Minggu, Desember 30, 2007

Banjir Campursari


Mendengar berita tentang banjir di Solo, saya mencari berita tentang wilayah mana saja yang termena banjir. Karena anak saya sedang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Modern Islam As salaam, di Pabelan, Sukoharjo, Solo.

Alhamdulillah saya tidak menemukan berita yang tidak saya harapkan itu. Di situs http://www.assalaam.or.id/ pun tak ada beritanya sama sekali. Untuk menghibur diri saya menganggap anak saya aman di sana. Meskipun sebenarnya yang saya harapkan adalah tulisan bahwa di Pabelan aman-aman saja.

Selesai browsing, saya kembali ke inbox saya. Saya membaca posting dari seorang teman ukhti Titi Prawesti Hesti. Tulisan yang menyentakkan hati saya. Betapa musibah sering datang kepada kita setelah manusia berpesta pora melakukan perbuatan yang melalaikan Allah. Bukan hanya itu, mereka bahkan menantang Allah. Dengan menahan turunnya hujan. Seakan tidak menyadari bahwa balasan Allah tak mungkin lagi mereka mampu menahannya.

Berikut tulisan ukhti Hesti dengan harapannya agar menjadi ibroh –sekali lagi- kepada kita semua.

Saya membaca Koran Kompas (kamis, 27 Desember 07), Insya Allah bisa kita ambil hikmahnya.
*****************
Setelah Pesta Campursari, Karanganyar MenangisKARANGANYAR menangis. Setidaknya, 65 warga Karanganyar yang tinggal di kaki Gunung Lawu, tewas tertimbun longsoran tanah. Tragisnya, tangisan itu pecah ketika kabupaten yang terletak di sebelah timur Kota Surakarta (Solo) ini baru saja menggelar hajat akbar untuk memecahkan rekor MURI, yakni menggelar musik campursari nonstop selama 33 jam, 33 menit dan 33 detik yang berlangsung sejak Minggu siang (23/12) hingga Senin malam (24/12).
......
Hujan HilangSejak 19 Desember lalu, hujan selalu mengguyur daerah yang terkenal sebagai sentral tanaman anthurium itu. Hingga tanggal 22 Desember, Kabupaten yang berada di lereng Gunung Lawu itu masih dilanda hujan deras yang mengguyur dalam waktu pendek namun berulangkali.
Namun sejak acara campursari nonstop digelar pada hari Minggu tanggal 23 Desember, mendung yang menggelayut sejak beberapa hari tiba-tiba hilang. Sinar matahari menjadi terik. Dan bila mendung mulai menumpuk lagi, tak berapa lama kumpulan awan hujan tersebut sirna. Pagelaran campursari nonstop pun berlangsung meriah. Panggung luas dan rumah tenda yang disediakan panitia, sama sekali tidak tersentuh air hujan.
.......
Tumpah Dari LangitNamun sejak pesta ditutup, Selasa sore sekitar pukul 17.00 WIB, air hujan sepertinya ditumpahkan dari langit di kawasan sekitar Karanganyar, Surakarta, Sukoharjo, Klaten dan Wonogiri.
Sungai Bengawan Solo yang terakhir kali membanjiri Kota Solo pada tahun 1965, Selasa malam (25/12) kembali mengamuk. Air yang tak mampu tertampung di Bengawan Solo, menerjang ratusan rumah penduduk di kawasan Jebres, Serengan, Sangkrah, Semanggi, Joyotakan. Bahkan, air mencapai tiga meter di kampung Joyotakan.
......
********************
Seakan kita diingatkan oleh Allah SWT dengan beberapa firmannya, diantaranya :
”Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka gembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS.Al An'am:44).
Allah SWT seakan murka, rahmat yang berupa hujan seharusnya turun akan tetapi ditahan (biasanya pawang hujan menggunakan bantuan jin) hanya untuk perbuatan senang-senang yang menjauhkan diri dari ingat pada Allah SWT.
Semoga bagi saudara-saudara kita yang tertimpa musibah Allah SWT memberikan kekuatan, ketabahan, kesabaran dan semoga Allah memberikan yang lebih baik dari sebelum tertimpa musibah.
Bagi saudara-saudara kita yang meninggal dunia semoga Allah SWT memberikan tempat yang mulya disisi-Nya.
Dan semoga bencana ini memberikan hikmah pada kita semua untuk semakin mendekat kapada-Nya.
Maaf, bila ada tulisan yang kurang berkenan.
Jazakumullahu khoiro.
Wassalam

Senin, Desember 24, 2007

Memaknai Idhul Qurban


Seperti tahun-tahun lalu saya dan teman-teman ‘aktifis’ masjid di perumahan kami menggelar acara tahunan, yaitu Idul Adha. Dimana salah satu acaranya adalah melaksanakan pemotongan hewan kurban. Meski turun dibanding tahun lalu, kami memotong 5 ekor sapi dan 41 ekor kambing. Lalu dagingnya yang dikemas dalam 1200 kantong plastic itu didistribusikan ke delapan desa yang ada di Kecamatan Cikarang Timur.

Pekerjaan yang melelahkan, tapi menjadi ringan karena dikerjakan bersama-sama oleh panitia dan aktifis masjid di perumahan kami.

Membelanjakan uang untuk membeli hewan kurban adalah salah satu wujud melaksanakan sunnah Nabi Ibrahim a.s. Dan meskipun harga kambing kurang dari satu juta, tidak semua orang kaya melaksanakannya. Karena ini butuh jiwa pengorbanan dan kemauan yang kuat.

Bekerja dari mengadakan, memotong, menguliti, mencacah, mengemas dan mendistribusikan daging kurban juga adalah salah satu wujud pengorbanan. Di saat orang-orang berlibur panjang akhir tahun, para aktifis ini terus berkerja demi berbagi dengan kaum fakir miskin dan duafa. Dari jam setengah delapan sampai jam dua siang. Belum dihitung rapat-rapat yang dilaksanakan sepekan sekali sejak satu bulan yang lalu.

Tapi, pengorbanan ini meskipun berat bagi sebagian orang karena itu menjadi prestasi tersendiri, belumlah apa-apa dibandingkan dengan pengorbanan Bapak Para Nabi, yaitu Ibrahim khalilullah a.s.

Sepanjang hidup Ibrahim adalah pengorbanan itu sendiri.

Ketika muda, ditengah keluarga dan masyarakat penyembah berhala, Ibrahim berani mengorbankan dirinya demi menegakkan kebenaran yang diyakininya. Perang melawan kemusyrikan.

Meskipun belum mengenal Allah, Ibrahim meyakini kesalahan kebanyakan orang yang menjadikan berhala sebagai Tuhan. Berhala yang tidak bisa berkata-kata, tak bisa mengurus dirinya sendiri apalagi mengurus manusia penyembahnya, bagi Ibrahim tak masuk akal untuk disembah. Maka dia menghancurkan berhala-berhala itu kecuali yang terbesar dengan menggantungkan kapak di lehernya. Agar para penyembah berhala dengan logika ‘ketuhanan’nya akan menyangka bahwa berhala terbesarlah yang menghancurkan berhala-berhala kecil itu. Rupanya para penyembah berhala justru menggunakan logika nurani hatinya, bahwa berhala besar itu tak mungkin mampu menghancurkan berhala-berhala kecil, karena ia hanya sekedar batu yang dipahat. Maka karena mereka telah mengenal siapa Ibrahim sebelumnya. Yaitu sebagai penentang ideology berhala, maka mereka menangkap Ibrahim dan membakarnya.

Pengorbanan pertama dijalankan. Tapi Al Haq membelanya, dan mengganti panas api neraka menjadi dingin yang menyejukkan. Ya naaru kuni bardau wa salaama ’alaa Ibrahiim. Ibrahimpun selamat. Sebagai buah daripada kehanifannya.

Pengorbanan kedua adalah deklarasi ketuhanannya. Perjalanan mencari Tuhan, tidak menjerumuskan Ibrahim dalam kemusyrikan. Ketika bintang, bulan dan matahari sempat memikat hatinya sehingga hampir-hampir saja membuatnya menuhankan benda-benda langit itu, akalnya menidakkannya ketika bintang, bulan dan matahari itu bisa tenggelam dalam pergiliran siang dan malam. Karena logika Ibrahim mengajarkan Tuhan tak mungkin tenggelam. Tuhan itu tidak tidur, tidak istirahat, tidak lengah, tapi selalu hadir, selalu memberi cahaya hidayah, selalu mengawasi makhluknya. Maka kesulitannya menemukan Tuhan membuat dia pasrah kepada Tuhan, siapapun dia, dengan mengatakan Inna sholati, wa nusuki wa mahyaya, wa mamati, lillahi rabbil ’alamin. La syarikalahu wa bidza umirtu, wa ana awwalul muslimin. Sungguh, sholatku, ibadahku, hidup dan matiku, bagi tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu baginya dan kepadanya segala urusan, dan aku termasuk orang yang pertama-tama berserah diri.

Ibrahim mengorbankan dirinya, hidup dan matinya demi Allah semata. Dia pasrah kepada-Nya. Logika hatinya mengantarnya kepada kepasrahan kepada Allah, tuhan yang sebenarnya. Karena itu dia disebut sebagai hanifan muslima. Lurus.

Pengorbanan yang ketiga adalah ketika dia harus melaksanakan perintah Allah. Yaitu meninggalkan istrinya Ibunda Hajar dan anak bayi mereka Ismail, ditanah Bakkah yang kering tandus, tiada air tiada pepohonan di dekat Baitullah Ka’bah. Perintah Allah lebih penting daripada kecintaan kepada keluarga. Karena beliau yakin melaksanakan perintah Allah akan menarik kecintaan-Nya kepadanya. Dan cinta Allah akan mengalir kepada keluarganya. Terbukti, dalam kesendirian, ditinggal Ibrahim memenuhi perintah Allah, Hajar mendapatkan kasih sayang Allah. Setelah bekerja keras, Shofa-Marwa bolak-balik tujuh kali berlari-lari kecil mencari air untuk si bayi Ismail, akhirnya Allah memancarkan air zam-zam dari jejakan-jejakan kaki kecil Ismail a.s.

Sekali lagi pengorbanannya membawa berkah yang melimpah. Bahkan sampai kini, setiap jemaah haji dann umroh dapat merasakan nikmat dan berkah air zam-zam itu. Air yang selalu mengalir tak habis-habisnya.

Pengorbanan keempat.
Adalah seorang Ismail, putra satu-satunya yang sangat dicintainya. Ketika sudah cukup umur untuk membantu pekerjaan Ibrahim a.s, lewat tiga kali mimpi, Ibrahim diperintah Allah untuk menyembelihnya.

Kalau dulu ketika muda Ibrahim dengan mudah memenggal kepala berhala-berhala batu. Karena mereka adalah benda mati dan sumber kemusyrikan. Tapi kini, memenggal manusia hidup dan itu adalah anaknya sendiri. Dan itu adalah anak satu-satunya. Dan itu adalah anak yang sangat didamba-dambakan kelahirannya. Dan itu adalah anak remaja yang kini siap membantunya memikul amanah da’wah. Logika Ibrahim pasti tak mampu mencerna apa maunya Allah ini. Maka Ibrahimpun menyampaikan mimpinya ini kepada Ismail, siapa tahu Ismail dapat memberikan sumbang saran dari masalah yang pelik ini. Rupanya Ismail pun tidak menggunakan logika nafsunya. Maka dia hanya mengatakan, jika ini perintah Allah laksanakan wahai Ayahku, engkau akan menyaksikan bahwa aku termasuk orang yang sabar.

Yang menyembelih dan yang disembelih sudah sepakat. Selesai? Ternyata belum. Setan berkali-kali berusaha menggagalkan rencana ini. Bagi orang yang suka memanjakan logika akan mudah percaya kepada syaitan, karena syaitan juga suka membolak-balikkan logika berfikir. Ibrahim, Ismail dan Hajarpun berusaha dicerahkan oleh syaitan agar menggagalkan rencana gila Ibrahim dan kepasrahan bodoh Ismail ditambah kepercayaan aneh Hajar. Maka ketaatan dan keimanan kepada Allah membulatkan tekat mereka. Syaitan yang berupaya menggagalkan niat suci inipun harus diperangi dengan lemparan batu bertubi-tubi. Tujuh kali di tiga tempat mereka mencoba menggagalkan perintah ini. Yang kini diabadikan dalam ibadah jumrah ’ula, wustha dan aqabah.

Ibrahimpun melaksanakan perintah Allah, tanpa sedikitpun tahu sebelumnya bahwa nantinya Ismail diganti dengan seekor gibas. Bayangkan apalah artinya 5 ekor sapi dan 41 ekor kambing dibandingkan dengan seorang anak kandung remaja gagah dan tampan yang siap membantu berjuang di jalan da’wah.

Bahkan pengorbanan yang akan dilakukan Ibrahim dan Ismail inipun harus dilakukan melalui berbagai rintangan berperang melawan syaitan yang kata Allah adalah musuh yang sebenar-benarnya.

Sedangkan kami yang tahun lalu bisa berkurban 6 ekor sapi dan 60 ekor kambing, kenapa tahun ini menurun menjadi 5 dan 41? Pasti banyak alasan sepele yang dilontarkan sebagai rintangan-rintangan hebat. Tanpa kita melakukan perlawanan berarti untuk melaluinya sebagaimana Ibrahim melawan rintangan syaitan dengan melemparinya karena tekat yang kuat semata untuk berkurban melaksanakan perintah Allah, padahal yang akan dikurbankan bukanlah sapi atau sekedar kambing. Tapi Isma’il alaihis salam.

Allahumma sholli ’ala Muhammad wa ali Muhammad kama shollaita ’ala Ibrahim wa ali Ibramim. Wa baarik ’ala Muhammad wa ali Muhammad kama barakta ’ala Ibrahim wa ali Ibrahim.

Cikarang Baru, Idhul Adha 1428 H

Sabtu, Desember 15, 2007

Berusaha Kering di Tempat Basah

Siang ini saya mendapatkan panggilan telepon istimewa. Saya sebut istimewa karena yang menelepon adalah seorang teman lama. Yang kedua, istimewa karena dia mau konsultasi. ... Wah.. wah.. saya dianggap konsultan!

Sebut saja namanya Pak Eka. Dia mengabarkan bahwa sekarang dia bekerja di bagian General Affairs, yang salah satunya adalah mengurusi pembelian tiket para bos expat yang mau bepergian. Baik keluar negeri maupun di dalam negeri. Ceritanya dia baru saja ditelpon oleh perusahaan travel.

Travel : ”Pak Eka, kapan poinnya diambil?”
Pak Eka: ”Poin apa?”
Travel : ”Setiap pembelian tiket, Bapak mendapat poin.” Besaran pin berbeda-beda tergantung tujuan dan maskapai penerbangan yang dipakai.
Travel : ”Poin bisa diuangkan, Pak.”
Pak Eka bengong, karena nggak nyangka ada yang beginian.
Travel : “Ini biasa, Pak.”

Pak Eka mengatakan kepada saya, bahwa dia tahu persis bahwa ini bukan haknya. Karena yang beli tiket bukan dia. Tapi perusahaan. Dia Cuma pegawai yang membelikan tiket saja. Alhamdulillah, memang Pak Eka sudah sering ngaji, sehingga tahu benar bahwa yang demikian tidak boleh diambil. Apalagi untuk kepentingan pribadi. Bahwa ini adalah bahasa lain dari komisi. Atau discount yang pasti perusahaannya lebih berhak.

Terus? Apa masalahnya?
Pak Eka melanjutkan. Beberapa kali dia minta manajemen untuk membelikan karpet untuk musholla perusahaan. Tapi selalu ditolak, karena alasannya tidak ada hubungan dengan bisnis. Biasa.... perusahaan asing non muslim!

Nah, sekarang terpikir olehnya, yang kemudian ditanyakan kepada saya. Bolehkan poin dari perusahaan travel ini ditukar uang lalu dibelikan karpet untuk perusahaan?

Saya yang tiba-tiba dijadikan konsultan, bengong. Apalagi ini masalah agama yang fatwanya harus dipertanggungjawabkan tidak hanya di dunia ini saja. Saya katakan, jika ini poin untuk perusahaan, maka seharusnya kembalinya ke perusahaan. Musolla adalah aset perusahaan. Jadi boleh saja dibelikan karpet untuk Musholla perusahaan.

Tapi, biar aman yaitu agar Pak Eka, tidak terganggu imannya dengan uang yang ada di tangan, saya katakan, ”Minta aja kepada perusahaan travel agar anggaran untuk poin itu oleh travel dibelikan karpet. Jadi karpet itu menjadi sumbangan perusaan travel kepada Musholla perusahaan.” Dengan demikian, status karpet itu adalah hibah perusahaan travel kepada Mushola perusahaan.

Sami mawon? Entahlah. Saya juga pusing, karena saya bukan ahli fikih.
Bisnis sekarang memang sedemikian rumitnya. Banyak cara yang dipakai untuk mengikat customer. Tetapi yang dilakukan seringkali adalah memberikan advantage kepada pegawai kuncinya. Bukan kepada corporate itu sendiri.

Vendor tahu persis, bahwa corporate tidak punya hati dan nafsu. Yang punya hati dan nafsu adalah pegawainya. Maka yang perlu diikat adalah pegawainya. Dengan iming-iming komisi, discount, poin dsb.

Maka, kata Pak Eka, masalah poin ini tidak pernah ada pemberitahuan resmi B to B. Sehingga corporate tidak tahu. Karena bagi sebagian vendor lebih efectiv mempengaruhi man behind the gun dari pada the gun nya itu sendiri.

Maka, komisi dengan berbagai namanya sedemikian deras mengguyur para pegawai yang duduk di tempat seperti ini. Makanya tempat ini di sebut tempat yang basah. Pak Eka, tahu bagaimana panas dingin akan menghinggapi jiwa raganya jika dia membiarkan dirinya terguyur hujan komisi terus menerus. Maka dia berupaya keras agar bisa tetap kering di tempat basah.

Tentu sangat aneh dan ditertawakan orang jika di kolam renang kita menggunakan jas hujan yang menutup sekujur tubuh agar tidak basah kuyup.

Maka kalau tidak tahan diketawain orang ya tinggalkan saja kolam renang itu.
Demikian juga Pak Eka. Katanya, ”saya mau melamar pekerjaan lain aja, deh.” Tapi kali ini bukan karena takut masuk angin di tempat basah, tapi karena ”Presdir pelit banget. Masak untuk Musholla perusahaan saja gak mau beliin karpet.” Gara-gara itu dia harus mendapatkannya dengan cara tukar poin seperti yang saya sarankan.

Wah, pusing aku........ Ada saran?

Cikarang Baru, 15 Desember 2007

Sabtu, Desember 08, 2007

Niat Saja Tak Cukup

Hari ini, 8 Desember 2007, beberapa teman di kompleks perumahan kami termasuk Pak Afrizal, Pak Syawal dan istri, Pak Jefri dan istri, berangkat menuju asrama haji. Saya terbayang pasti mereka punya perencanaan sekecil apapun beberapa tahun yang lalu untuk menjadikan niatnya berangkat haji, insya Allah, terwujud hari ini.
Karena niat saja tidak cukup!
Berikut ini tulisan untuk menyemangati teman-teman yang ingin berhaji tapi belum dibarengi tindakan nyata untuk mewujudkannya.


Niat Saja Tidak Cukup

Ternyata niat saja tidak cukup। Harus ada ikhtiar. Usaha. Usaha apa yang bisa dilakukan oleh buruh seperti saya dan guru seperti istri saya? Menabung saja. Menyisihkan uang gaji untuk ditabung. Dan ternyata ini juga yang dilakukan oleh petani, pemulung, atau pedagang kecil di kampung saya.

Teringat oleh saya cerita Nenek Allahuyarham. Bahwa ada teman jamaah haji yang berangkat bersama Nenek dan Kakek tahun 70-an, yang ternyata adalah seorang pemungut puntung rokok. Ada pengusaha biting, yaitu lidi yang dipakai untuk memincuk daun sebagai pengganti piring para penjual bubur. Mereka menabung uang sedikit demi sedikit dalam kaleng susu. Sehingga terkumpul berpuluh-puluh atau beratus-ratus kaleng. Entah berapa puluh tahun sampai terkumpul uang ongkos naik haji.
Ada juga yang menabung uangnya ke tiang-tiang bamboo di rumahnya. Suatu usaha yang keras untuk merealisasikan sebuah niat.

Tapi apa yang sudah kami lakukan?
Belum ada. Hanya niat saja.

Maka merenungi hal ini, tahun 90-an saya mendatangi sebuah bank yang membuka produk baru saat itu, yaitu tabungan haji. Saya tertarik dengan iklannya yang terpampang di spanduk, yang kurang lebih bunyinya: “Kami akan wujudnya niat suci Anda.” Wow, niat saya pasti terwujud dengan membuka tabungan haji. Hebat.
Maka saya masuk ke Bank tersebut menemui customer service-nya untuk mengetahui bagaimana niat saya bisa terwujud. Di kepala saya yang terbayang adalah jalan pintas untuk mewujudkan niat saya. Dan Bank membantu saya melalui jalur cepat itu.
Ternyata jawabannya adalah, Anda cukup menabung sejumlah tertentu dan tidak boleh diambil sampai terkumpul senilai biaya perjalanan ibadah haji, yang waktu itu disebut ONH (ongkis naik haji). Semakin banyak uang yang ditabung setiap bulan semakin cepat niat Anda terwujud.
“Lha?” itu mah bisa saya lakukan di jenis tabungan apa saja. Termasuk juga nabung di rumah. Asal jangan diambil pasti terkumpul. Asal nabungnya banyak pasti cepat tercapai cita-cita saya. Saya merasa kenapa harus buka rekening baru, kalau saya sudah punya rekening tabungan lain di bank. Yang penting niatnya. Maka sayapun keluar dari bank, tidak jadi membuka rekening tabungan haji.
Sampai suatu hari di tahun 1998 atau 1999-an saya dikejutkan oleh telepon seorang teman yang dulu pernah sekantor. Saya terkejut sekaligus terharu dengan kabar yang dibawanya. Bahwa dia dan istri akan berangkat haji tahun ini. Subhanallah. Dengan gembira saya menyambutnya dan mendo’akan dengan tulus agar semua berjalan lancar; dan dia beserta istri menjadi haji mabrur. Lalu kami bertanya bagaimana dia bisa dapat rejeki nomplok ini? Ternyata jawabnya adalah dengan tabungan haji yang telah dibukanya beberapa tahun yang lalu.
Maya Allah. Saya terhenyak! Kalau saya dulu tahun 1990-an jadi membuka tabungan haji, mungkin sekarang saya juga akan terbang ke tanah suci. Sedangkan sekarang, tabungan yang saya punya karena bebas di tarik setor di mana saja tak kunjung terkumpul untuk ongkos naik haji.
Ternyata niat saja tidak cukup. Harus disertai dengan perencanaan yang matang dan komitmen untuk mencapainya. Salah satunya dengan menabung rutin dan tidak menariknya sampai terkumpul senilai biaya naik haji. Terbayang teman Nenek Allahuyarham. Kalau dia tarik setor seenaknya ke dalam tiang bamboo rumahnya berapa kali dia harus ganti tiang bambunya, sementara itu tak kunjung terkumpul uang ongkos naik hajinya.

Selasa, Desember 04, 2007

Di Atap Bis Antara Mina-Makkah


Sejak berangkat dari tanah air saya dan istri berketetapan hati untuk melaksanakan haji sebagaimana tata cara ibadah (manasik) haji yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. Salah satunya adalah menuju Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah, sementara rombongan KBIH kami langsung menuju Arafah.

Tetapi ternyata tidak mudah. Untuk jamaah Indonesia, Pemerintah Arab Saudi hanya menyediakan bis sesuai dengan route yang diminta oleh Depag RI. Dalam hal ini bis yang disiapkan adalah langsung menuju Arafah. Demikian penjelasan petugas haji pemerintah SA yang masih keturunan Indonesia dan beristri gadis Surabaya itu. Meskipun demikian karena kami berenam (tiga pasangan suami istri), petugas berjanji menyediakan satu mobil untuk mengantar kami ke Mina. Syukurlah.

Dengan perkiraan matang, kami berpamitan kepada pimpinan KBIH. Pimpinan mewanti-wanti jangan sampai mengejar sunnah mabit di Mina pada hari tarwiyyah tapi gagal wuquf di Arafah. Kami optimis. Bismillah. Maka kami berihrom setelah dhuha. Targetnya bisa shalat qasar Dhuhur, Asar , Magrib dan Isya’ juga di Mina tanpa jama’. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah.

Tapi sampai ba’da dzuhur kami masih di Makkah. Mobil yang dijanjikan tak kunjung tiba. Maka kami melaksanakan sholat jama qasar Dzuhur dan Asar di Makkah. Lalu berangkat ke Mina menggunakan mobil omprengan yang banyak beroperasi di SA. Sebuah mobil minibus, yang tak begitu bagus lagi. Tapi taripnya 20 riyal perorang! Tarip yang fantastis mahalnya untuk jarak Makah-Mina yang hanya 10 km yang biasanya hanya 3 riyal.

Alhamdulillah, menjelang sore hari kami tiba di Mina. Hanya berbekal semangat, kami minta sopir menghentikan mobilnya. Lalu kami turun di atas sebuah jembatan. Di mana kami bisa melihat banyak tenda berbendera Merah Putih di bawah sana. Maka kesanalah tujuan kami. Sambil menyeret trolley kami masing-masing, kami mengikuti jalan menurun menuju tenda-tenda itu. Ternyata setelah kesulitan ada kemudahan. Dan kemudahan yang kami jumpai adalah ternyata kami turun mobil di tempat yang tepat! Karena di bawah sana ada tenda-tenda maktab kami. Bahkan tenda untuk rombongan KBIH kami pun kami temukan dengan mudah. Lalu kami menggelar sajadah kami. Bersiap melaksanakan shalat Magrib yang sebentar lagi masuk.

Demikian sampai keesokan harinya ba’da dhuha kami berencana berangkat menuju Arafah. Karena wuquf di Arafah dimulai dengan shalat dzuhur dan ashar yang di jama’ ta’dim dan qasar. Alhamdulillah sekali lagi Allah memberi kemudahan. Ternyata pemerintah SA telah menyiapkan bis yang terus bergerak menyisir jamaah yang masih berada di Mina menuju Arafah. Dan kami berenam masuk ke dalam bis jamaah dari Bandung, yang juga melaksanakan mabit di Mina sejak tanggal 8 kemarin. Wal hasil jam 9.00 kami sudah masuk Arafah. Dan sopir berbaik hati mengantarkan kami ke perkemahan maktab kami. Subhanallah. Allah memberikan banyak kemudahan dalam kami.

Tekat kami terus tak pupus untuk mengikuti napak tilas perjalanan Nabi Ibrahim dan Nabi Muhammad SAW. Kami bertekad segera meninggalkan Mina setelah melaksanakan jumrah Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah untuk melaksanakan thawaf ifadah. Dan hari itu juga harus kembali ke Mina sampai tanggal 13 nanti.

Dan rombongan kami bertambah 1 pasang suami istri. Kini kami ber delapan. Sekali lagi kami pamit kepada pimpinan KBIH kami.

Sayang, pada hari pertama di Mina, bayangan kesemrawutan di jamarat membuat kami takut untuk berangkat sendiri. Maka pada jumrah aqabah ini kami tidak bisa melaksanakan pada waktu afdhal. Karena kami takut berpisah dari rombongan. Maka kami mengikuti jadwal yang sudah ditetapkan, yaitu melempar jumrah menjelang sore. Tentu saja akibatnya kami tidak bisa berangkat ke Makkah hari itu juga. Maka kami merencanakan ke Makkah esok harinya. Sebelum melempar jumrah ba’da dzuhur.

Ketika kami tiba di jalan besar di Mina, banyak bis menawarkan jasanya mengantar jamaah haji yang hendak melaksanakan tawaf ifadhah. Jadi kendaraan tidak ada masalah. Yang jadi masalah adalah ongkosnya. Berkisar antara 10 – 20 riyal perorang. Tarip dibedakan berdasarkan kenyamanan tempat duduknya. Kalau duduk di dalam bis bisa 15-20 riyal. Kalau mau murah yaitu 10 riyal, boleh duduk di atap bis, yang biasanya tempat menaruh bagasi.

Untuk mengirit biaya dan menambah pengalaman berhaji yang tidak serba enak, para suami ingin memilih duduk di atap. Tapi bagaimana dengan para istri? Di luar dugaan ternyata mereka menerima dengan antusias. Maka tidak berapa lami kami sudah meluncur ke Makkah di atas atap bis. Menyusuri sepanjang jalan, kami bisa menikmati pemandangan tanah SA yang gersang, gunung-gunung yang penuh dengan bebatuan, lalu pertokoan yang penuh dengan papan reklame produk jepang dan korea yang ditulis dengan huruf Arab. Bahkan sesekali kami harus menundukkan kepala, karena bis harus menembus terowongan yang membelah gunung. (meskipun tanpa menunduk kepala kami tak akan terantuk, karena terowongannya cukup tinggi).

Beruntung bis berjalan lambat, karena lalu lintas memang agak padat. Jadi ketakutan saya agak terhibur dengan pemandangan yang indah tadi. Dan syukur alhamdulillah saya dan istri yang suka mudah masuk angin tidak mengalaminya.

Sekitar jam 10 pagi kami telah tiba di Makkah. Karena banyak jalanan ditutup, bis berhenti sekitar 500 meter dari area Masjidil Haram. Kami berjalan kaki ke Masjidil Haram dan segera melaksanakan thawaf ifadah dilanjutkan dengan sa’i. Lalu duduk menunggu waktu dzuhur.

Ada kejadian aneh ketika kami selesai melaksanakan sa’i. Banyak sampah plastik dan debu-debu beterbangan di area mas’a. Sampai setinggi 3-4 meter. Ternyata kemudian kami ketahui dalam perjalanan pulang ke Mina. Ternyata angin kencang itu adalah pertanda akan turun hujan lebat yang kemudian menjadi banjir di Makkah dan Mina. (cerita tentang ini akan saya tulis nanti).