Sabtu, Mei 24, 2008

Tangga Kebangkitan

Seratus tahun berdirinya Boedi Oetomo diperingati sebagai seratus tahun kebangkitan Indonesia. Bangkit dari mana? Bangkit berarti bangun menuju posisi lebih tinggi. Kalau awalnya duduk, bangkit berarti berdiri. Kalau awalnya tidur, bangkit berarti terbangun. Kalau awalnya pingsan, kini berkesadaran. Kalau awalnya mimpi, kini saatnya meraih kenyataan. Kalau tadinya tertinggal, kini waktunya berlari mengejar ketertinggalan.

Maka kalau kini pemerintah dan bangsa Indonesia berkeinginan bangkit berarti kita menyadari posisi kita saat ini. Tanpa kesadaran itu, tak mungkin kita mampu bangkit. Sama dengan seseorang yang sedang bermimpi indah, dia akan kecewa ketika terbangun. Maka dia ingin terus tidur dan meneruskan mimpinya. Tetapi ketika sedang mimpi buruk, dia ingin segera terbangun agar bisa bebas dari bayangan buruk yang menakutkan itu.

Jadi, kita akan bersemangat untuk bangkit ketika kita memahami ’mimpi buruk’ yang sedang kita alami. Jika tidak, maka peringatan seratus tahun kebangkitan Indonesia hanya sekedar merupakan hasil perhitungan matematis 2008 dikurangi 1908 sama dengan seratus. Tentu saja bukan ini yang kita inginkan. Karena perhitungan matematis ini sudah dengan mudah dikerjakan oleh murid-murid sekolah dasar kelas satu.

Memulai bangkit kita perlu membangun tangga menuju kebangkitan itu. Tangga itu harus dibangun di atas kesadaran akan ’mimpi buruk’. Bahwa saat ini kita sedang tertidur lelap dengan mimpi yang sangat menakutkan. Masalahnya, apakah kalangan elit sebagai pemegang keputusan sadar akan mimpi buruk yang sedang di alami negeri ini. Tidak sedikit mereka justru memaknai hal ini sebagai mimpi indah, sehingga enggan bangun dari tidurnya.

Tangga itu tersusun dari beberapa anak tangga. Beberapa anak tangga penyusun tangga kebangkitan itu adalah:

Uang BLBI

Misalnya tentang uang BLBI yang ditilep oleh para bankir. Apakah kita seluruh komponen bangsa memandang seragam bahwa ini mimpi buruk kita? Ataukah masih ada elit pengusa yang menjadikannya sebagai mimpi indah? Sehingga kasusnya dibiarkan tak diusut. Tarik ulurnya bahkan menghasilkan kasus suap 6 milyaran rupiah kepada seorang jaksa. Dan melibatkan pejabat teras sebuah partai politik. Ketidakseragaman memandang masalah ini menyebabkan pemerintah tak kunjung selesai menyelesaikannya. Padahal ini adalah anak tangga yang harus ditapaki untuk menuju kebangkitan.

Hidup Hemat

Saat ini kita jarang melihat pejabat Indonesia berpakaian jas lengkap dengan dasi. Baju batik atau baju koko adalah pemandangan pakaian pejabat yang sering kita lihat di televisi. Saat awal berpenampilan demikian ada pesan bahwa inilah pakaian yang menggambarkan kesederhanaan dan kerakyatan. Lalu pemerintah sering berpesan tentang gerakan hidup hemat. Hanya saja tidak ada petunjuk pelaksanaannya maka gerakan hidup hemat belum pernah dilakukan, kecuali sekedar gerakan-gerakan simbolis saja. Pejabat masih bergaji tinggi lengkap dengan tunjangan yang bertingkat-tingkat. Rumah dinas yang mewah menjadi tempat isolasi dari penderitaan rakyat. Keberadaan Pasukan Pengawal menjadi jawaban alasan keamanan dari makhluk jahat yang sebenarnya adalah rakyat yang belum tersentuh kesejahteraan. Kalau semua fasilitas itu melekat pada diri pejabat mana mungkin pejabat bisa menjadi teladan gaya hidup hemat. Anak tangga ini juga harus dilalui menuju kebangkitan kita.

Pemberantasan Korupsi

Anak tangga selanjutnya adalah pemberantasan korupsi. Pembersihan negeri ini dari para koruptor hanya bisa dilakukan menggunakan sapu yang bersih. Ketika membersihkan langit-langit rumah yang penuh dengan sarang laba-laba, tak cukup hanya dengan satu sapu bersih. Ketika sapu bersih itu telah jenuh dengan kotoran, harus diganti dengn sapu bersih yang baru. Jika tidak dia justru akan mengotori dinding.

Pemberantasan korupsi tidak hanya di lembaga pemerintah, karena korupsi juga terjadi di perusahaan-perusahaan swasta. Saat ini definisi korupsi memang barus terbatas pada efek kerugian bagi keuangan negara. Padahal mental korup tumbuh subur di mana-mana. Mulai dari pejabat negara yang menikmati hasil mark up pengadaan kertas suara pemilu, sampai kuli bangunan yang menaikkan harga beli sebuah engsel pintu dibantu oleh pemilik toko yang menulis harga semau pembelinya. Perilaku korup di lingkungan swasta bertemu dengan kepentingan sesama pebisnis. Perilaku korup beririsan dengan nafsu cinta-dunia pejabat negara. Yang menyedihkan lagi perilaku korupsi tumbuh dari mental korup yang telah tumbuh subur di berbagai level masyarakat dari yang sudah bergaji sangat besar sampai yang berpenghasilan sangat minim. (bersambung..)

Tidak ada komentar: