kepadamu:

Abyan Naufal Asyhar

Nama yang indah menurut kami. Sama dengan kakakmu. Ini nama dari bahasa Arab. Meskipun mungkin sekali lagi belum benar tasyrifnya. Karena Ayah dan Ibu hanya comot dari buku nama-nama indah yang banyak dijual di toko buku. Doa dari nama itu adalah arti yang terkandung di dalamnya menurut versi kami. Abyan Naufal artinya ”Laki-laki tampan yang pandai menjelaskan ilmu dengan jelas dan gamblang”. Sedangkan Asyhar dinukil dari nama belakang saya. Sebagai tanda bahwa ia adalah anak saya sebagai buah cinta kami berdua istri terkasih.

Ya, tanggal 7 April 1996 kamu lahir dari perut Ibumu. Sehari setelah Ibu mengikuti sebuah ujian di Unsoed Purwokerto. Ditemani kakakmu yang baru berusia setahun yang di asuh oleh Yu Sri, kalian pergi ke Purwokerto mengendarai sebuah bis umum. Perjalanan dari Wonosobo adalah perjalanan yang melelahkan karena harus melintasi jalan yang berkelak-kelok, naik turun dan sebagaimana layaknya kendaraan umum, seringakali berhenti mendadak. Ayah saat itu tidak mengantar kalian, karena Ayah masih dalam perjalanan pulang dari Surabaya setelah melepas kepergian Mbah Kakung dan Mbah Putri menunaikan ibadah haji.

Alhamdulillah, Ayah datang tepat waktu. Kamu lahir, seperti kakakmu dulu. Kamu lahir dengan Ayah sudah berada di sisi Ibumu. Membantu menyemangati Ibumu dengan doa dan genggaman tangan erat pada tangan ibumu agar Ibumu kuat hati dan tenaga dalam melahirkanmu ke dunia ini. Maka kamu lahir sesaat setelah adzan isya’ dikumandangkan.

Dan.... kini kamu telah berusia 12 tahun. Usia remaja telah kau masuki. Transisi menuju ke kedewasaan. Siap-siaplah dengan tugas dan tanggungjawab baru. Tanggungjawab di depan ayah dan ibu, guru, tetangga, masyarakat dan utamanya tanggungjawab di hadapan Allah. Di dalamnya ada tugas dan kewajiban. Juga hak-hak yang akan kamu peroleh setelah melaksanakan tugas dan kewajiban-kewajiban itu.

Karena itu, untuk menyongsong tugas dan kewajiban dan menjemput hak-hak itu, Ayah dan Ibu menyekolahkanmu di sekolah yang mungkin awalnya sangat melelahkan. Penuh pengorbanan untuk menjalaninya. Tapi belakangan menjelang akhir studimu, Ayah dan Ibu melihat kamu dan kakakmu Ahsana sangat menikmatinya. SD kamu sekolah di Bekasi, kurang lebih 20 km dari rumah. Untuk menemani kakakmu, Ayah dan Ibu memindahkanmu ke sana dari sebuah sekolah di Cikarang. Meskipun, akhirnya justru kamu yang ditemani oleh kakakmu. Kakakmu lah yang membimbing kamu, melindungi kamu, dan menambal kekurangpedeanmu di sana-sini. Tapi prestasimu yang konsisten dalam 5 besar menyenangkan hati Ayah dan Ibu. Meskipun saat wisuda, namamu tidak dipanggil ke atas panggung.

Ayah ingat pada hari pertama kamu pindah ke sekolah ini, kamu menangis tidak mau masuk kelas. Bu Nyimas, gurumu merayumu masuk kelas. Juga temanmu, Assyam mengajakmu masuk kelas. Kamu masuk kelas. Tapi tak lama, kamu keluar menangis dan akhirnya tertidur pulas di sebuah sofa di ruang Pak Muhammad, sang kepala sekolah.

Pada tahun pertama di sekolah ini, yaitu di klas 2, kamu mendapatkan ranking 7. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya kamu pernah bilang targetmu ranking 3, karena kamu tahu siapa pesaing-pesaingmu. Dan benar, kamu mencapai target! Ayah senang kamu bisa membaca situasi. Bisa mengenal medan.

Perjalanan yang melelahkan, setiap hari berangkat jam 6.15 dan tiba dirumah jam 5 sore atau setengah enam, kamu dan kakakmu lakoni dari Senin sampai Jumat. Sedangkan Ayah saja berangkat ke kantor jam 7 pagi dan jam setengah enam sudah tiba di rumah karena kantor ayah cuma 10 km dari rumah.

Ada yang bilang, mestinya kita pindah ke Bekasi saja. ”Ayahnya dong yang ngalah, jauh dari kantor. Asal anaknya dekat dengan sekolah.” Tentu tak semudah itu. Karena itu ayah membeli mobil untuk kalian berdua. Coba hitung, berapa hari sepekan ayah memakai mobil ini. Paling Sabtu atau Ahad saja. Sedangkan kamu dan kakakmu, 5 hari sepekan. Memang mobil ini bukan untuk Ayah. Tapi untuk kalian. Syukur Alhamdulillah, ada teman-temanmu yang bisa iuran untuk menutup biaya operasional mobil ini sampai pada tahun ke enam engkau lulus menyelesaikan SD mu.

Ayah dan Ibu berdoa, semoga engkau menjadi anak yang sholeh dan cerdas, sebagaimana motto SD-mu itu.

Dan kini setelah perjalan asyik yang melelahkan itu selesaikah jihadmu? Jihad Ayah dan Ibumu? Belum, Nak. Ada etape kedua: Ayah dan Ibu menyekolahkanmu di sekolah yang lebih jauh lagi. Di Solo. Di sebuah pesantren yang insya Allah bagus bagi akidah dan pengusaanmu terhadap diinul Islam. Di sini kamu tidak perlu berangkat pagi-pagi dan pulang sore atau malam seperti dulu. Tidak perlu terjebak kemacetan jalan tol. Karena….. kamu menginap di sana…. Di pondok pesantren! Sekolah 24 jam. Kata ustadz kita Dr. Hidayat Nurwahid, pesantren adalah lembaga yang akan menciptakan manusia unggul karena 24 jam menggembleng santri-santrinya.

Lebih santai? Ya. Perjalanan dari asrama ke sekolah tidak sampai lima menit. Waktunya bisa kamu simpan untuk kegiatan belajar. Dari pagi sampai malam. Di kelas, di masjid, di lapangan bola, di kelas malam, di kantin, di tempat cucian, di tempat jemuran. Belajar, shalat, menghafal Quran, main basket, main bola atau sepak takraw, mengantri mandi, mengantri makan, mencuci baju seragam sendiri, menjemur dan mensetrikanya. Bahkan berobat sendiri jika kamu sakit.... Oh, ternyata tidak santai ya........ Tapi Ayah lihat ada benih-benih kemandirian yang ditanam sedikit demi sedikit dalam dirimu. Penanaman benih yang insya Allah akan tumbuh subur, karena kamu berada di tanah yang gembur dan subur pula. Yang sulit dilakukan jika kamu masih di rumah saja.

Kadang-kadang Ayah membaca kalimat gelisah dalam raut wajahmu. Dalam lelehan air matamu ada rasa kangen menjalani kehidupan bersama Ayah, Ibu dan adik-adikmu di rumah seperti dulu. Tapi kamu harus tegar, Nak..... Demikian juga dengan Ayah dan Ibu. Jangan dikira Ayah dan Ibu sudah memiliki ketegaran yang berlapis-lapis..... Sama, Nak. Ayah Ibu juga selalu menyemangati diri: ”Kamu harus tegar!” Berpisah dengan Anak bukan perkara mudah. Apalagi biayanya juga tidak sedikit. Di tengah krisis ekonomi ini, yang entah sudah berakhir atau belum.

Ini jihad! Jihadmu, jihad Ayah dan Ibu. Tidak ada jihad tanpa pengorbanan. Dan pasti Allah memberi kemudahan, kenikmatan, ketegaran di balik ’ketedakenakan’ yang kita rasakan ini.

Nanti engkau akan merasakan nikmatnya. Saat berjihad ataupun saat menikmati hasilnya.
Demikian juga Ayah dan Ibu. .... Pada saatnya nanti..... di dunia ini apalagi di akhirat nanti.

Allahu Akbar.....

Cikarang Baru, 7 April 2008

Sabtu, April 05, 2008

Gagal Karena Jujur

Tanggal 26 Maret 2008 saya pergi ke Solo dalam satu missi. Menjemput anak saya dari pesantrennya. Pasalnya, sebulan yang lalu saat saya menengok anak laki-laki saya di pesantrennya, dia minta pulang barang beberapa setelah mid test-nya selesai tanggal 27 Maret 2008 besok. Maka hari ini saya datang karena hendak minta izin untuk membawanya pulang barang 5-7 hari. Istirahat setelah mid test, dan melepas rindu setelah 5 bulan berpisah.

Dalam perjalanan saya menganggap ini misi yang mudah. Saya akan datang kepada seorang ustadz, lalu meminta izin mengajak anak saya pulang. Dengan alasan apa adanya, tidak dibuat-buat dan mengada-ada. Dan saya menganggap saya tidak akan menghadapi hambatan apa-apa. Karena alasan yang saya sampaikan manusiawi dan mudah dimaklumi.

Maka Kamis pagi 27 Maret 2008 saya tiba di Solo. Tanpa strategi khusus, apalagi merekayasa alasan agar tujuan saya terlaksana. Pagi itu anak saya akan menjalani hari terakhir mid test. Saya menghabiskan waktu di Masjid dengan membaca buku dan tilawah al Quran. Sampai ba’da dhuhur seorang Ustadz naik ke mimbar dan mengatakan bahwa tidak ada izin pulang, kecuali sakit dan membutuhkan perawatan di luar, sayapun masih menganggapnya ini masalah yang remeh temeh. Dulu setelah ulangan semester juga demikian. Tertulis di pintu ruang Kesantrian dengan huruf kapital ”TIDAK ADA IZIN PULANG KAMPUNG”, toh ternyata menurut cerita anak saya dari 19 teman sekamarnya tinggal 8 orang yang tidak pulang, termasuk anak saya. Ketika saya tanya, ”Lho, kok bisa? Apa alasannya pulang?” jawab anak saya, kebanyakan menggunakan alasan sakit setelah datang ke UKP (Unit Kesehatan Pondok). Jadi para santri ngaku sakit agar bisa dapat izin pulang.

Saya katakan kepada anak saya, ”Nak, sehat itu mahal. Ini nikmat Allah. Jangan menukar nikmat sehat ini dengan berpura-pura sakit demi mendapatkan izin pulang kampung.” Kalau nikmat sehat itu dicabut oleh Allah, pasti kita akan menyesal.

Maka setelah mendengar pengumuman itu saya tenang-tenang saja. Saya akan datang menghadapnya dengan alasan apa adanya. Dan kejujuran saya, insya Allah saya mendapatkan hasil yang baik.

Ternyata menemui sang Ustadz tidak mudah. Tampaknya sang Ustadz sengaja menyembunyikan diri karena sudah bisa menduga akan banyak orang-orang tua seperti saya yang merengek-rengek datang minta kebijaksanaan diizinkan membawa anaknya pulang. Maka hari itupun saya tidak meneruskan perburuan saya, ketika istri dan anaknya mengatakan dia sedang istirahat. Dan baru keesokan harinya ba’da shalat subuh saya berhasil menemuinya.

Saya menyampaikan alasan apa adanya. Dan ternyata saya gagal mendapatkan izin itu. Saya menyampaiakn alasan demi kepentingan saya dan anak saya. Sang Ustadz menyampaikan alasannya tidak memberi izin berdasar sudut pandangnya: tidak ada kepentingan bagi pesantren. Dan pesantren yakin larangan santri pulang demi kebaikan santri dan keberhasilan proses belajar di pesantren. Intinya: Tidak ada kompromi. Tidak ada jalan tengah. Dan yang ada saya harus mengalah. Karena kalau Ustadz mengatakan ’pokoknya tidak’, tidaklah mungkin saya menjawabnya ”pokoknya saya akan bawa anak saya”. Apalagi lalu saya bawa kabur anak saya. Hanya demi mendapatkan liburan 5-7 hari. Itu tidak mungkin.

Jadi akhirnya saya mengalah. Maka ketika saya menyampaikan masalah ini kepada anak saya. Tampak menggelayut kekecewaannya. Agaknya sejak kemarin dia optimis bahwa saya akan mendapatkan izin mengajaknya pulang. Ternyata tidak. Apalagi setelah saya mengatakan bahwa inilah yang terbaik dari Allah. Buah dari kejujuran, dengan alasan yang seadanya, dan ternyata gagal membawanya pulang. Mungkin susah dimengerti oleh anak saya. Teman-temannya yang tak jujur mengaku sakit padahal wajahnya segar bugar lolos mendapatkan izin pulang, sementara dia dan ayahnya yang jujur justru gagal mendapatkan izin. Di mana kebaikannya?

Allah Maha Tahu dan memberikan kebaikan bagi hamba Nya. Maka saya yakinkan anak saya bahwa Allah pasti memberi kebaikan dibalik kegagalan saya membawanya pulang kampung.

Tidak mungkin kejujuran yang kita junjung tinggi menyengsarakan kita. Sebaliknya ketidakjujuran ternyata berhasil mengantarkan kita mencapai tujuan, bukanlah itu berarti cara yang harus ditempuh. Karena hikmah itu adalah apa yang terjadi dibalik kejadian. Kegagalan dibalik kejujuran akan kita dapat hikmahnya nantinya. Demikian juga keberhasilan karena ketidakjujuran akan kita unduh akibatnya.

Allahumma arinal haqqa haqqa warzuqnat tiba’a. Wa arinal bathila bathila warzuqnat tinaaba.

Cikarang Baru, 5 April 2008