Selasa, April 15, 2008

Satu Tulisan Lagi Buat Anakku Athaya

Kini giliranmu, Nak, membaca tulisan Ayah. Kamu kan sudah klas dua SD, sudah pandai membaca. Dan kaupun pandai menulis. Ayah tahu bakatmu menulis karena ketika kau ngambek, kau suka menulis surat kepada Ayah atau Ibu menyampaikan masalahnya atau sekedar meminta maaf. Juga kau paling rajin titip surat untuk kakakmu saat Ayah menengok kakakmu di Solo.

(Tapi maaf ya, tulisan ini terlambat sehari. Soalnya dua hari ini Ayah sibuk membantu mengurusi perhelatan besar di Jawa Barat yaitu pemilihan gubernur 2008-2013. Syukurlah pasangan yang Ayah dukung dan Ayah repot memperjuangkannya dan puncaknya dua hari terakhir ini berhasil memenangkan pilgub kali ini. Semoga Allah senantiasa membimbing mereka menjadi pemimpin yang amanah, adil dan mensejahterakan rakyatnya. Amin)

Sekali lagi, Ayah sampaikan, akhir-akhir ini Ayah sedang belajar menulis. Menulis kebaikan dengan harapan akan menjadi passive income bagi pundi-pundi pahala Ayah untuk bekal hidup di akhirat nanti.

Maka, semoga kamu bisa menerima dengan senang kado tulisan ini, sebagaimana kegembiraanmu menerima kado sepatu baru dari Ibumu.

Athaya, rasanya baru kemarin kamu dilahirkan oleh Ibumu ditolong oleh Bidan Nur di Cikarang Baru, 14 April 2000.

Waktu itu, ba’da ashar, Ibumu menelepon Ayah di kantor. Menyampaikan kabar yang tidak mengembirakan. Air ketubanmu pecah. Dengan berusaha tenang, Ayah menyampaikan kepada Ibu, jika Ibu kuat sebaiknya Ibu segera pergi duluan ke Bidan Nur. Sebuah saran yang terdengar aneh. Untuk apa menelepon Ayah kalau sarannya demikian.

”Ayah khawatir kalau Ibu menunggu Ayah tiba di rumah setengah jam lagi, keadaan menjadi lebih parah. Dengan Ibu berangkat ke rumah bersalin lebih awal Ibu mendapatkan pertolongan lebih cepat. Ini lebih baik daripada menunggu.” Dan Alhamdulillah, Ibumu melaksanakan pesan aneh Ayah ini. Dan tidak hanya itu, Ibumu tidak minta tolong tetangga. Mungkin karena Ibu tahu, tetangga yang siap hanya para Ibu rumah tangga. Tidak ada mobil yang siap. Mungkin nanti malah merepotkan. Maka Ibu berangkat menuju tempat pemberhentian angkot. Beberapa tetangga, menyapa Ibumu, sebagaimana biasa. Ibumu juga menyapa sebagaimana biasa.

Setengah jam kemudian Ayah tiba di rumah bersalin. Alhamdulillah, Ibumu sudah istirahat dengan tenang setelah mendapat pertolongan yang memadai. Ayah dan Ibu bersyukur kepada Allah karena kamu dapat diselamatkan. Kandungan Ibumu masih sehat dan kuat untuk kamu bersemayam di dalamnya sampai saat kelahiranmu nanti.

Sampai maghrib belum ada tanda-tanda kelahiran. Kakakmu Ahsana dan Abyan mulai datang diantar mBak Suginah. Adzan Isya’pun tiba. Awan gelap di luar pertanda akan turun hujan. Ayah meminta mBak Suginah membawa kedua kakakmu pulang sebelum hujan turun. Jam delapan malam Ibumu sudah lelah menunggu. Tiba-tiba listrik padam. Emergency lamp pun menyala. Tak lama, karena beberapa menit kemudian mati entah kenapa. Maka Bu Bidan pun menyalakan beberapa lilin. Ruang bersalin pun jadi remang-remang. ....... Ibumu sudah mulai mules-mules.

Di tengah kegelapan malam di ruang bersalin tanpa penerangan dan pendingin ruangan, dari nyala lilin Ayah melihat wajah lelah Ibumu karena menunggu sejak sore tadi. Beberapa teguk air minum menyegarkannya. Kaupun makin keras mendesak ingin keluar dari rahim Ibumu.

Seperti dua kelahiran sebelumnya Ibumu menunjukkan keikhlasannya dan mengerahkan sisa-sisa kekuatannya untuk mendorongmu keluar. Ayah cuma bisa sekedar menyemangati dan mendo’akannya. Kalimat thoyyibah bersahut-sahutan Ayah dan Ibu lantunkan. Bidan Nur dengan sabar juga terus memberikan aba-aba yang menyejukkan dan menyemangati. Rasa cape, sangat jelas tampat diraut wajah ibumu di sela nyala lilin. Bidan Nur terus menyemangati. Kepalamu mulai sedikit demi sedikit tampak.

”Ya...., terus...., terus.... sedikit lagi......” kata Bu Bidan.
Tiba-tiba bayi mungil perempuan sudah berpindah ke tangannya. Alhamdulillah. Darah mengalir dari rahim ibumu. Tali pusarpun digunting. Kau dibersihkan oleh asisten Bidan. Bidan merawat Ibumu. Melakukan beberapa jahitan. Dan membersihkan darah di tempat tidur Ibumu. Lalu lampupun menyala. Kipas angin menyejukkan dan membawa pergi kelelahan Ibumu. Tampak senyum puas dan gembira tersungging dibibirnya. Ayahpun menyalaminya. Mencium pipinya. Mencium keningnya.

Setelah dibersihkan, kau diserahkan kepada Ayah. Ayahpun mengenalkan suara adzan dan iqomah di telingamu. Dengan harapan dan do’a nanti setelah saatnya nanti kau akan menjadi hamba Allah yang peka terhadap panggilan Allah. Segera datang memenuhi panggilan da’wah kapanpun dan dimanapun.

Untuk melengkapi do’a itu, Ayah menamaimu Athaya Nadiya Asyhar. Asyhar adalah nama Ayah, agar kau tak lupa pada orang tuamu. Dan pentingnya memelihara silsilah keluarga agar nasab terjaga rapih sesuai syari’ah. Athaya bermakna sebuah pemberian atau rizki. Sebagai wujud syukur kepada Allah atas pemberian ini. Perempuan cantik akhlak dan parasnya. Dan Nadiya berarti berani mengajak kepada kebaikan. Karena kita semua adalah da’i sebelum menjadi apapun lainnya. Atau menjadi apapun kita nanti, tugas da’wah selalu melekat dalam diri kita.

Nanti kamu akan menemukannya di dalam Al Quran, bahwa kita adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia untuk mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dan itu perlu keberanian. Itulah makna Nadiya.

Nak, Ayah menulis ini agar kau tahu bagaimana beratnya perjuangan Ibumu melahirkanmu. Belum lagi kalau Ayah menuliskan sembilan bulan kau di kandungnya. Pasti panjang sekali tulisan Ayah. Juga dari tulisan ini kau akan tahu betapa mulianya harapan Ayah dan Ibu dengan melekatkan rangkuman do’a-do’a dalam bentuk nama dirimu.

(Pada saat yang sama, Ayahpun bisa membayangkan bagaimana beratnya Mbah Putrimu dulu saat mengandung dan melahirkan Ayahmu. Bahkan sampai kinipun, seperti yang kau tahu, kasih sayang Mbah Putri kepada Ayah, Om dan Tantepun tak pernah pupus, tak habis-habisnya meskipun kasih sayangnya juga dicurahkan untuk kau dan para cucu lainnya. Rabbighfirlii wali waalidayya, warhamhuma kamaa rabbayaani shoghiroo. Ya, Rabbi, ampunilah aku dan kedua orang tuaku. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sejak aku masih kecil. Amiin).

...... Nak, nanti ketika kau belajar sastra, akan kau temui sastrawan dunia yang pernah mengatakan ”What is in a name?” Maka saat itu kaupun bisa menjawabnya. Betapa pentingnya nama. Maka arti sebuah nama itu harus dipersiapkan. Nama adalah dreams. Dreams Ayah dan Ibu terhadap anak-anaknya. Doa Ayah dan Ibu, demi kebaikan anak-anaknya. Kebaikan bagi dunianya dan kebaikan bagi akhiratnya.

Allahu Akbar.....

Cikarang Baru, 15 April 2008

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisan yang inspiratif n semoga Dreamnya terkabul..Amiiin