Senin, Desember 24, 2007

Memaknai Idhul Qurban


Seperti tahun-tahun lalu saya dan teman-teman ‘aktifis’ masjid di perumahan kami menggelar acara tahunan, yaitu Idul Adha. Dimana salah satu acaranya adalah melaksanakan pemotongan hewan kurban. Meski turun dibanding tahun lalu, kami memotong 5 ekor sapi dan 41 ekor kambing. Lalu dagingnya yang dikemas dalam 1200 kantong plastic itu didistribusikan ke delapan desa yang ada di Kecamatan Cikarang Timur.

Pekerjaan yang melelahkan, tapi menjadi ringan karena dikerjakan bersama-sama oleh panitia dan aktifis masjid di perumahan kami.

Membelanjakan uang untuk membeli hewan kurban adalah salah satu wujud melaksanakan sunnah Nabi Ibrahim a.s. Dan meskipun harga kambing kurang dari satu juta, tidak semua orang kaya melaksanakannya. Karena ini butuh jiwa pengorbanan dan kemauan yang kuat.

Bekerja dari mengadakan, memotong, menguliti, mencacah, mengemas dan mendistribusikan daging kurban juga adalah salah satu wujud pengorbanan. Di saat orang-orang berlibur panjang akhir tahun, para aktifis ini terus berkerja demi berbagi dengan kaum fakir miskin dan duafa. Dari jam setengah delapan sampai jam dua siang. Belum dihitung rapat-rapat yang dilaksanakan sepekan sekali sejak satu bulan yang lalu.

Tapi, pengorbanan ini meskipun berat bagi sebagian orang karena itu menjadi prestasi tersendiri, belumlah apa-apa dibandingkan dengan pengorbanan Bapak Para Nabi, yaitu Ibrahim khalilullah a.s.

Sepanjang hidup Ibrahim adalah pengorbanan itu sendiri.

Ketika muda, ditengah keluarga dan masyarakat penyembah berhala, Ibrahim berani mengorbankan dirinya demi menegakkan kebenaran yang diyakininya. Perang melawan kemusyrikan.

Meskipun belum mengenal Allah, Ibrahim meyakini kesalahan kebanyakan orang yang menjadikan berhala sebagai Tuhan. Berhala yang tidak bisa berkata-kata, tak bisa mengurus dirinya sendiri apalagi mengurus manusia penyembahnya, bagi Ibrahim tak masuk akal untuk disembah. Maka dia menghancurkan berhala-berhala itu kecuali yang terbesar dengan menggantungkan kapak di lehernya. Agar para penyembah berhala dengan logika ‘ketuhanan’nya akan menyangka bahwa berhala terbesarlah yang menghancurkan berhala-berhala kecil itu. Rupanya para penyembah berhala justru menggunakan logika nurani hatinya, bahwa berhala besar itu tak mungkin mampu menghancurkan berhala-berhala kecil, karena ia hanya sekedar batu yang dipahat. Maka karena mereka telah mengenal siapa Ibrahim sebelumnya. Yaitu sebagai penentang ideology berhala, maka mereka menangkap Ibrahim dan membakarnya.

Pengorbanan pertama dijalankan. Tapi Al Haq membelanya, dan mengganti panas api neraka menjadi dingin yang menyejukkan. Ya naaru kuni bardau wa salaama ’alaa Ibrahiim. Ibrahimpun selamat. Sebagai buah daripada kehanifannya.

Pengorbanan kedua adalah deklarasi ketuhanannya. Perjalanan mencari Tuhan, tidak menjerumuskan Ibrahim dalam kemusyrikan. Ketika bintang, bulan dan matahari sempat memikat hatinya sehingga hampir-hampir saja membuatnya menuhankan benda-benda langit itu, akalnya menidakkannya ketika bintang, bulan dan matahari itu bisa tenggelam dalam pergiliran siang dan malam. Karena logika Ibrahim mengajarkan Tuhan tak mungkin tenggelam. Tuhan itu tidak tidur, tidak istirahat, tidak lengah, tapi selalu hadir, selalu memberi cahaya hidayah, selalu mengawasi makhluknya. Maka kesulitannya menemukan Tuhan membuat dia pasrah kepada Tuhan, siapapun dia, dengan mengatakan Inna sholati, wa nusuki wa mahyaya, wa mamati, lillahi rabbil ’alamin. La syarikalahu wa bidza umirtu, wa ana awwalul muslimin. Sungguh, sholatku, ibadahku, hidup dan matiku, bagi tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu baginya dan kepadanya segala urusan, dan aku termasuk orang yang pertama-tama berserah diri.

Ibrahim mengorbankan dirinya, hidup dan matinya demi Allah semata. Dia pasrah kepada-Nya. Logika hatinya mengantarnya kepada kepasrahan kepada Allah, tuhan yang sebenarnya. Karena itu dia disebut sebagai hanifan muslima. Lurus.

Pengorbanan yang ketiga adalah ketika dia harus melaksanakan perintah Allah. Yaitu meninggalkan istrinya Ibunda Hajar dan anak bayi mereka Ismail, ditanah Bakkah yang kering tandus, tiada air tiada pepohonan di dekat Baitullah Ka’bah. Perintah Allah lebih penting daripada kecintaan kepada keluarga. Karena beliau yakin melaksanakan perintah Allah akan menarik kecintaan-Nya kepadanya. Dan cinta Allah akan mengalir kepada keluarganya. Terbukti, dalam kesendirian, ditinggal Ibrahim memenuhi perintah Allah, Hajar mendapatkan kasih sayang Allah. Setelah bekerja keras, Shofa-Marwa bolak-balik tujuh kali berlari-lari kecil mencari air untuk si bayi Ismail, akhirnya Allah memancarkan air zam-zam dari jejakan-jejakan kaki kecil Ismail a.s.

Sekali lagi pengorbanannya membawa berkah yang melimpah. Bahkan sampai kini, setiap jemaah haji dann umroh dapat merasakan nikmat dan berkah air zam-zam itu. Air yang selalu mengalir tak habis-habisnya.

Pengorbanan keempat.
Adalah seorang Ismail, putra satu-satunya yang sangat dicintainya. Ketika sudah cukup umur untuk membantu pekerjaan Ibrahim a.s, lewat tiga kali mimpi, Ibrahim diperintah Allah untuk menyembelihnya.

Kalau dulu ketika muda Ibrahim dengan mudah memenggal kepala berhala-berhala batu. Karena mereka adalah benda mati dan sumber kemusyrikan. Tapi kini, memenggal manusia hidup dan itu adalah anaknya sendiri. Dan itu adalah anak satu-satunya. Dan itu adalah anak yang sangat didamba-dambakan kelahirannya. Dan itu adalah anak remaja yang kini siap membantunya memikul amanah da’wah. Logika Ibrahim pasti tak mampu mencerna apa maunya Allah ini. Maka Ibrahimpun menyampaikan mimpinya ini kepada Ismail, siapa tahu Ismail dapat memberikan sumbang saran dari masalah yang pelik ini. Rupanya Ismail pun tidak menggunakan logika nafsunya. Maka dia hanya mengatakan, jika ini perintah Allah laksanakan wahai Ayahku, engkau akan menyaksikan bahwa aku termasuk orang yang sabar.

Yang menyembelih dan yang disembelih sudah sepakat. Selesai? Ternyata belum. Setan berkali-kali berusaha menggagalkan rencana ini. Bagi orang yang suka memanjakan logika akan mudah percaya kepada syaitan, karena syaitan juga suka membolak-balikkan logika berfikir. Ibrahim, Ismail dan Hajarpun berusaha dicerahkan oleh syaitan agar menggagalkan rencana gila Ibrahim dan kepasrahan bodoh Ismail ditambah kepercayaan aneh Hajar. Maka ketaatan dan keimanan kepada Allah membulatkan tekat mereka. Syaitan yang berupaya menggagalkan niat suci inipun harus diperangi dengan lemparan batu bertubi-tubi. Tujuh kali di tiga tempat mereka mencoba menggagalkan perintah ini. Yang kini diabadikan dalam ibadah jumrah ’ula, wustha dan aqabah.

Ibrahimpun melaksanakan perintah Allah, tanpa sedikitpun tahu sebelumnya bahwa nantinya Ismail diganti dengan seekor gibas. Bayangkan apalah artinya 5 ekor sapi dan 41 ekor kambing dibandingkan dengan seorang anak kandung remaja gagah dan tampan yang siap membantu berjuang di jalan da’wah.

Bahkan pengorbanan yang akan dilakukan Ibrahim dan Ismail inipun harus dilakukan melalui berbagai rintangan berperang melawan syaitan yang kata Allah adalah musuh yang sebenar-benarnya.

Sedangkan kami yang tahun lalu bisa berkurban 6 ekor sapi dan 60 ekor kambing, kenapa tahun ini menurun menjadi 5 dan 41? Pasti banyak alasan sepele yang dilontarkan sebagai rintangan-rintangan hebat. Tanpa kita melakukan perlawanan berarti untuk melaluinya sebagaimana Ibrahim melawan rintangan syaitan dengan melemparinya karena tekat yang kuat semata untuk berkurban melaksanakan perintah Allah, padahal yang akan dikurbankan bukanlah sapi atau sekedar kambing. Tapi Isma’il alaihis salam.

Allahumma sholli ’ala Muhammad wa ali Muhammad kama shollaita ’ala Ibrahim wa ali Ibramim. Wa baarik ’ala Muhammad wa ali Muhammad kama barakta ’ala Ibrahim wa ali Ibrahim.

Cikarang Baru, Idhul Adha 1428 H

Tidak ada komentar: