Kamis, Februari 14, 2008

Lain di Buku Lain di Lapangan

Ketika mengajari anak belajar, ada sebuah pertanyaan yang sulit saya menjawabnya. Dalam mata pelajaran sains klas 2 SD tentang energi, diajarkan berbagai macam sumber energi, diantaranya listrik, bensin dan minyak tanah.

Mengapa minyak tanah banyak digunakan oleh ibu-ibu di rumah? Demikian kurang lebih bunyi pertanyaannya. Murid saya menjawab: karena bisa menjadi sumber energi. Jawabannya saya anggap benar, meskipun sebenarnya bukan itu maksud pertanyaan itu. Apalagi dalam buku bacaannya tertulis bahwa minyak tanah banyak digunakan dalam rumah tangga karena harganya murah dan mudah didapatkan. Dua alasan terakhir inilah yang seharusnya menjadi jawaban pertanyaan itu. Tapi sengaja saya tutup-tutupi karena ternyata sudah tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Lain di buku lain pula di lapangan. Meskipun buku itu terbitan penerbit terkenal dan berangka tahun 2007, tapi terasa sangat ketinggalan jaman dengan keadaan mutakhir.

Setiap hari di televisi diberitakan tentang antrian ibu-ibu untuk mendapatkan 3 liter minyak tanah. Pemandangan jerigen yang dironce dengan tali tambang yang panjangnya bermeter-meter menjadi tontonan sehari-hari di televisi. Keluhan ibu-ibu, termasuk istri dan pembantu rumah tangga kita, karena kesulitan mendapatkan minyak tanah adalah celoteh sehari-hari di gang-gang pemukiman. Sementara kompor gratis dan gas yang dijanjikan sebagai pengganti minyak tanah tak kunjung tiba. Belakangan gas elpiji 15 kiloan pun sempat raib disembunyikan pedagang.

Ketika listrik padam, biasanya saya menyalakan 2 lampu minyak. Selain lebih aman dan lebih terang, biayanya lebih irit daripada menyalakan lilin. Maka dengan absennya minyak tanah dari kehidupan pemukiman, maka ketika listrik padam pilihan pun jatuh pada masuk kamar dan tidur. Kalau kebiasaan ini berlanjut terus, bisa jadi kelangkaan minyak tanah akan mempengaruhi angka pertumbuhan penduduk secara positif. Jadi kalau pemerintah melanjutkan rencana konversi minyak tanah ke gas, PLN harus meningkatkan pelayanannya menjadi bebas pemadaman listrik. Bukan memadamkan listrik sebebas-bebasnya. Agar tidak terjadi lonjakan jumlah tingkat kelahiran bayi. Wuih... ini teori kependudukan aliran mana?

Kedele

Lalu ada berita baru melengkapi penderitaan rakyat. Yaitu langkanya kedele sehingga harga di pasaran naik 100%. Jika ini berlanjut terus maka tempe tahu suatu saat akan menjadi makanan mahal. Kalau dulu orang malu disebut sebagai bangsa tempe, karena tempe identik dengan makanan murahan (meskipun sebenarnya kualitas asam aminonya tidak murahan, lho), maka nanti sebaliknya orang akan bangga disebut bangsa tempe. Karena mampu beli tempe bararti orang kaya. Apalagi makan tempe adalah makan produk yang berbahan baku impor. Impornya pun dari negara hebat. Ngamerika!

Jadi kelangkaan kedele dan melonjaknya harga kedele adalah sarana promosi yang bagus untuk meningkatkan kedudukan tempe di masyarakat. Dari makanan rakyat jelata yang tak membanggakan, menjadi makanan sehat, bergizi dan bergengsi.

Belum habis resah gelisah mendengar kelangkaan minyak tanah dan kedela, muncul lagi berita baru yang menyesakkan. Harga tepung terigu melonjak pula. Setelah pengrajin tahu tempe gulung tikar kini pengusaha roti pun nyaris mengalami hal yang sama. Lalu harga minyak goreng. Lalu harga semen. Lalu harga beras. Lalu...... Lalu........

Mengajari anak makin sulit..........

Kata toko sebelah juga demikian: ”jualan makin sulit, harga tinggi tapi untungnya ajeg,... malah sering lebih kecil.... Itu juga kalau laku....”

Cikarang Baru, 14 Februari 2008

Tidak ada komentar: