Sabtu, Mei 03, 2008

Pengen Jadi Artis

Cari kerja susah. Itu sejak dulu. Maka banyak orang yang rajin belajar. Sekolah formal yang tinggi bisa menembus dinding-dinding kantor dan pabrik. Lulusan S1 bisa langsung jadi manager produksi. Yang sekolahnya rendah, jadilah buruh kontrak. Setiap saat bisa dilepas tanpa pesangon.

Itu dulu....
Kini yang lulusan sekolah tinggi-tinggi pun banyak yang menganggur. Ijazahnya tumpul untuk menembus peluang kerja di kantor dan pabrik. Pertumbuhan lapangan kerja jauh ketinggalan dibandingkan pertumbuhan tenaga kerja.

Pemerintah memang bekerja keras membuka lapangan kerja, tapi hasilnya dalam menyerap tenaga kerja belum tampak signifikan. Maka banyak orang yang membuka lapangan kerja sendiri. Itupun hanya beberapa gelintir yang punya nyali. Tapi patut disyukuri telah bisa mempekerjakan dirinya sendiri dan beberapa orang tetangga kanan kiri.

Ada juga yang memilih mempekerjakan dirinya sendiri. Bahasa kerennya self employee. Nyalinya besar dengan percaya diri atas potensi yang dimiliki. Kalau sekolahnya tinggi masak sih tidak bisa menafkahi diri dan keluarga sendiri. Kata Aa Gym, kuda nil yang berendem doang aja bisa hidup.

Jatuh bangun adalah biasa. Tempaan kerasnya berusaha membuatnya matang dan mampu bangkit kembali. Tidak sedikit pula yang rugi lalu bangkrut, sehingga harus mulai dari nol lagi. Atau berhenti sama sekali.

Tapi banyak yang tidak tahan. Majunya lambat. Tabungannya tidak kunjung bertambah. Maka kalau ada jalan pintas, kenapa tidak dicoba.

Akhir-akhir ini banyak bermunculan acara-acara TV yang menjanjikan pekerjaan dan popularitas. Anak-anak muda banyak jadi peminatnya. Siapa yang tidak mau? Sekolah susah dan mahal. Ujian Nasional bisa mengkandaskan segalanya. Setelah lulus belum tentu dapat kerjaan. Lebih baik jadi artis. Uangnya bakal jauh lebih banyak daripada jadi buruh pabrik yang upahnya tak kunjung cukup untuk hidup layak. Jangankan untuk istri dan dua anak, untuk sendiripun sudah habis sebelum gaji bulan depan diterima.

Maka berbagai acara untuk mengantar jadi penyanyi dan artis terkenal bermunculan. Dukungan via SMS sangat menentukan untuk jadi pemenang. Juga dukungan sang Mama yang memanajeri anak-anaknya dalam kontes nyanyi ini. Klop sudah. Anak pengen jadi artis, Ibu mendorong dan menyiapkan segalanya. Kalau anak jadi artis, uang banyak dan terkenal dimana-mana, siapa yang bangga kalau bukan ibunya.

Pemandangan unik dan memprihatinkanpun banyak kita tonton di acara ini.

Di panggung sang anak menyanyi dengan pakaian minim. Pakaian artis kan memang demikian. Rambut diurai atau disasak tinggi sehingga leher jenjangnya bisa dinikmati. Dada terbuka sampai tampak sedikit belahannya. Ketiak tak malu dibuka karena sudah pakai rexona. Baju penutup perut sesekali menampakkan pusarnya. Bentuk pinggul jelas muncul karena dicitrakan oleh disain dan warna kostumnya. Apalagi ketika dibawa goyang ke sana sini. Rok mini sengaja dipakai agar postur tubuh tampak lebih tinggi.

Di barisan penonton, jelas disorot oleh kamera seorang perempuan tua berkerudung rapi. Tersenyum dan menyemangati. Kadang didampingi laki-laki paruh baya mengenakan kopiah dan baju takwa.

Pada kesempatan orang tua naik panggung, pemandangan seperti peragaan busana antar budaya yang berbeda. Budaya luhur dan budaya yang kabur. Tapi si luhur mendukung si kabur. Sang Ibu yang berpakaian santun menyemangati dan mendorong anaknya yang nyaris mirip tak berpakaian.

Ketika dinyatakan lolos masuk babak berikutnya, sang calon artispun tersungkur bersujud syukur. Tentu tanpa sempat menutup auratnya lebih dahulu..... Masih banyak bagian tubuhnya yang terbuka di mana-mana. Entah bersujud syukur kepada siapa.....

Air mata meleleh dari mata sang Ibu. Gembira atas kemenangan anaknya. Atau..... sedih sambil bertanya-tanya kalau demikian jadinya kapan anaknya bakal memakai jilbabnya seperti dirinya?

Wallahu’alam bis shawab.

Choirul Asyhar, 3 Mei 2008

Tidak ada komentar: