Sabtu, Maret 22, 2008

Saling Memaafkan: Kunci Perdamaian

“Mohon maaf jika ada kata yang tak berkenan”
“Mohon maaf dan harap maklum”
“Mohon maaf apabila dari tulisan saya ada yang tersinggung.”

Demikian sebagian contoh kalimat penutup dalam beberapa posting atau tulisan di beberapa kesempatan. Baik tulisan yang berisi nasihat, maupun tulisan yang berisi respon terhadap tulisan sebelumnya. Baik permintaan maaf karena sikap tawaddu, basa-basi, maupun karena memang benar-benar merasa bersalah.

Ketika mengakhiri sambutannya sering kita dengar seorang pejabat menyampaikan permintaan maafnya jika ada kesalahan dalam bertutur kata. Demikian juga, bahkan seorang Ustadz, yang memberikan ilmu dan nasihatnya kepada kita, juga mengakhirinya dengan permintaan maaf. Saya melihat ini adalah suatu kebiasaan baik, bahwa setiap berpisah kita meminta maaf atas kesalahan yang timbul baik yang kita sengaja maupun tidak sengaja.

Ketika saya bekerja di perusahaan Jepang, betapapun mereka terkenal santun dalam bertutur kata dengan lawan bicaranya. Ketika menyampaikan kesan-kesannya saat mau pulang kembali ke Jepang, biasanya diakhiri dengan ucapan terima kasih atas kerjasama para bawahannya dan koleganya selama ini. Dan harapan agar kerjasama itu tetap diberikan kepada penggantinya. Itu saja. Tak ada pernyataan permintaan maaf dari mulutnya, meskipun selama 2-4 tahun menjadi atasan, pasti banyak kata-kata atau perintah yang disampaikan secara kasar kepada bawahannya. Atau ada keputusan-keputusannya yang menyakitkan beberapa orang. Tapi tidak ada permintaan maaf itu. Karena mereka yakin keputusan-keputusannya, perintah-perintahnya, penugasan-penugasannya itu semua adalah dalam kapasitas profesionalisme.

Demikian juga ketika saya membaca surat pamitan pejabat-pejabat bule. Isinya adalah, kesannya bekerja dan berinteraksi yang menyenangkan dalam kerja tim yang solid. Juga ucapan terima kasih atas dukungan positif dari berbagai pihak. Permohonan dukungan bagi penggantinya. Dan harapan dan doa kesuksesan di masa yang akan datang. Titik. Tidak ada permintaan maaf.

Berbeda dengan budaya kita. Sejak di lingkungan rumah, kita mengajarkan kepada anak-anak kita agar mereka segera minta maaf jika bersalah. Maka dalam budaya kita wajar jika permintaan maaf bertebaran di mana-mana. Dalam berbagai interaksi. Melaui surat, media elektronik, ceramah agama dan sebagainya. Baik karena suatu kesalahan yang spesifik, maupun yang tidak jelas. Maka kalimat ini sering kita temukan di berbagai kesempatan: ”Mohon dimaafkan atas segala kesalahan baik yang disengaja maupun yang tak disengaja.” Dan peminta maafpun tak tahu kesalahan mana yang disengaja dan mana yang tak disengaja. Akhirnya permintaan maaf mudah disampaikan, meskipun tidak berarti kesalahan jadi mudah dilakukan.

Saya senang dengan budaya ini. Karena ajaran agama saya juga mengajarkan agar tidak terjadi hutang kesalahan dengan sesama, maka semuanya harus segera diselesaikan. Kalau tidak, akibatnya akan kita rasakan di pengadilan akhirat. Tetapi sayang saya jarang menemukan atau mendengar jawaban atas permintaan maaf yang disampaikan itu. Misalnya, ”Ya, saya maafkan kesalahanmu.” Apakah karena permintaan maaf sudah jadi basa-basi, sehingga yang dimintai maafpun tidak menjawab sepatah katapun. Berbeda dengan kejadian di rumah kita. Ketika anak-anak meminta maaf atas kesalahannya, sering kita spontan dengan tulus ikhlas menjawab ”Ya, Ayah maafkan. Jangan diulangi, ya...” Maka selesailah kasus itu.

Penasaran dengan maaf-memaafkan ini, maka saya cari di Digital Qur’an ver 3.2. Saya mendapatkan jawaban: 35 ayat yang mengandung kata maaf ini. Dan yang menarik dari ke-35 ayat ini, hanya 4 ayat yang berisi permintaan maaf kepada Allah. Sisanya yang 31 ayat tentang memaafkan yang terdiri dari 15 ayat berisi pemberian maaf dari Allah atas kesalahan hamba-Nya, dan sisanya 16 ayat berisi perintah Allah agar kita memaafkan orang lain atau sifat pemaaf sebagai ciri dari orang-orang yang bertakwa. Bahkan tanpa diminta pun!

Mari kita buka salah satu ayat, misalnya QS Ali Imran : 134

الذين ينفقون في السراء والضراء والكاظمين الغيظ والعافين عن الناس والله يحب المحسنين
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Ayat di atas jika dihubungkann dengan ayat 133, menjelaskan kepada kita bahwa sifat pemaaf adalah salah satu ciri dari orang yang bertaqwa, yang mengharapkan ampunan dan surga Allah.

Maaf-memafkan biasanya berkaitan dengan sengketa atas suatu perkara. Maka sebelum maaf-memaafkan biasanya ada amarah. Orang yang bertaqwa dalam bersengketa mampu menahan amarahnya lalu memaafkan. Bahkan dalam surat Asy-Syu’ara : 37, orang-orang yang menjauhi dosa dan perbuatan keji mereka meredam kemarahannya justru dengan cara memaafkan.

والذين يجتنبون كبائر الإثم والفواحش وإذا ما غضبوا هم يغفرون

dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.

Maka semangat memberi lebih didahulukan dari pada menerima. Memberi dulu maka kita akan menerima. Pemberian maaf lebih mendekatkan kita kepada taqwa. Dalam berbagai ayat permintaan maaf lebih banyak ditujukan kepada Allah, sedang kepada sesama manusia kita diperintahkan lebih banyak memberi maaf. Saya memaknai, kita akan lebih mulia jika menjadi orang yang proaktif memaafkan kesalahan orang lain. Bahkan sebelum permintaan itu disampaikan. Dan ketika orang lain meminta maaf, segera kita meresponnya dengan perkataan yang baik dan memaafkannya secara ikhlas.

Perkataan yang baik dan santun bisa lebih mahal daripada sedekah yang diiringi dengan hal-hal yang menyakitkan. Maka tidak mengherankan ketika pujian disampaikan bercampur dengan sesuatu yang menyakitkan yang terjadi adalah kesalahpahaman. Demikian juga jika permohonan maaf disampaikan dengan cara yang justru membuka luka-luka perselisihan itu kembali, maka maaf-memaafkan tak akan menuju pada perdamaian.

Saya prihatin ketika membaca tulisan seseorang dalam upaya mengakhiri perselisihannya dengan temannya, dia menulis ”Sekali lagi mohon maaf. Saya tidak ada unsur melecehkan atau menyerang Bapak. Yang ada juga saya yg diserang dan dilecehkan... :P”

قول معروف ومغفرة خير من صدقة يتبعها أذى والله غني حليم

Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS. Al Baqarah : 263)

Memberi itu lebih baik dari pada meminta. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Memaafkan lebih baik daripada meminta maaf. Apalagi jika semuanya disampaikan dengan tulus ikhlas.

Wallahu’alam bis Shawab.

Tidak ada komentar: