Selasa, Mei 06, 2008

Siap Sukses, Siap Gagal

Purdi E. Chandra, bos Primagama dalam berbagai kesempatan sering mengatakan kurang lebih bahwa untuk menjadi pebisnis tak perlu pintar-pintar amat. Terlalu pinter, terlalu perhitungan, maka rencana bisnis tidak kunjung direalisasikan. Semakin menghitung-hitung semakin takut gagal.

Seorang bijak pernah mengatakan bahwa takut gagal adalah kegagalan sejati, takut mati adalah mati sebelum mati. Artinya ketakutannya membuatnya beku. Tak berani bertindak. Maka keberhasilanpun mana mungkin diraih. Maka kehidupan yang suksespun mana mungkin dinikmati.

Hampir sama dengan hal di atas, Bob Sadino terkenal dengan selorohnya: harus goblok untuk jadi pengusaha. Kalau pinter, terlalu banyak mikir, lalu kapan bertindaknya? Malah tidak perlu perencanaan dan penentuan tujuan segala. Maklum, lha, wong orang globok, tidak punya ilmu tentang planning dan goals. Ketika di awal-awal perjalanan bisnisnya, Bob Sadino berjualan telur bersama istri. Keuntungannya beberapa ratus rupiah saja perhari. Tak terbayang olehnya suatu saat nanti beliau akan memiliki mobil Jaguar dan rumah mewah. Apalagi sampai menguasai kerajaan bisnis seperti yang dinikmati sekarang ini. Mengalir seperti air, katanya. Sukses syukur, gagal ikhlas.

Perry Tristianto, sang raja factory outlet, pernah mengatakan untuk terjun di dunia wirausaha kita cukup bekerja saja. Masalah untung rugi itu urusan Tuhan. Intinya manusia bisa berikhtiar, Allah yang menentukan. Dan sebagai hamba-Nya kita harus pasrah apapun hasilnya. Ikhlas. Kalau kita ikhlas maka ketika gagal mudah saja kita bangkit lagi untuk bekerja lagi.

Ketika para kandidat kepala daerah memutuskan ikut berlomba dalam Pilkada, biasanya menandatangani pernyataan siap menang siap kalah. Kalau ditanya ”siap menang?”, banyak yang cepat menjawab ”Siap!” dengan mata berbinar pula. Padahal tidak sedikit mereka belum punya program kerja detail untuk menepati janji kampanyenya.

Sebaliknya, ketika ditanya apakah siap kalah. Jawabnya tidak serta merta. Biasanya jawabnya ”perhitungan suara belum selesai.” Atau ”saya tidak mau berandai-andai.” Meskipun lalu ditutup dengan kalimat bersayap, ”kita harus patuh pada keputusan, asal fair dan adil.”

Modal untuk mengikuti Pilkada memang besar. Karena itu para kandidat selalu berharap menang, dan kurang siap kalah. Atau dengan bahasa bersayap pula ”Siap menang siap kalah. Tapi lebih siap menang.”

Sama dengan pilkada, menjadi pengusaha sering juga perlu modal relatif besar. Tapi kenapa mental pengusaha lebih siap menerima pil pahit ”kegagalan” dari pada kandidat pimpinan kepala daerah dalam menelan pil pahit ”kekalahan”? Usaha dan kerja keras sama-sama mereka lakukan. Kemungkinan hasilnya juga sama dan sudah diketahui. Yaitu sukses atau gagal. Tapi kenapa ketika pengusaha gagal, dia bangkit lagi. Sementara politikus gagal, ujungnya demonstrasi massa atau paling ringan maju berperkara ke pengadilan.

Kalau belajar dari ungkapan Bob Sadino, tampaknya sebab dari perbedaan reaksi itu adalah: pengusaha punya kepasrahan dan keikhlasan. Sesuatu yang jarang dimiliki para politikus saat ini. Padahal kalau keikhlasan ini mereka miliki, Insya Allah negeri ini akan cepat maju mengejar ketertinggalannya. Dan itulah kesuksesan jangka panjang yang menjadi hak seluruh rakyatnya.

Cikarang Baru, 23 April 2008

Tidak ada komentar: