Senin, November 12, 2007

Pemandu Gratisan

Ini juga cerita tentang betapa banyaknya cara untuk bersedekah. Salah satunya adalah pengalaman menjadi pemandu. Bukan memandu wisatawan yang berhonor. Tapi ini memandu orang yang tersesat. Tidak berhonor, karena honornya sudah disedekahkan menjadi pahala, jika itu dilakukan dengan ikhlash.

Ini saya tulis bukan dalam rangka riya’, tapi dalam rangka membuka wawasan bahwa peluang bersedekah itu ada di mana-mana. Tidak harus dengan uang. Karena tidak semua obyek sedekah kita membutuhkan uang kita.

Kejadiannya pada hari kedua saya menginjakkan kaki di Tanah Suci Makkah.
Tadi malam setelah melalui perjalanan bus yang melelahkan dari Bandara King Abdul Aziz di Jeddah menuju maktab di Makkah, akhirnya kami tiba juga di hotel sederhana di Shif Amir, kira-kira 500 meter dari Masjidil Haram. Setelah istirahat beberapa jam, jam 7.00 kami bersiap-siap berangkat melaksanakan Umrah wajib.

Alhamdulillah karena jarak yang dekat, perjalanan dari hotel ke Masjidil Haram hanya kami tempuh kurang dari seperempat jam. Setelah ada sedikit penjelasan dari pembimbing, kami langsung melaksanakan umrah. Semuanya berjalan lancar. Jam 11.00 semua sudah selesai tahallul. Ba’da dhuhur kami pulang ke Hotel.

Ketika kami beristirahat di kamar, tiba-tiba ada seorang tua berpakaian ihram keluar dari lift. Celingukan sebentar, dia menyadari kalau kesasar. Kakinya yang tak beralas dan lusuh menunjukkan bahwa dia pun tidak menemukan sandalnya di Masjidil Haram karena mungkin keluar dari pintu yang berbeda dengan ketika memasukinya. Seorang teman menegaskan bahwa dia salah hotel atau salah kamar. Pak tua segera berbalik. Ke arah tangga, dia segera menuruni tangga. Lalu saya mengejarnya. Saya tanya ”Bapak dari mana?” Dari Bima, katanya.

Bapak di Maktab berapa? Tanya saya. Dia menggeleng. Kloter berapa dia juga tak tahu. Gelang ditangannya yang bergravir nama dan kloter asalnya pun tak terpasang. Tas Paspor di lehernya juga tak ada. Katanya ditinggal di hotel.

Saya ingat di lantai bawah ada kamar pimpinan kloter. Maka saya ajak Bapak ini ke sana. Ternyata pimpinan kloter tak mengenali, pertanda dia bukan berasal dari kloternya. Lalu saya ajak dia keluar hotel. Dia melayangkan pandangannya mengamati hotel-hotel di sekitarnya. Sampai matanya berhenti menemukan sebuah tanda yang dikenalinya. Ada teralis besi di tangga hotelnya. ”Itu hotel saya!” katanya gembira. Sayapun mengantarnya ke sana. Saya ingatkan agar dia mengingat-ingat nomor maktab yang tertera di dinding depan hotelnya itu.

Di depan pintu penjaga hotel menanyakan ID card nya. Saya jawab ’ma fi’, tak ada. Lalu saya lanjutkan dengan bahasa tarzan, sehingga akhirnya si Bapak diperbolehkan masuk. Alhamdulillah.

Baru saja masuk ke kamar setelah mengantarkan Bapak dari Bima itu, tiba-tiba muncul lagi seorang Ibu tua ke lantai kami. Seperti Bapak tadi, begitu keluar dari lift, dia langsung menyadari kalau dia salah lantai. Segera dia pergi berbalik.

Merasakan nikmatnya jadi guide barusan, maka sayapun segera mengejarnya. Saya ajak masuk ke lift. ”Ibu dari mana?” sapa saya. Dia menjawab dengan bahasa yang saya tak mengerti. Kalau bahasa Sunda, Minang, Melayu saya sedikit-sedikit bisa memahami. ”Kloter berapa?” Dia tak menjawab. Malah ada raut ketakutan di wajahnya. Saya ulangi pertanyaan saya. Tak ada jawaban. Kepala botak saya setelah tahallul dan jenggot saya yang keriting mungkin menakutkannya. Mungkin saya dikira orang asing. Padahal saya wong jowo asli. Sampai akhirnya saya simpulkan dia tak bisa berbahasa Indonesia.

Biar dia tidak takut, saya menepuk dada saya sambil berkata ”Jakarta, Indonesia”. Maksud saya, jangan takut saya dari Jakarta, Indonesia juga. Alhamdulillah ada sedikit senyum di wajahnya. Sementara dalam hati saya menyimpulkan dia dari Bima juga. Karena ciri-ciri fisik dan logatnya, serta pengalaman mengantar Bapak Bima yang kesasar tadi.

Saya ingat di salah satu lantai di hotel ini ada orang Bima. Maka saya antar si Ibu ke kamarnya. Benar dugaan saya. Meskipun si Ibu ini bukan rombongannya, tapi orang Bima ini bisa mengajaknya komunikasi dan berjanji mau mengantar ke Maktab si Ibu. Alhamdulillah.

Saya pun ngeloyor pergi kembali nyilem ke kamar saya.

Cikarang, 06 November 2007 08.40 pm

Tidak ada komentar: