Minggu, Oktober 05, 2008

Alhamdulillah-ku, Dulu Dan Kini

“Alhamdulillah…. Alhamdulillah….” Gumamku sore ini mengiringi kepergian pengunjung tokoku. Ini adalah alhamdulillah ku yang ke sekian kalinya dalam hari ini. Dan alhamdulillah-ku sore ini adalah yang paling tulus muncul dari lubuk hatiku paling dalam.

Sejak pagi hingga sore tokoku buka, baru sore ini ada pengunjung yang jadi beli. Makanya aku bersyukur sangat-sangat-sangat dalam. Alhamdulillah... alhamdulillah... alhamdulillah... demikian bibirku mengucap syukur berkali-kali untuk sepotong baju yang laku terjual.

Sejenak anganku melayang ke beberapa tahun yang lalu. Saat itu betapa mudahnya aku mendapatkan uang. Setiap bulan gaji terkirim ke rekeningku adalah sebuah kepastian. Setiap tanggal 25 aku cukup mengecek bahwa gaji sudah masuk ke rekeningku. Sering malah, teman-teman dan anak buah yang memberi tahu bahwa gaji sudah ditransfer. ”Wow, berarti sudah gajian.” gumamku dalam hati tanpa segera bangkit bergegas mengambilnya ke ATM yang tersedia di lingkungan kantor. Jarang pula diiringi dengan kalimat syukur Alhamdulillah.

Ada logika bawah sadar: capek bekerja setiap hari selama sebulan sudah pasti dibayar oleh perusahaan dengan mentransfer gajiku setiap tanggal 25. Terima gaji adalah kepastian. Karena transfer gaji adalah kewajiban perusahaan. Terima gaji adalah keharusan. Jika perusahaan terlambat transfer, tinggal komplain saja.

Kalimat Alhamdulillah hanya ada pada bacaan Al fatihah dan dzikir setelah shalat fardhu. Atau pada saat terima penghasilan tambahan di luar gaji. Dengan kadar kekhusyukan dan kesyukuran seadanya. Karena perolehannya sudah dapat diduga sebelumnya.

Kini, setiap ada pembeli masuk ke toko, kusambut dengan Alhamdulillah. Ketika jadi beli, kuiringi kepergiannya dengan Alhamdulillah. Lalu kucatat dalam buku penjualan dengan senandung lirih Alhamdulillah.... alhamdulillah .... alhamdulillah.

Benar, setiap aku menerima uang penjualan, Alhamdulillah selalu menghiasinya. Syukurku tak habis-habisnya. Betapa tidak, setiap hari aku buka toko. Tapi tidak berarti selalu ada penjualan dengan jumlah tertentu. Pendapatkanku tidak dapat dihitung dengan pasti sekian rupiah per jam seperti ketika aku jadi karyawan dulu. Ada kalanya sehari aku hanya mendapatkan beberapa puluh ribu. Di hari berikutnya mendapatkan di atas sejuta rupiah.

Maka lantunan Alhamdulillah bagai simphoni indah yang selalu mengiringiku mengais rizki Allah. Karena Allah serasa begitu dekat. Selalu mengabulkan doa-doaku dengan mendatangkan reziki-Nya melalui para pembeli yang datang ke tokoku.

Lalu aku mensyukurinya. Lalu Allah mendatangkan lagi rizki-Nya. Lalu aku lebih mensyukurinya. Lalu rizki itu datang lagi dan lagi tanpa aku bisa memperkirakan jumlahnya.

Aku menyaksikan benar kalimat-Nya:

La in syakartum, la aziidannakum.
Wa la in kafartum, inna adzaabi lasyadiid.

Shadaqallahul ’adhim. Wa ballagha rasuluhu al karim. Wa nahnu ’ala dzalika minasyahidin.

Tidak ada komentar: