Sabtu, Oktober 06, 2007

Imam Masjid

Sebulan ini benar-benar sepi. Sepi orderan jadi imam masjid. Memang ini bukan sebuah profesi. Karena jadi imam tidak dibayar.

Di dekat rumah ada masjid yang lumayan besar. Tahun-tahun lalu, bahkan beberapa bulan lalu saya sering diminta mengimami sholat lima waktu, jika saya pas hadir di masjid itu. Bagi saya mengimami sholat sangat menyenangkan. Bagaimana tidak, memimpin muslimin menghadap Allah. Betapa tidak membanggakan. Apalagi dengan menjadi imam hafalan kita jadi terjaga, bahkan bisa bertambah karena kita terpacu untuk memperbanyak variasi bacaan surat, karena tidak ingin surat yang dibaca itu-itu melulu.
Tapi jadi imam juga riskan. Beresiko sholat kita tidak diterima oleh Allah. Karena terbersit perasaan riya’ ketika berdiri di depan. Ini lho aku sang imam, pemimpin sholat menghadap Allah. Wuih, suaraku bagus sekali, pasti banyak jamaah yang terhanyut mendengarnya. Ck... ck... bacaanku fasih dan tartil, makmum pasti mudah memaknainya. Kalau paham pasti air mata akan tumpah di pipi sampai jenggot. Ooo... Pantas saja sang Imam membacanya sambil menangis, wong bacaannya indah dan maknanya gamblang berisi berita gembira dan ancaman. Wah, hebat, imamnya hafalannya oke banget. Dia hafal ayat-ayat yang tidak umum dibaca imam-imam lain.

Selain riya’ sholat bisa tertolak jika bacaan imam sering salah. Meleset panjang dan pendeknya harokat. Belum kalau salah membaca tertukar dhommah dibaca fathah, yang bisa merubah makna pelaku justru menjadi obyek atau sebaliknya. Atau salah membaca ya menjadi ta yang bisa merubah siapa pelakunya dia atau kamu atau dia itu laki-laki atau perempuan. Kalau makmumnya faham maka pasti sang makmum akan gelisah... karena makna ayat yang dibaca jadi kacau balau. Bahkan tak bermakna. Kegelisahan saja mungkin selesai. Tapi kalau makmum dongkol dalam hatinya. Ada gerundelan di dalam hatinya, misalnya “makanya belajar tahsin, biar bagus bacaannya. Lagian, di masjid ada kursus bahasa Arab, gak pernah mau hadir. Jadinya bacaannya acak-acakan. Udah gitu diingetin susah, habis suara imam melalui pengeras suara sering menelan teguran makmum.” Kayak gini kok mau aja disuruh jadi imam. Yang terakhir ini memang rancu juga. Yang salah yang nyuruh apa yang disuruh, ya. Yang jelas, akan terjadi konflik meskipun dalam hati antara sebagian makmum dengan makmum lainnya yang tak paham apa yang salah dengan bacaan sang imam.

Rasulullah pernah bersabda bahwa sholat kita akan tertolak jika imamnya dibenci oleh makmum. Artinya kepemimpinannya delegitimate karena gak disukai oleh rakyatnya.
Nah, lho. Makanya jadi imam tidak mudah. Tidak sekedar kebanggaan jadi pemimpin. Tapi harus bisa memimpin. Memberi dan Melayani. Memberikan bacaan yang terbaik sehingga makmum khusyuk sholatnya karena makmum bisa mendengar dengan hatinya. Melayani makmum sehingga makmum merasa dituntun berjalan atau bercakap-cakap dengan Allah.

Karena itu pulalah, sebenarnya kenapa saya sering menolak diminta jadi imam ketika hadir pula di masjid orang yang lebih baik bacaannya dan lebih banyak hafalannya daripada saya. Mungkin karena sering menolak maka lama kelamaan orang tidak pernah lagi meminta saya jadi imam. Jadinya sekarang saya sepi orderan.

Kata Ustadz saya, kalau diminta jadi imam jangan menolak. Berbuat baik itu harus berlomba-lomba. Bukan mempersilakan orang lain berbuat duluan. Ini juga sering terjadi dalam hal mengisi shof di depan jika kita lihat ada yang kosong. Jangan mempersilakan orang lain maju sementara kita tetap tegak di tempat kita. Padahal kita lebih dekat daripada tempat kosong itu. Segera ambil ladang pahala yang disediakan Allah itu. Fastabiqul khoirot.

Masalah bacaan yang belum bagus? Ya… belajar, dong! Toh jadi imam atau tidak kita tetap dituntut untuk memperbagus bacaan kita. Warattilil qur’aana tartiila. Kata Allah dalam surat al Muzammil ayat 4. Kalau selalu mempersilakan orang jadi imam, kita tidak akan terpacu untuk belajar jadi lebih baik. Dalam hati ada apologi ’Toh, saya bukan imam ini.’ Kalau jadi imam ’kan mau nggak mau pasti kita akan belajar berpenampilan lebih baik. Demi riya’? Jangan! Tapi demi memberi dan melayani para jamaah. Menjadi terbaik tidak harus demi pujian orang. Tapi demi menebar rahmat, memberi dan melayani tadi.

Masalah pujian yang datang itu manusiawi. Itu salah satu bahasa komunikasi. Ada pujian ada basa basi demi melembutkan hubungan sesama manusia. Bayangkan kalau kita tidak pernah memuji atau dipuji orang. Hubungan antar manusia akan kering kerontang. Alasan pujian itu hanya milik Allah, jangan menghalangi kita untuk menghargai kehebatan seseorang. Tinggal kita kalau dipuji harus pandai mengelolanya, mengembalikan pujian itu kepada pemiliknya. Yaitu Allahu Rabbul ’alamin dengan ucapan ”Terima kasih, Alhamdulillahi rabbil ’alamin, saya bisa begini berkat izin dan pertolongan Allah. Segala pujian hanya milik Allah.”

Kalau tidak pandai-pandai kita bisa terperangkap dalam jeratan riya’. Setan sering membisik-bisiki manusia yang rajin beramal. “Awas lho, riya’”. Katanya seperti penasehat spiritual saja. “Percuma kamu beramal kalau riya’”. Saking seringnya bisikan ini sampai ke hati kita, maka kita menghentikan amal kita. Iya ya, ngapain beramal kalau tidak ikhlas. Ngapain beramal kalau tertolak karena riya’. Lalu karena takut riya’ maka kita tidak berbuat apa-apa. Dan ini berarti kita terjerembap dalam perangkap yang lain. Yaitu tidak beramal. Kalau tak beramal wajar saja tidak bakal riya’. Apa yang dibanggakan kalau tidak mengerjakan apa-apa. Apa yang diriya’kan wong tidak ada amal. Padahal mestinya tidak demikian. Takut riya’? Lawan dengan ikhlash! Karena lawan dari kata riya’ adalah ikhlas. Bukan tidak bekerja apa-apa.

Akhirnya, riya’ dosa, tidak beramal tidak mendapat pahala. Bahkan bisa juga menjurus ke dosa, misalnya kita cuek dengan lingkungan karena takut riya’, maka kita tidak peduli dengan kemaksiyatan yang terjadi. Jadi riya’ dosa, tidak beramal juga dosa. Benar-benar perangkap setan yang canggih.

Subuh tadi, karena lama tidak menjadi imam, maka ketika mengimami shalat, banyak ayat-ayat yang selama ini sudah saya hafal ‘ngelotok’, seperti macet di rongga mulut saya. Ketika shalat selesai, hafalan kembali lincah bergerak meluncur dari mulut. Demi penyesalan itu, maka saya membuat tulisan ini: Memang sedih tidak banyak order lagi. Amal kurang, hafalan hilang. Keikhlasan tak terasah.

Ya, Allah ampuni aku. Beri aku kesempatan sekali lagi. Mudahkan aku belajar membaca yang benar dan menghafal ayat-ayatmu. Mudahkan aku mempelajari ayat-ayatmu agar amalku lebih berkualitas. Jauhkan dari riya’ ganti dengan keihklasan selalu.

Hadanallahu wa iyyakum ajmain.

Cikarang Baru, 24 Ramadhan 1428 H/7 Oktober 2007

Tidak ada komentar: