Jumat, April 11, 2008

Pilkada

Sejak memasuki era reformasi, kegiatan yang paling sering menghiasi berita di lavar kaca adalah pilkada. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Kegiatan ini juga menjadikan banyaknya wajah-wajah para politikus dipajang di sepanjang perjalanan. Baik jalan negara, jalan propvinsi, maupun jalan kabupaten. Jumlahnya bersaing dengan banyaknya iklan rokok. Ini jadi berkah tersendiri bagi pengusaha sablon dan digital printing.

Saya dengar pilkada sudah hampir dua ratusan kali diadakan. Seharusnya makin sering penyelenggaraannya semakin rapih dan bersih. Tapi sayangnya belum ada satupun yang berjalan mulus tanpa keluhan masyarakat maupun partai pendukung calon. Yang sering dikeluhkan adalah penetapan pemilih tetap. Tidak sedikit warga masyarakat yang tidak memperoleh haknya sebagai pemilih karena namanya tidak tercantum dalam DPS (Daftar Pemilih Sementara) maupun DPT (Daftar Pemilih Tetap). Protes sering disampaikan. Tapi kejadian terus berulang. Komisi pemilihan sepertinya tidak peduli. Alasannya pendataan penduduk bukan urusannya. Sehingga komite pemilihan sering menggunakan data apa adanya. Tahun lalu menyelenggarakan pemilihan Bupati, datanya diprotes massa, eh.... tahun ini mengadakan Pemilihan Gubernur, datanya masih belum benar juga. Masih menggunakan data yang dulu yang jadi ajang ribut massa bahkan sampai ke pengadilan tinggi. Yang lebih parah, bahkan ada keluhan beberapa nama yang dulu saat pemilihan Bupati bisa memilih, kini malah namanya tak terdata.

Sedemikian sulitkan pemerintah mendata warganya?
Ketika menerima fotokopi salinan DPT Pemilihan Gubernur Jawa Barat, saya melihat ada keanehan dalam susunan ketikan DPT itu. Ada ketikan dari mesin ketik manual pada nomor urutnya. Ada garis kolom yang tidak lurus. Ada ketebalan font yang berbeda-beda. Atau ketajaman tinta printer yang berbeda. Belum lagi alamat pemilih yang tidak terstruktur. Sebagian tertera alamat lengkap sehingga mudah dicari. Tapi tidak sedikit yang hanya tertera RT dan RW-nya saja. Itupun data RT dan RW sebelum terjadi pemekaran RT dan RW karena perkembangan penduduk yang pesat di perumahan kami.

Ketika mengecek Daftar Pemilih Sementara beberapa bulan sebelumnya, saya melihat cara kerja PPS. Ternyata petugas menerimanya dari KPUD terketik rapi dari komputer. Tapi jika diteliti, ternyata lokasi tempat tinggal pemilih acak-acakan, maka oleh PPS disusun kembali dengan cara menggunting dan menempel berdasarkan RT dan RWnya. Setelah itu difotokopi ulang dan diberi nomor urut menggunakan mesin ketik manual. Juga dilakukan penambahan data pemilih jika ada warga yang namanya belum tercantum. Setelah mendapatkan laporan warga tersebut maupun laporan RT. Maka jadilah salinan DPT yang aneh.

Di zaman komputerisasi begini, mengelola data dengan menggunting dan menempel sudah ketinggalan kereta. Hare gene..... ?????

Selain itu up date data akan memakan waktu lama, Booo.... Jadinya, data baheula masih dipakai juga. Jadinya, data tidak pernah terbarukan. Jadinya, pembaruan hanya ada ditingkat hard copy. Kalau memperbaiki soft copynya, perlu waktu dan tenaga pula. Jadinya, setiap pilkada banyak yang ribut. Jadinya, setiap pilkada banyak yang merasa dikebiri hak-haknya.

Ketika mengobrol dengan petugas PPS saya menangkap tidak ada niatan memanipulasi data. Mereka adalah pekerja ikhlas yang berhonor sangat kecil untuk kerja berat dan menuntut tanggung jawab besar ini. Demi terselenggaranya pilkada yang notabene sangat penting untuk penyelenggaraan negara, mereka bekerja dengan fasilitas apa adanya. Dengan segala fasilitas yang tidak dimiliki mereka melakukannya secara manual di zaman komputer ini. ”Fotokopipun pakai uang sendiri.” kata seorang petugas PPS.

Data kepesertaan warga dalam pilkada kurang dari 60%. Maka kalau mau meningkatkan peran serta masyarakat, komite pemilihan dan jajaran aparat pemerintah harus peduli dengan keluhan masyarakat. Mau ikut milih kok sulit. Nama tak tercantum di DPT. Tapi disuruh berpartisipasi. Mana bisa?

Yang aneh malah yang warga namanya sudah tercantum di DPT kok nggak datang ke TPS? Usut punya usut, ternyata paling tidak ada tiga alasan kenapa warga dewasa tidak datang mengambil haknya. Pertama, warga yang cuek dengan pilkada. Baik yang karena hidupnya sudah makmur jadi merasa tidak berkepentingan dengan pilkada, maupun yang apatis karena ganti pimpinan tidak mengangkatnya dari kemiskinan dan keterpurukan. Yang kedua, warga yang tidak punya ongkos menuju TPS karena tinggalnya jauh di seberang Desa. Yang ketiga, warga yang tidak mungkin datang karena rumahnya sejak dulu tidak pernah dilalui angkot. Karena angkot mana yang mau membuka jurusan TPS-Kuburan?


Cikarang Baru, 11 April 2008

Menyongsong Pemilihan Gubernur Jawa Barat 13 April 2008.
Pilih Pimpinan Yang Membawa Harapan Baru Jawa Barat!

http://lintasankatahati.blogspot.com

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Kelemahan kita (ummat islam) tentang pendataan ini memang luar biasa sebut saja : pendataan data yang berhak menerima zakat fitrah setiap bulan ramadhan selalu saja terjadi, yakni panitia bekerja ala kadarnya menunggu di mesjid dan selanjutnya membagi tanpa melakukan cross check ulang , siapapun yang datang dengan secarik kertas lusuh berisi data fakir miskin dikampung nun jauh dimana tak ujung rimbanya dengan mudahnya langsung diberikan oleh panitia. panitia mesjid dengan mudahnya membagi zakat fitrah ke subpanitia di kampung dsb.selain itu kita bisa lihat kegagalan program
Pendataan keluarga miskin untuk raskin, kartu sehat,bantuan kompensasi BBM dan data pengobatan gratis dengan mudah dimanipulasi karena pemerintahan desa/kelurahan yang tak berfungsi, he he jangankan pendataan keluarga miskin, setiap pergantian pengurus alumni perguruan tinggi ,programnya selalu pendataan anggota....nah ..apa kurangnya kemampuan para sarjana ini ?