Kamis, Maret 06, 2008

Filem Ayat-Ayat Cinta: Kekalahan idealisme Kang Abik

Novel Ayat-Ayat Cinta benar-benar fenomenal. Karya Kang Abik lulusan Al Azhar University, membacanya saya bisa menggambarkan siapa Kang Abik. Bagaimana kualitas keilmuannya tentang Islam. Tidak cuma ilmunya, tapi juga terbayang bagaimana penghayatannya terhadap Islam. Dari situ saya juga paham –insya Allah- bagaimana pengamalannya terhadap ajaran Islam. Karena itu, saya sangat bersyukur dengan terbitnya novel islami sehebat ini. Banyak pembaca penggemar novel, bahkan yang tadinya tidak suka baca novel pun, tercerahkan.

Maka wajar, jika banyak yang menyambut baik difilmkannya novel ini. Terbayang film islami dibanjiri oleh penonton di bioskop-bioskop Indonesia. Sebagian besar penonton adalah pembaca setia novel-novel Kang Abik. Dan mereka sudah bisa ditebak, bagaimana ruhiyah mereka sudah tercerahkan oleh keislaman atau pesan Islam yang disampaikan Kang Abik melalui novel-novelnya.

Idealisme Kang Abik tumplek blek dalam novel itu. Terbayang idealisme itu akan muncul di filemnya juga. Apalagi sebelumnya terdengar kabar Kang Abik akan mengawal proses pembuatan film itu. Mulai dari pemilihan Mesir sebagai lokasi utama shooting, pemilihan artis pemeran tokoh-tokohnya, dan mana detil yang perlu ditampilkan dalam film itu.

Saya belum menonton film itu. Tapi membaca beberapa resensinya di koran, dan resensi teman saya Hensyam di blognya http://hensyam.co.nr, maka saya memutuskan untuk tidak bakal menontonnya. Dan saya membayangkan Kang Abik akan berada dibarisan para penonton yang kecewa terhadap pemfileman novel Ayat-Ayat Cinta ini.

Membaca pengakuan Hanung di blognya http://hanungbramantyo.multiply.com menggambarkan betapa film ini adalah hasil pertarungan antara idealisme dan kapitalisme. Dan dari filmya, tampak siapa pemenangnya.

Kekecawaannya mudah-mudahan cukup bagi kita untuk tidak membelanjakan uang dan waktu kita sia-sia dengan membatalkan niat berbondong-bondong mendatangi gedung bioskop.
Agar lebih jelas mari kita simak resensi film teman saya ini yang dari judulnya Kecewa dengan Filem Ayat-ayat Cinta tergambar betapa kecewanya sang teman ini setelah nonton film ini. Sebagaimana yang dikatakan:
Ternyata, filem AAC tidaklah sehebat novelnya. Sangat disayangkan, kedahsyatan dan misi yang dikandung oleh Kang Habib (maksudnya Kang Abik) dalam novelnya hancur oleh kepentingan lain! Tulisan ini adalah sebagai bentuk kekecewaan saya terhadap hasil filem ini.
Novel aslinya, bolehlah dikatakan sebagai novel islami. Tapi menonton filem ini saya sungguh kecewa. Tak saya temukan kekuatan Islam dan idealisme seperti novelnya
.”

Kegagalan sutradara dengan berbagai alasan yang disampaikan oleh Hanung dalam blognya tergambar dalam film ini seperti kesaksian teman saya ”Separoh filem ini yang saya temukan adalah kegagapan, atau barangkali kegagalan sutradara dalam menterjemahkan tulisan ke bentuk visual. Sepertinya sutradara gagap dalam menerjemahkan isi novel ke dalam bentuk gambar. Potongan-potongan cerita yang tidak utuh dan ganjil. Seakan memaksakan jalan cerita seperti alur novel.

Pemilihan aktor dan artis sebagaimana diakui oleh Hanung di blognya dimana sempat terjadi tarik ulur dengan Kang Abik. Karena selera Kang Abik dengan selera pasar Hanung tidak klop, ternyatapun tampak dalam pandangan teman saya ini.
Pemilihan peran yang tidak pas, lucu melihat tokoh-tokoh yang diusung tidak mewakili figur novel. Wajah-wajah Mesir yang digantikan oleh wajah melayu. Visualisasi yang tidak berhasil mengangkat alam dan jiwa Mesir sungguh sangat disayangkan karena memang lokasi shooting tidak dilakukan di Mesir. Dalam pendahuluan novel Kang Habib, digambarkan Mesir yang panas luar biasa, betapa sulitnya Fahri menjalani masa-masa disana, kurang berhasil diangkat oleh filem ini.

Kalau membaca pengakuan Hanung, tampaknya idealisme dia semakin terkikis habis oleh kekurangan modal. Misalnya lokasi Mesir harus diganti dengan Manggarai dan Kota Lama Semarang. Lalu sebuah kota wisata di India. Selain itu idealisme menuangkan alur cerita, budaya Islami dan nuansa kehidupan Ikhwan Akhwat Al Azhar Cairo, bahkan penggantian Profesor tokoh pergerakan di penjara mesir dengan tokoh yang tak jelas menunjukkan terkikisnya idealisme novel oleh kemauan produser yang ingin ceritanya dibuat lebih ringan bak sinetron yang ringan, hedonis, dan ngepop demi menggaet 1 juta penonton. Kata Hanung ”Semua adegan itu diminta untuk dibuang atau dikurangi dan lebih mementingkan adegan romans seperti AADC ataupun Kuch Kuch Hotahai …”

Jadi sebenarnya bukan cuma kekurangan modal yang jadi masalah, tapi ketakutan kalau film ini tidak laku jika dibuat sama plek seperti novelnya.
Menurut teman saya itu ”Bisa kita bayangkan, filem ini jauh dari alam dan budaya Mesir, apalagi dari Islam.”

Dengan keinginan menampilkan adegan AADC dan KKH itulah maka wajar ketika teman saya menyaksikan adegan-adegan yang tak pantas dalam film yang katanya diambil dari sebuah novel islami tulisan Habiburahman El Sirazy ini.
Tapi yang paling mengecewakan dan mengkuatirkan saya adalah rusaknya akidah dan runtuhnya nilai-nilai Islam oleh filem ini. Hebatnya kekuatan gambar atau filem adalah secara halus membuat masyarakat menjadi permisif, dan lupa pada idealisme. Bayangan Fahri yang ahli agama dan menjaga akhlak, digambarkan suka berduaan dengan Maria. Padahal dalam Islam dilarang berduaan dengan yang bukan muhrim. Gambaran Aisha yang seorang akhwat, menundukkan pandangan dan sejuk dipandang, berganti dengan seorang wanita yang mau beradu-pandang dengan Fahri. Dan yang paling parah adalah betapa beraninya sutradara menggambarkan adegan perciuman, dan suasana malam pertama antara Fahri dan Aisha. Apa sih maksud yang ingin diangkat oleh adegan ini? Ingin menunjukkan malam pertama? ‘Kan tidak mesti dengan berciuman, cukup masuk kamar lalu matikan lampu, penonton akan mengerti kok…” Teman saya tampak sewot banget dengan film ini. Saya yakin ghiroh Islamnyalah yang mendorongnya menulis hal ini.

Selanjutnya ”... seorang ikhwan dan akhwat itu lugu, tidak berani beradu pandang. Tapi dalam filem ini, kesan yang kita tangkap, betapa tingginya jam terbang antara Fahri dan Aisha dalam hubungan dengan lawan jenis. Dimulai dengan adu pandang, lalu tahu-tahu mereka berdua sudah nyosor berciuman dan langsung rebahan."

Yang mengganjal di kepala kita? Kemana aja Kang Abik sehingga bisa kecolongan sekian banyak? Kita lihat pengakuan Hanung bahwa agar film ini ditonton sejuta orang skenario dirombak total sehingga sedikit keluar dari novel dan untuk itu Kang Abik diabaikan agar semuanya berjalan lancar http://hanungbramantyo.multiply.com

Astagfirullah. Saya hanya bisa mendoakan, semoga ini menjadi pelajaran bagi penulis-penulis muslim semacam Kang Abik, yang sekarang banyak menghasilkan novel-novel bagus agar tidak tertipu dengan menjual naskahnya kepada pedagang film yang tidak punya idealisnya setaraf dengan penulisnya.

Di blog Hanung jelas sekali produser hanya berfikir dagangannya laku terjual. Kental sekali bahwa dia selalu berhitung untung rugi. Maka benar jika yang muncul adalah seperti kata teman saya ”Saya tidak melihat ini filem dakwah, seakan saya melihat filem barat atau sinetron murahan.”

Dan Hanungpun jangan terlalu pede bahwa dia telah menunaikan pesan ibunya. Yaitu dia telah membuat film tentang agamanya. Belum. Dia telah gagal menunaikan pesan Ibunya. Karena jika demikian, harganya sangat mahal seperti pengakuannya sendiri bahwa seharusnya membuat film AAC-nya Kang Abik ini biayanya sangat mahal, tapi produsernya takut rugi seperti film sebelumnya.

Kalau biaya menjadi kendala. Maka semakin sadarlah saya bahwa idealisme itu memang mahal harganya. Moral itu tak ternilai. Karena itu harus kita pertahankan, dan seharusnya kita tak mudah menjualnya berapapun harga penawarannya. Karena idealisme jauh lebih tinggi nilainya dari itu semua. Berapapun ia.

Cikarang Baru, 6 Maret 2008

Referensi:
http://hensyam.co.nr
http://hanungbramantyo.multiply.com
www.eramuslim.com

Tidak ada komentar: