Rabu, November 14, 2007

Mahalnya Nilai Sholat


Sering kita cepat terpanggil oleh azdan. Begitu azdan dikumandangkan kita cepat berangkat ke Masjid dan shalat. Masalahnya bagaimana jika tidak ada Masjid di sekitar kita. Bahkan tidak ada adzan. Berikut tulisan teman saya Ardiansyah Kimiawan yang saya pulung dari mailbox saya atas izinnya:

Shalat ?? ya tinggal shalat, apa susahnya. Kalau anda naik mobil, cari masjid di pinggir jalan, minggirkan mobil, lalu shalat. Kalau anda sedang berjalan-jalan, di mall megah sekali-pun, anda tinggal tanya ke satpam, lalu (biasanya) meluncur ke basement, ambil air wudhu, langsung Shalat.

Tapi bagi teman saya yang pekerjaannya travelling ke negara2 ( yang sebagian besar bukan negara komunitas muslim ) maka Shalat menjadi sebuah barang mewah, dan memerlukan perjuangan yang besar.
Untuk mengetahui waktu shalat, dengan bantuan teknologi, tidak ada masalah. tetapi ketika hendak melaksanakan shalat, masalah mulai muncul. Sebagai seorang yang sedang bekerja, bukan wisatawan, jam-jam shalat kadangkala bertepatan dengan waktu dia harus presentasi di depan klien, atau sedang menghadiri rapat, atau malah kadang sedang dijamu oleh kliennya. Jadi seringkali waktu shalatnya digabung ( di jama').
Kerepotan ditambah saat hendak berwudhu. Banyak toilet di negara maju yang menggunakan sistem toilet kering, jadi jangan sampai anda membayangkan ada bak mandi plus gayung tersedia. Akhirnya westafel pun jadi sasaran. Dan sudah pernah dia tegur satpam gara-gara menaikkan kakinya ke westafel saat membasuh kaki.
Lalu yang terakhir, tempat untuk shalat. Memang sang teman biasa bawa sajadah, tapi mau shalat dimana ? Kadang ada pojokan, tapi kotor. Yang rada bersih, penuh orang berlalu lalang. Benar-benar susah, sampai-sampai andalan terakhir bila memang tidak menemukan tempat shalat adalah shalat di Hotel pada malam harinya.
"Mungkin bila seminggu sekali-dua kali, saya masih bisa menghibur diri, pasti Allah akan mengerti. Tapi kalau setiap hari saya menghadapi hal ini, tentu saya jadi berpikir, impaskah ditukark akhirat-ku dengan urusan duniawi begini." Keluhnya sambil memandang sepiring nasi padang, saat kami bertemu di Jakarta.
Ketika hendak berpisah, sambil menjabat erat tangan saya, sang teman berkata."Shalat sangat mudah disini, nikmatilah, reguk-lah sepuas-puasnya. Jangan abaikan kenikmatan ini, sungguh kita baru akan sadar akan suatu rahmat bila rahmat itu sudah tidak kita temukan lagi.!"
Insya Allah, bisik saya. Betapa terbukanya mata saya betapa kita amat sangat dimanja. Adzan dari masjid atau TV akan mengingatkan kita akan waktu shalat, dengan mudah kita bisa bergegas ke masjid atau mushala, bahkan di waktu kerja pun, atasan ( non muslim sekalipun ) tidak berani melarang kita shalat, benar-benar sebuah kemewahan bagi saudara-saudara kita yang tidak tinggal di negara Muslim.

Sayangnya kita seringkali mengabaikan kemewahan yang kita punya.
Cikarang, 10 agustus 2007

Tidak ada komentar: