Rabu, Februari 18, 2009

SENYUM TULUS

Oleh: Choirul Asyhar


Kalau tak salah ini adalah ketiga kalinya saya menulis tentang senyum. Sebuah ekspresi indah yang diciptakan Allah kepada kita. Dengan senyum, kita membuka jendela diri kita agar orang lain mengetahui perasaan bahagia kita. Dengan senyum orang mengetahui bahwa kita membuka diri atas kedatangan mereka. Dengan senyum orang mengetahui bahwa kita menerima tawaran persahabatan. Dengan senyum kita mengabarkan kepada orang lain bahwa kita siap membantu sesama.

Pendeknya dengan senyum kita mengekspresikan rasa senang yang kita miliki.

Ketika seorang tamu mengetuk pintu, senyuman ramah tuan rumah menandakan dia siap menerimanya. Ketika pengemis datang mengucap salam, jawaban minus senyum menandakan kita enggan menerimanya.

Ketika seorang datang meminta maaf atas kesalahpahaman yang terjadi, senyuman ramah bersama uluran tangan menandakan kita dengan senang hati menerima persahabatan kembali.

Ketika seorang datang ke rumah tanpa senyum untuk menagih hutang, sebelum berkata apa-apa kita sudah tahu bahwa dia sedang tidak suka atas keterlambatan kita menyelesaikan kewajiban membayar hutang.

Yang ajaib, senyum itu tak bisa direkayasa. Kabarnya ada ribuan urat syaraf yang bekerja sehingga terbentuklah seuntai senyuman yang tulus ikhlas. Dan ini atas instruksi otak kita. Sebelumnya otak kita menerima pesan-pesan kebahagiaan dari dalam diri kita. Kebahagiaan yang sejati. Penerimaan yang sejati. Bukan dibuat-buat. Maka barangkali senyuman yang dibuat-buat tidak melibatkan full team urat syaraf senyum itu. Sehingga senyuman terasa hambar. Atau ’rasanya’ kurang pas.

Ketulusan senyuman sebab-sebabnya secara pasti hanya diketahui oleh pemilik senyum itu sendiri. Jika dia seratus persen bahagia dan puas maka senyumannya akan tulus seratus persen. Jika dia hanya 80% senangnya, maka ketulusannyapun berkurang kadarnya, sehingga senyumannya kurang manis. Demikian seterusnya, sehingga lama-lamanya senyumnya berasa agak kecut. Yang demikian kita sering menyebutnya dia ’tersenyum kecut’.

Ada keajaiban dan kegaiban saat seseorang tersenyum. Apalagi ketika seseorang tersenyum ketika dia menurut pandangan mata kita sedang menderita. Ketika dalam ukuran kebanyakan orang dia pantas menangis karena serba kekurangan secara ekonomi, justru ternyata kita menyaksikan dia tak kehilangan senyuman tulusnya. Keikhlasan menerima cobaan Allah membuat lukisan senyum di wajahnya menjadi benar-benar indah.
Dan dari sini kita belajar tentang keajaiban bahasa senyum berikutnya. Yaitu ternyata ketulusan senyuman itu tak berkorelasi positif dengan lebarnya sunggingan senyuman. Tak berarti yang tersenyum lebar berarti ketulusannya maksimal. Juga tidak sebaliknya.
Saksikanlah betapa kejadian-kejadian di sekitar kita menjadi guru terbaik.
Ketika dalam ukuran kebanyakan orang dia pantas meringis kesakitan, ternyata justru kita menyaksikan dia mempersembahkan senyuman terindahnya kepada kita. Dan ini benar-benar terjadi. Bahkan justru pada orang-orang yang menurut kita dia telah mati mengenaskan. Tersungging sebuah senyuman yang benar-benar tak mungkin hasil rekayasa.

Kita yang menyaksikan hanya bisa bertanya-tanya kebahagiaan apakah yang membuatnya tersenyum sedemikian ikhlasnya. Mungkin benarlah adanya bahwa gambar surgalah yang membuatnya tersenyum. Seperti yang Allah janjikan bagi orang-orang yang mati dalam khusnul khotimah. Dan meskipun sudah dijanjikan, ini adalah kebahagiaan yang tak terduga. Yang benar-benar pasti menciptakan senyuman tulus tanpa rekayasa. Meskipun hanya sebaris kecil. Meskipun hanya sebuah aura senyuman.

Ya, .... kita menyaksikan!

Wallahu’alam.

Cikarang Baru, 18 Februari 2009

1 komentar:

Anonim mengatakan...

baguskah sekiranya kita menyembunyikan segala sesuatunya dengan senyum...??