Kamis, April 10, 2008

Menangkap Pencuri

Di negeri ini menangkap pencuri tidak gampang. Tapi sering kali juga mudah. Tergantung siapa malingnya. Jadi kalau sudah ketahuan siapa malingnya maka tingkat kesulitannya baru bisa diukur. Yang paling mudah, jika malingnya rakyat jelata. Yang memang sudah layak disebut maling, sehingga pantas saja menjadi penghuni penjara yang kumuh, sempit, dan berbaur dengan begundal yang lain. Yang agak mudah adalah kalau malingnya adalah musuh kita. Maka dengan semangat kita akan menangkapnya, lalu menjebloskannya kedalam bui. Yang sulit adalah kalau malingnya adalah teman kita sendiri. Dan yang paling sulit lagi jika malingnya adalah atasan kita sendiri. Atau para bangsawan.
Tapi ada lagi yang menyebabkan kesulitan menangkap maling: yaitu polisinya malas menangkap maling karena yang dicuri adalah masalah yang sepele. Karena ada pekerjaan lain yang dianggap lebih penting. Jadi pencurian dianggap sepele. Ketika ada pekerjaan penting lainnya.

”Ustadz, ini masalah serius!” kata saya kepada seorang ustadz di sebuah pesantren.
”Ya, Pak. Nanti saya akan tindak lanjuti.” katanya.
”Tentu.” kata saya. ”Rasulullah saja berjanji akan memotong tangan Fatima, jika Fatima anaknya itu mencuri” lanjut saya. ”Jadi harus segera ditindak lanjuti, karena pencurian bukan masalah sepele.”

Terus terang saya agak kesal, karena kemarin siang ketika saya lapor, ustadz tersebut berjanji malam ini akan menyelesaikannya. Tapi sampai subuh keesokan harinya, ketika saya mendengar informasi dari anak saya bahwa baju seragamnya belum dikembalikan, maka saya menyampaikan hal itu kepada sang Ustadz.

Sebenarnya anak saya belum setahun nyantri di pesantren ini. Tapi sudah dua kali kehilangan baju batik seragamnya. Belum lagi sandal, mungkin tidak kurang dari sepuluh kali. Handuk, ada tiga kali. Setrika sekali.

Setiap habis mencuci baju dan lain-lain, hatinya selalu was-was jangan-jangan hilang dari kawat jemuran. Ketika menengoknya ke pesantren saya menyempatkan diri mengunjungi area tempat penjemuran baju. Saya melihat pemandangan yang aneh-aneh. Biasanya handuk dijemur dengan membuka lebar lembaran handuk di atas kawat jemuran agar cepat kering. Tapi ini ada handuk yang dijemur dengan melilitkannya di kawat jemuran. Pasti lama keringnya. Ketika saya menyaksikan beberapa handuk jatuh ke tanah, saya berkesimpulan handuk itu dililitkan agar tidak jatuh. Tapi kata anak saya agar tidak di-ghosob. ”Kalau dililit kan sulit ngambilnya.” kata anak saya. Saya lihat sebagian besar atau mungkin semua jemuran sudah diberi nama, baik dengan spidol maupun ada yang dibordir. Tapi rupanya identitas ini tidak cukup. Perlu dililitkan, diikat, peniti agar tidak mudah dighosob santri lainnya. Sehingga jepitan jemuran saja, karena tujuannya bukan saja mencegah agar jemuran tidak jatuh. Kata anak saya, ”Bahkan ada juga yang digembok!” Kalau digembok tetap hilang, pasti malingnya bawa gunting!

Demikian juga ketika ke masjid 5 kali sehari. Saya yakin pasti anak saya was-was ketika melepas sandalnya. Ketika saya menegur kenapa uang jajannya cepat habis, salah satu jawabannya adalah untuk beli sandal. Karena sandalnya hilang dua kali bulan ini. Dua kali saya menengoknya saya juga menyaksikan dua kali anak saya kehilangan sandal.

”Ayah, sandal yang Ayah beliin bulan lalu sudah dighosob orang!” katanya. Hah? Saya kaget, padahal saya menuliskan nama anak saya di sepasang sandalnya dengan huruf yang besar memenuhi lebar sandalnya. Lalu peringatan agar tidak di-ghosob. Apakah sulit menghilangkan ghosob menghosob di pesantren?

Ketika melaporkan hilangnya seragam batik anak saya, dari jawaban pihak Ustadz saya menangkap kesan itu. Menghilangkan kejadian ini sulit. Kejadian ini wajar. Dan harap dimaklumi karena santrinya banyak dan punya perangai yang macam-macam. Bahkan barangkali yang tidak wajar adalah saya yang melaporkan hal sepele ini.

Ini pula yang tadinya ada dalam pikiran saya ketika pertama kali mendengar laporan anak saya bahwa sandalnya hilang. Atau handuknya. Atau baju batiknya saat hilang pertama kali. Wajar. Tapi kali ini saya berubah pikiran.

Beberapa hari yang lalu anak saya menelpon bahwa seragam batiknya hilang. Jadi harus beli lagi, sementara dia tidak punya uang. Saya jawab, pesan saja dulu di syirkah. Nanti uangnya saya transfer. Ketika pagi hari saya datang dan sholat subuh di masjid pesantren, anak saya melaporkan bahwa dikoperasi tidak ada stok baju seragam batik seukurannya, padahal nanti siang kalau keluar pondok harus pakai baju batik ini. Maka saya menghiburnya, nanti saya minta izin kepada Ustadz untuk keluar pondok ba’da jum’atan dengan baju putih.

Ba’da jum’atan saya dan anak saya mengantri makan siang di resto. Dalam antrian yang panjang anak saya menyaksikan bajunya yang hilang dipakai oleh seseorang. Ada namanya jelas tertulis di krah luar bajunya. ”Ayah, itu bajunya!” katanya. Langsung saya keluar dari antrian panjang. Anak yang memakai baju saya sedang menyendok nasi. Langsung saya dekati. Dan saya katakan bahwa baju yang dipakainya adalah baju anak saya.

”Nggak tahu, Pak. Saya cuma pinjam, kok!” jawabnya. Maka saya katakan, segera lepas dan kembalikan kepada anak saya. Si Anak mengiyakan. Lalu dia menuju meja makan. Saya masuk lagi ke antrian.

Setelah selesai mengantri saya dan anak saya menuju ke meja makan. Saya duduk di sebelah santri yang memakai baju anak saya. Saya katakan gara-gara baju hilang anak saya tidak bisa keluar pondok. Sekali lagi si anak mengatakan dia hanya pinjam. Ketika saya tanya kenapa pinjam? Jawabnya bajunya kegedean sehingga tukeran sama temannya. Karena tidak ada penyesalan dan permohonan maaf, maka saya berkata tegas kepadanya bahwa agar dia segera balik kamar, ganti baju dan mengembalikannya ke saya di resto ini. Sebelum pergi saya tanya siapa namanya, klas berapa dan dia tinggal di kamar berapa, rayon berapa. ”Bapak tunggu!” kata saya.

Sampai sekitar sepuluh menit dia tidak kembali. Saya datangi kamarnya, kosong melompong. Maka saya datang ke kantor kesantrian. Kali ini bukan Cuma minta izin anak saya keluar pondok tidak memakai baju seragam batik. Tapi juga melaporkan pencurian baju seragam batik dan akhlak santri klas 9 itu yang membohongi saya. Laporan saya dicatat. Nama, kelas, kamar dan rayon dicatat. Dan disanggupi malam nanti diselesaikan.

***
Sabtu sore, menjelang saya pulang, anak saya melaporkan bajunya belum dikembalikan. Saya pasrah, saya tidak mau meramaikan masalah ’sepele’ ini.
”Ya, sudah, sampai minggu depan kalau bajunya tidak dikembalikan, kamu beli aja lagi.” kata saya.

Beberapa hari setelah saya tiba di rumah, anak saya menelepon. Mengabarkan bajunya belum kembali. Ternyata ustadz yang berjanji menyelesaikan masalah itu juga tidak kelihatan perannya. Dan ada berita buruk lainnya. Ternyata nama anak kelas sembilan itu bukan seperti nama yang diberikan kepada saya. Kamarnya juga bukan yang diakui itu. Saya menghibur anak saya, ternyata akhlaknya santri itu memang sudah sangat memprihatinkan. Anak saya juga sempat mengkhawatirkan keselamatannya jika terus memperkarakan masalah ini.
Saya sempat mengatakan, ”Lho, masak yang benar takut sama yang salah?” Tapi dalam hati saya juga terbersit rasa khawatir itu. Sehingga saya minta anak saya melupakan saja.

Beberapa hari kemudian anak saya menelepon lagi. Bahwa baju seragam batiknya sudah kembali. Dititipkan ke kamarnya ketika anak saya tidak ada di kamar. Alhamdulillah. Semoga ini menjadi titik balik dari kebiasaan ghosob-menghosob di pesantren.

Cikarang Baru, 10 April 2008
Untuk Anakku yang Sedang Menuntut Ilmu di Pesantren.

Ayah terus berdoa, agar engkau rajin belajar dan selalu sadar bahwa Allah selalu mengawasi kita.

Tidak ada komentar: