Sabtu, Mei 03, 2008

Senyum

Ketika ditanya kesannya berkunjung ke Indonesia, banyak turis asing menyampaikan bahwa orang Indonesia ramah tamah. Murah senyum. Banyak kita jumpai di masyarakat mereka saling melempar senyum ketika bersua di jalan. Tetangga saling bersapa dan bertukar senyum ketika berjumpa di depan rumah.

Indonesia pernah memiliki seorang presiden yang digelari the Smiling General, karena dia memang murah senyum. Senyumnya ditebarkan di mana-mana di muka umum. Jarang wajah cemberutnya mengemuka.

Senyum adalah ungkapan perasaan hati sehingga tidak bisa direkayasa. Ketika bibir tersenyum sedangkan hati sedang kesal dan gundah, maka gambaran senyum terasa hambar. Ketika senyum mengembang sebagai visualisasi hati yang ikhlas maka akan diterima oleh hati penerima senyuman itu.

Menurut para ahli senyum bisa mengendurkan ratusan urat syaraf di wajah kita. Senyum itu menyehatkan. Banyak wajah kusut dan tak bersahabat dimiliki oleh orang yang pelit senyuman.

Dalam Islam, senyum itu bernilai ibadah. Karena senyum termasuk sedekah. Selain sedekah dalam bentuk materi.

Akhir-akhir ini banyak berita di televisi dan koran yang membuat kita tersenyum sinis. Banyak pejabat yang sedang bermain badut, banyak badut bermain-main jadi pejabat. Mengaku jujur, tapi rumah mewahnya di mana-mana. Di garasi bertengger tiga mobil mewah. Kalau penghasilannya hanya dari gajinya sebagai pejabat, kalkulator paling canggih takkan mampu menghitung dari mana dia memperoleh semua kekayaan itu. Itupun masih bersisa banyak uang di rekeningnya di berbagai bank. Kalau ada bisnis, bisnisnya menjual jabatan dan tandatangannya. Maka senyum pemirsa mengembang di mana-mana. Kali ini senyum sinis, sesuai dengan suasana hatinya.

Bangsa ini memang murah senyum. Ketika pejabat diseret ke kantor KPK untuk interogasi dugaan korupsi, sambil berjalan dikawal petugas sang pejabat masih menebar senyumnya kepada seluruh wartawan dan pemirsa TV. Tak ada penyesalan yang tampak ke permukaan. Ketika diwawancarai, sang pejabat dengan yakin merasa diri tak bersalah. Ketika diminta mengundurkan diri, sang pejabat mengatakan ”kita tunggu keputusan pengadilan.” Seolah yakin di pengadilan kepandaian pengacaranya bersilat lidah bakal mengantarkan dia sebagai yang tak bersalah. Di pengadilan, salah bisa menjadi benar jika pengacaranya pintar. Benar bisa menjadi salah, jika pengacaranya berulah. ”Pintar” dan ”berulah” dalam makna kontekstual zaman ini.

”Kita taat hukum, supremasi hukum harus kita junjung. Selama belum ada keputusan hukum, saya belum bersalah.” Katanya sambil lagi-lagi melempar senyum ke mana-mana.

Jadi teringat sabda Rasulullah, bahwa dosa itu adalah sesuatu yang menggelisahkan hati dan kita tidak suka jika sesuatu itu diketahui oleh orang lain.

Maka wajar jika kegelisahan hati sering membuat kita tak mampu lagi tersenyum. Sebaliknya kebersihan hati membawa kita menjadi murah senyum. Karena tak ada dosa yang membebani.

Lalu fenomena apa yang terjadi, ketika para pejabat yang korupsinya dimana-mana masih mudah melemparkan senyum sepanjang jalan?

Dikabarkan bahwa jika neraka bocor selubang jarum saja maka panasnya bakal meluluhlantakkan bumi seisinya. Sejak itu Rasulullah tak pernah lagi tertawa kecuali sekedar senyum indahnya.

Ketakutan akan siksa Allah yang dahsyat seharusnya membuat kita banyak bermuhasabah, introspeksi. Banyak menangis dan sedikit tertawa.

(60) أفمن هذا الحديث تعجبون(59) وتضحكون ولا تبكون

”Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?
Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?” (QS. An Najm: 59-60)

Ukuran benar salah itu bukan di pengadilan dunia, tapi ada di ajaran Islam agama kita. Yang built-in dalam qalbu kita.

Cikarang Baru, 3 Mei 2008

Tidak ada komentar: