Sabtu, Juli 28, 2007

Serial Peluang Korupsi - 1:

Korupsi Menurut Datukku

Ketika duduk di bangku sekolah dasar tahun 1975-an, saya mendapatkan cerita dari ibuku. Bahwa Datuk –panggilan untuk kakekku- melarang anak cucunya bekerja sebagai polisi, pegawai pajak dan hakim. Tiga profesi ini bagi Datuk haram dilakoni oleh anak cucunya. Karena tiga profesi ini dekat dengan praktek suap-menyuap. Saya duga yang dimaksud polisi oleh Datukku adalah polisi lalu lintas, karena orang seawam apapun pasti kenal dengan polantas dan sepak terjangnya.

Transaksi suap menyuap di jalanan antara polisi lalu lintas dan pemilik kendaraan bermotor yang ditilang sudah lama menjadi rahasia umum. Mungkin hampir semua pemakai kendaraan bermotor pernah berurusan dengan polisi lalu lintas. Meskipun belum tentu semua sempat bertransaksi damai. Kondisi ini barangkali yang membuat Datuk berwanti-wanti agar anak cucunya tidak menjadi polisi saat dewasa nanti.

Hakim, kata Datuk, harus berlaku adil. Tidak boleh tersalah dalam menghukum tersangka. Jangan sampai yang salah dibenarkan, yang benar dipenjarakan. Karena itu hakim harus bermental baja dan beriman ikhsan dalam bekerja. Mental baja diperlukan agar tak gentar melawan intimidasi, tak takut melawan preman, tak sedih hidup kaya tanpa harta. Iman ikhsan diperlukan agar selalu merasa diawasi Allah dalam setiap tindak tanduknya. Kusak-kusuk di balik kamar hotel, tak mampu melindunginya dari penglihatan dan pendengaran Allah. Apalagi sekedar uang yang ditutup amplop atau yang di transfer ke rekening pribadi, tak akan membuat Allah kecele dan tak mampu mendeteksi. Rupanya Datuk tak yakin anak cucunya nanti memiliki kedua syarat ini untuk jadi hakim, karena itu beliau melarangnya. Atau paling tidak, meski cuma dua, memenuhi kedua syarat itu sangat berat. Datuk khawatir anak cucunya terjerumus kedalam fitnah ini.

Yang ketiga adalah pegawai pajak. Banyaknya pegawai kantor pajak yang kaya raya membuat Datuk saya yang sederhana ini menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang tak beres dalam mereka mengumpulkan kekayaan. Gaji pegawai negeri jaman dulu itu kecil. (Meskipun sekarang juga –ada yang menganggap- masih kecil). Sehingga sangat transparan bagi orang awam bagaimana si Fulan yang pegawai kantor pajak bisa kaya raya seperti raja. Teman pegawai negeri segolongannya mungkin masih punya rumah tipe 21 dengan tanah 60 m2, tapi pegawai pajak sudah punya rumah yang luasnya berlipat-lipat dengan full renovasi! Rasanya hampir tidak ada pegawai pajak yang hidup pas-pasan apalagi miskin. Kalau ada, jumlahnya sangat sedikit. Jadi bisa disebut hampir tidak ada.

Kalau ada orang menyebut si Fulan adalah pegawai kantor pajak, pasti yang terbanyang adalah pasti si Fulan adalah orang yang kaya raya. Meskipun belakangan di era reformasiSeorang Dirjen Pajak membantah ada praktek koruspsi di jajarannya. Maka ayam tetangga sayapun tertawa terbahak-bahak.

Tidak ada komentar: