Sabtu, November 17, 2007

Dalam Arus Thawaf Aku Dimana



Bagi teman-teman yang akan menunaikan ibadah Haji, saya titip oleh-oleh ini. Satu dari sekian serpihan catatan perjalanan saya dua tahun yang lalu. Semoga bermanfaat.
Satu lagi, sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah ketika sahabatnya Umar Bin Khottob berpamitan untuk menunaikan umroh, ”sisipkan namaku dalam do’a-do’amu.”

Untuk Pak Harmanto, saya pinjam gambar thawafnya, ya. Jazakallah akhsanul jaza’

DALAM ARUS THAWAF AKU DIMANA

Dari penginapan ke Masjidil Haram kami berjalan kaki, karena jaraknya cuma setengah kilometer. Sepanjang jalan kami membaca talbiyah. Seperempat jam kemudian tak terasa kami sudah sampai di halaman Masjidil Haram. Ustadz dari KBIH memberikan penjelasan seperlunya. Lalu kami serombongan bergerak maju memasuki Masjidil Haram. Tidak lupa kami membacakan do’a-do’a tertentu sebagaimana yang diajarkan dalam buku manasik haji dari Depag.

Kami langsung menuju pelataran Ka’bah untuk melaksanakan thawaf.
Begitu melihat Ka’bah rasa haru menggantung. Kalau berkaca, mungkin terlihat mukaku mulai mewek pengen nangis. Ka’bah yang selama ini hanya aku lihat di gambar-gambar sajadah, cover-cover buku manasik atau VCD manasik haji, kini tepat berada di depan mata. Dengan lautan manusia yang terus berputar berlawanan arah jarum jam. Berlapis-lapis. Dari yang paling dekat dengan Ka’bah, lapisan berikutnya, berikutnya dan sampai lingkaran terjauh dari pusat pusaran yaitu Ka’bah. Bahkan kemudian ku ketahui, lautan manusia yang berthawaf itu juga ada di lantai dua dan lantai tiga Masjidil Haram.

Aku lalu mencebur ke dalam lautan manusia itu, dimulai dari garis coklat sejajar hajar aswad. Bismillahi Allahu Akbar. Lalu larut dalam pusaran manusia berkain serba putih mengelilingi Baitullah. Arus lautan manusia menghanyutkanku ke dalamnya. Do’a-do’a yang mengalir dari mulutku menghanyutkanku ke dalam derai air mata. Aku merasakan Allah sangat-sangat dekat. Seperti firman-Nya: Fa idza sa’alaka ‘ibadii ‘annii fa innii qoriib. Apabila hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka sungguh Aku sangat dekat.

Do’a-do’aku makin menenggelamkan aku dalam air mata yang mengucur makin deras. Apalagi jika mengingat firman-Nya bahwa Dia akan mengabulkan do’a yang hanya ditujukan kepada-Nya saja: Ujiibu da’watadda’i idza da’ani fal yas tajibuli. Seakan kinilah saat-Nya aku minta apa saja kepada Rab-ku Allah azza wajalla, arhamar rohimin. Yang Maha Pengasih diantara para pengasih. Aku panjatkan semua do’a-do’a yang aku hafal dan aku pahami. Aku hayati maknanya. Semakin aku resapi semakin deras air mata terperas. Do’a yang yang sering meluncur dari mulutku selama ini, menjadi mantera agung. Maknanya menyadarkanku betapa do’a ini, jika dikabulkan Allah, itu semata-mata hanya karena kasih sayang-Nya saja. Karena aku yang sedang berdo’a ini, betapa jauh dari manusia ideal yang pantas mendapatkan ridho-Nya dan sorga-Nya. Karena kasih sayang-Nya sajalah jika aku lalu dijauhkan dari kedahsyatan neraka. Sebagaimana do’a yang aku panjatkan berkali-kali sambil terus bergerak di arus lambat di antara rukun Yamani sampai garis Hajar Aswad: Rabbana atinaa fid dunya hasanah, wa fil akhiroti hasanah wa qinaa ‘adza bannar, wa adhilnal jannata ma’al abror ya Aziz, ya Ghoffar, ya Rabbal ’alamin.

Setiap selesai satu putaran thawaf, aku berhenti di garis coklat. Lalu melambaikan tangan menghadap hajar aswad sambil mengucapkan Bismillahi Allahu Akbar, sebagaimana yang diajarkan Rasulullah Muhammad SAW. Dengan nama Allah, Allah yang Maha Besar. Maka aku merasa mengkerut mengecil. Aku sangat kecil. Jangankan di hadapan Allah, di antara lautan manusia inipun aku bukan apa-apa. Aku manusia tak dikenal, yang sedang hanyut di dalam lautan ribuan, jutaan manusia dari berbagai bangsa. Aku manusia biasa tanpa atribut apa-apa. Pakaianku hanya dua lembar kain putih tak berjahit tak bermodel. Model mutakhir kain ihrom dari dulu hingga sekarang ya seperti ini, hanya dua lembar kain putih. Yang satu disarungkan yang satu disampirkan di pundak. Apa yang aku pantas banggakan dengan pakaian model begini? Kalau ada assesories yang paling mewah yang menempel di kain ihromku, itu adalah gesper gede, yang mungkin tidak bakalan aku kenakan nanti ketika aku mulai ngantor lagi karena nggak modis sama sekali. Kalau ada tas yang aku bawa, itu adalah tas paspor yang berisi tanda pengenal, yang harus aku bawa kemana-mana agar bila Allah menakdirkan aku mati hanyut di lautan manusia ini, petugas haji bisa mengenali siapa aku. Itupun hanya untuk diumumkan oleh Daker selanjutnya diinfokan oleh televisi dan koran di tanah air. Setelah itu mayatku akan dikubur di kuburan Ma’la tanpa label nama dan tanpa nisan. Aku yang kecil dan tak bermakna ini, maka pantaslah jika terus dan terus melantunkan do’a-do’a dengan penuh harap dan cemas agar Allah mengabulkannya. Tak apalah aku tenggelam dalam derai air mata. Memohonkan ampunan dari Allah. Daripada aku harus tenggelam ke dalam jilatan api neraka jahannam di kehidupan kedua yang abadi nanti.

Putaran demi putaran aku nikmati. Saat itu aku pun siap mati. Do’a dan permohonan ampunan dikabulkan Allah pasti. Karena ini tempat mustajabah. Saya yakin itu.

Tidak ada komentar: