Rabu, Januari 02, 2008

Kurban Kami Tahun Ini

Catatan Idul Qurban yang terserak

Alhamdulillah, ada suasana baru pada kurban ku dan keluargaku tahun ini. Bersama kurban dua rekan lainnya, kami keluarga guru sebuah SMP swasta Islam di Cikarang melaksanakan kurban di sebuah kampung di desa terpencil di Kecamatan Rongga di Kabupaten Bandung Barat.

Selama ini saya berkurban di lingkungan perumahan yang hewan kurbannya terkumpul berlimpah. Seperti tahun ini ada 5 ekor sapi dan 41 ekor kambing. Sementara di kampung ini pada Idul Adha dua hari yang lalu hanya memotong seekor kambing untuk sekitar 300 kepala keluarga. Maka kedatangan kami berkurban pada hari tasyrik 13 Dzulhijjah dengan 3 ekor kambing yang kami beli di desa ini pula, terasa sebagai air sejuk di tengah kehausan warga di daerah dingin ini.

Tidak mudah mencapai daerah ini bagi yang belum pernah melakukannya. Perjalanan bermobil dari Cikarang ditempuh melalui tol Cipularang keluar di Padalarang dalam waktu 1.5 jam, lalu diteruskan ke arah Cimareme menuju lokasi yang ditempuh sekitar 4 jam lagi. Dengan jalan naik turun dan berkelok-kelok membuat beberapa guru dan anak-anak mabuk dan muntah-muntah. Berangkat dari Cikarang jam setengah sembilan pagi, kami tiba di lokasi jam setengah tiga sore. Di selingi istirahat sholat Jum’at di Cililin.

Ketika memasuki lokasi. Oleh salah satu guru yang bernama Pak Yusuf, kami diminta berhenti dan parkir di pinggir jalan yang lebarnya hanya cukup dilalui dua mobil berjejer.

”Di mana parkirnya?” tanya saya.
”Ya, di sini, Pak. Insya Allah di sini aman” jawabnya, sambil menjelaskan bahwa rumahnya berada di bawah sana. Sebuah tempat yang harus dilalui dengan berjalan kaki melalui jalan tanah. Jalan yang menurun dan pasti becek jika hujan turun. Barang-barang bawaan diturunkan. Lalu di sambut oleh para tetangga Pak Yusuf yang sudah siap menunggu kedatangan kami. Dengan cekatan mereka memanggul barang bawaan kami menuju rumah Pak Yusuf. Ya, kami memang hendak menuju ke rumah Pak Yusuf dan akan tinggal di sini tiga hari dua malam.

Adzan Ashar dikumandangkan dari tajuk, surau kecil sederhana berukuran 4 x 4 meter yang dibangun dari kayu di pekarangan rumah Pak Yusuf. Ba’da shalat ashar, beberapa diantara kami bersama anak-anak kami berjalan di atas pematang sawah mengenal medan alam pedesaan yang sangat asli ini. Di pandu oleh adik-adik Pak Yusuf, kami menyaksikan sawah yang membentang sambil tetap awas meniti pematang sawah, kalau tidak kita akan jatuh tergelincir ke sawah. Dalam perjalanan singkat kami menemui jamban di atas kolam ikan. Yang hanya dibatasi oleh bekas karung plastik setinggi dada orang dewasa. Di dalamnya ada dua batang kayu melintang tempat kita jongkok ketika buang air besar. Lalu ada pancuran air yang tak pernah berhenti mengalir, sehingga siap dipakai ketika kita selesai buang air besar. Dan beberapa meter di sebelahnya ada orang-orangan sawah seakan menjaga WC umum itu. Selanjutnya kami mengetahui bahwa di rumah tidak ada WC, dan disinilah kami nanti harus rela buang air besar, jika diperlukan.
Tidak ada pilihan lain!

Bayangkan Anda yang terbiasa buang air besar di ruang tertutup dengan air yang bersih lengkap dengan sabun, kini harus melakukannya di ruang terbuka dengan air kali untuk istinja’. Bayangkan apa yang Anda lakukan jika ketika sedang asik buang hajat tiba-tiba ada orang lewat. Anda pasti membayangkan orang tersebut akan usil melayangkan pandangannya melihat aurat kita. Tapi ternyata tidak, mereka menahan pandangannya, dan lewat begitu saja, seakan tak tahu kita ada di situ.

Malampun datang, ba’da Isya’ tak ada lagi kegiatan. Penerangan yang seadanya membuat kami orang kota tidak bisa melaksanakan aktifitas baca Quran misalnya dengan enak. Maka kami memilih tidur dalam dingin malam yang makin mencekam. Ibu-ibu tidur di dalam rumah, Bapak-bapak di tajuk. Jaket tebal, kaos kaki, selimut tebal menjadi teman paling dekat dan hangat.

Esoknya kami terbangun ketika adzan subuh dikumandangkan oleh Ayahnya Pak Yusuf. Segera kami berwudhu dengan air yang dingin menusuk tulang. Setelah berjamaah subuh, saya membaca Quran sampai waktu syuruq tiba. Lalu diteruskan dengan shalat Israq dua rakaat. Lalu kamipun siap-siap melaksanakan pemotongan 3 ekor kambing yang telah disiapkan. Pak Sayidin, telah menyiapkan pisau tajam. Lalu sekitar jam tujuh pagi saya memotong tiga kambing yang sudah disiapkan.

Ya Allah, ini dari ku dan keluargaku, terimalah kurban kami ya Allah.
Ya Allah, ini dari fulan dan keluarganya, terimalah kurban mereka ya Allah.
Ya Allah, ini dari fulanah dan keluarganya, terimalah kurban mereaka ini ya Allah.

Lalu oleh penduduk kambing tersebut digantung secara tebalik untuk dikuliti. Saya membayangkan beberapa hari yang lalu. Tanggal 10 Dzulhijjah kami warga perumahan kami memotong 5 ekor sapi dan 41 ekor kambing, lalu dibagi-bagi menjadi 1,200 kantong daging. Maka kini dengan tiga ekor kambing, paling-paling akan dapat dibungkus menjadi 50-60 kantong plastik. Sementara menurut informasi ada sekitar 300 keluarga yang layak mendapatkannya. Jika demikian maka setiap kantong harus dibagi lagi menjadi 6 bagian agar semua keluarga mendapatkannya meskipun sedikit.

Terbayang, betapa 3 hari yang lalu kami di perumahan Kota Jababeka di Cikarang berkelebihan daging, sedangkan penduduk di dusun ini harus berbagi sejumput sejumput daging agar semua dapat merasakannya.

Negeri ini ternyata sangat luas. Sehingga banyak wilayah yang kurang terjangkau oleh udara kesejahteraan. Kemauan kerja gampang, membuat banyak panitia zakat atau kurban mendistribusikannya sebatas yang dia mampu. Yaitu hanya radius beberapa kilometer saja dari masjid. Sementara nun jauh di sana banyak wilayah yang belum pernah merasakan suasana Idul Qurban. Karena ritual yang dilakukan penduduknya selesai begitu Shalat Iedul Adha selesai ditunaikan.

Cikarang, 13 Dzulhijjah 1428/ 22 Desember 2007

Tidak ada komentar: