Senin, Oktober 22, 2007

Mudik: Perlukah?



Mudik bagi sebagian orang adalah saat yang ditunggu-tunggu. Tapi bagi sebagian yang lain acara ini sangat menegangkan bahkan menakutkan. Dengan berbagai alasan para penggemar acara mudik menganggap ini sebagai ajang silaturahim dengan orang tua dan kaum kerabat di kampong. Di saat yang sama bisa dijadikan ajang ’menyiarkan’ nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadanya dengan kelimpahan rezki. Karena itu mereka rela berdesakan di terminal bis dan kereta, antri tiket, berjubel di dalam bis dan kereta, lalu bermacet-macetan di jalanan. Bagi yang mengemudikan mobil pribadinya, cape di jalan rasanya akan segera terobati dengan kangennya berlabuh di kampung halaman.

Saya sendiri termasuk kelompok yang merasakan ketegangan dan ketakutan ketika harus mudik. Bayangan kemacetan di jalan; panas karena mobil saya tanpa AC; atau ketakutan mobil mogok; dengkul lemas karena kaki sibuk menyeimbangkan kopling dan gas, selalu mengahantui saya satu dua hari sebelum berangkat. Belum lagi urusan packing barang bawaan. Meskipun yang ini sudah bisa di handle istri. Maka paling tidak sehari sebelum berangkat saya harus banyak tidur di rumah. Bahkan sampai 3 jam menjelang berangkat saya masih berusaha tidur pulas. Meskipun agak susah karena stress.

Paling tidak dua tahun sekali saya harus mengemudikan mobil dari Bekasi ke Surabaya. Memang tidak ada rebutan ke ortu atau mertua, karena sudah ada jatahnya masing2. Jika tahun ini ke mertua di Tangerang, maka tahun depan ke ortu di Surabaya. Sangat melelahkan, lha wong nyopir 20-21 jam meskipun diselingi total istirahat 3-4 jam. Tapi apa boleh buat. Untuk ketemu ortu dan kerabat memang inilah saatnya, karena libur panjang ya saat inilah musimnya. Meskipun kita TDA, anak-anak kita kan punya libur sekolah panjang ya hari-hari gini. Dan musim liburan inilah saat efektif ketemu banyak kerabat, karena mereka semua juga liburan ke ortu dan mertua yang sama. Jadi masalah pemborosan, masih bisa diperdebatkan.


Bekasi-Surabaya PP bisa menghabiskan bensin saja sekitar 900 ribu sampai sejuta. Tapi di Surabaya kita bisa silaturahim ke banyak kerabat. Bayangkan jika kita mudik di luar lebaran. Dengan biaya yang sama mungkin hanya ketemu ortu saja. Akhirnya dengan pikiran demikian, meski melelahkan, menegangkan dan bahkan menakutkan kami toh mudik juga. Wal hasil jalanan tumpah ruah oleh para pemudik. Baik yang gembira maupun yang ketakutan.


Belakangan dengan bertambahnya ilmu, yang meresahkan saya adalah kenapa liburan panjang ada pada saat iedul fitri? Kalau bisa sih digeser di iedul adha.


Kenapa demikian? Karena sebelum idul fitri, konsentrasi kita di 10 hari terakhir ramadhan akan terpecah. Antara apakah meningkatkan kualitas ibadah ramadan dengan i'tikaf, misalnya. Ataukah menyiapkan segala sesuatunya untuk bekal mudik, pakaian dan kue-kue lebaran? Yang pertama dijanjikan lailatul qadar sebagai bekal bagi mudik ke kampung akhirat, yang kedua dijanjikan ketemu keluarga di kampung dunia. Kalau jujur, pasti kita memilih bekal bagi kampung akhirat.


Makanya bagaimana agar mudik jalan terus, dan ramadhan kita tetap terjaga? Maka saya bermimpi libur panjang digeser ke idul adha. Selain pulang kampung mengunjungi kerabat dan ortu, kita bisa melaksanakan ibadah qurban di kampung halaman yang mungkin lebih membutuhkan daripada di kota-kota besar, tempat kita mengais rezeki.


SELAMAT IDUL FITRI 1428H

Taqabbalallahu Minna Wa Minkum,Shiyamana wa shiyamakum.

Mohon maaf lahir dan batin.

Semoga Allah mempertemukan kita di Ramadhan tahun depan.

Tidak ada komentar: