Sabtu, November 10, 2007

Berjaga di Hijir Ismail

Mengantar teman-teman yang akan berangkat menunaikan Ibadah Haji, saya kembali menulis pengalaman rohani sekitar ibadah ini. Semoga mencerahkan:

Berjaga di Hijir Isma’il

Salah satu tempat mustajabah di Makkah al Mukarramah adalah Hijir Isma’il. Sebuah tempat di dekat Ka’bah yang dibatasi dengan sebuah tembok berbentuk setengan lingkaran setinggi dada rata-rata orang Arab. Tempat ini adalah bagian dari Ka’bah. Konon setelah ka’bah terlanda banjir pada zaman sahabat, kaum Muslimin tidak memiliki cukup uang untuk membangunnya kembali, sehingga jadilah dinding setinggi dada ini. Karena itu shalat di dalamnya sama dengan shalat di dalam Kabah.

Sangat disayangkan ternyata selama 31 hari saya di Makkah hanya sekali saya shalat sunnah di sini. Entah kenapa saya dan istri seperti terlupa mengincar tempat ini. Padahal kami selalu tidak ketinggalan berdoa dan shalat sunnah di Maqam Ibrahim begitu selesai thawaf. Saya juga sempatkan berdoa apa saja di Multazam atau yang sejajar dengannya. Juga ketika sa’i, saya dan istri berhenti lama di bukit Syafa dan Marwa untuk berdoa apa saja seperti yang disunnahkan oleh Rasullullah Muhammad. Tapi Alhamdulillah penyesalan ini sungguh telah terobati ketika saya mendapatkan pengalaman yang sangat mengesankan di dalamnya.

Bermula dari keinginan saya dan istri mencium hajar aswad, sebuah batu yang terletak di salah satu sudut Ka’bah. Selama ini saya benar-benar putus asa untuk bisa melakukannya. Semakin mendekati Ka’bah, arus tawaf semakin kuat. Istri saya pernah sesak nafas ketika bersama saya mencoba mendekati Hajar Aswad. Akhirnya demi menghindari mudharat, kami keluar dari arus deras ini.

Makanya suatu hari kami bertekad untuk mabit atau bermalam di Masjidil Haram. Harapan kami suatu saat entah jam 1 atau jam 2 pagi, jumlah jamaah yang tawaf berkurang drastis, lalu kami leluasa mencium Hajar Aswad. Tapi ternyata, saat yang kami tunggu tak kunjung hadir. Jumlah jamaah yang bertawaf rasanya tak berkurang, tak bertambah. Jamaah datang dan pergi, kapanpun. Pagi, siang, sore, malam maupun larut malam, bahkan dini hari. Inilah Haji! Masjidil Haram sepi hanya pada saat jamaah haji berwukuf di Arafah dan bermalam di Mina!

Untuk mengganti kekecewaan itu, maka kami tawaf saja. Mencium Hajar Aswad hanya dilakukan dengan cium jauh saja sebagaimana yang juga diajarkan Rasulullah. Setelah tawaf itu kami mendekat ke Hijir Isma’il. Karena pada putaran terakhir tawaf saya sempat melihat Hijir Isma’il tidak penuh dengan pengunjung.

Ketika saya sampai di situ saya lihat hanya ada beberapa orang saja yang shalat. Saya pikir ini kesempatan yang langka. Saya akan manfaatkan waktu sepuas-puasnya shalat dua rakaat dan berdoa sebanyak-banyaknya. Tapi ketika mau masuk saya ditahan oleh seorang askar. Dia menjelaskan dengan Bahasa Arab kenapa Hijir Ismail ditutup. Penjelasan yang tak saya mengerti karena saya tidak paham Bahasa Arab. Beberapa saat kemudian datang seorang petugas mengendarai mobil pembersih lantai. Oo, ternyata mau dipel dulu, setelah seharian terus menerus dikunjungi jamaah haji. Saya dan istri pun berjaga saja di dekat jalan masuknya. Entah seperempat atau setengah jam kami di situ. Bagi kami waktu di Tanah Haram ini, tak ada yang sia-sia. Apapun kami lakukan asal untuk beribadah. Kalau di dunia materialis berlaku ’time is money’, di sini berlaku ’time is ibadah’. Menunggu setengah jam pun tak ada masalah. Karena sebentar lagi kami akan melaksanakan shalat dan berdoa di tempat yang mustajabah.

Bagai peserta lomba maraton, kami dan jamaah yang menunggu dari tadi segera berdesak-desakan masuk ke Hijir Ismail begitu askar membuka ’pintu’nya. Astaghfirullah, kami serasa ciut. Tempat yang tadi lapang, seketika menjadi sempit. Entah berapa puluh orang yang masuk ke area ini. Mungkin malah ratusan. Jangankan shalat dua rakaat. Berdoapun kami tak bisa berdiri tegak. Dorongan dari kanan kiri depan dan belakang, membuat kami tak bisa tegak khusuk berdoa. Jangan coba-coba duduk, karena kalau terinjak-injak tak ada yang bisa disalahkan.

Rasa putus asa mulai muncul, jika saja tidak muncul inisiatif seorang jamaah haji. Bersama beberapa temannya dia membuat pagar betis melindungi beberapa orang yang sedang nekat melaksanakan shalat. Tanpa dikomando, beberapa orang lainnya ikut melakukan hal yang sama. Mempersilakan sebagian jamaah shalat dan berdoa, dan sebagian yang lain menjadi pagar betisnya. Oh pemandangan yang indah. Tiba-tiba kompetisi berubah menjadi sinergi. Pesaing menjadi mitra. Kesadaran itu menguntungkan semua yang hadir di situ. Kalau terus berebut, mungkin tak satupun jamaah yang berhasil shalat dan khusuk berdoa. Maka sayapun setelah menjadi pagar betis, kini bersama istri beroleh kesempatan shalat dua rakaat dilanjutkan dengan doa-doa yang kami sudah siapkan. Hanya saja, beberapa doa tak terucap karena terhapus air mata yang tiba-tiba mengalir deras.

Cikarang, 28 Syawal 1428H/ 9 November 2007

*Oh indahnya, ukhuwah telah menyelesaikan banyak masalah.

Tidak ada komentar: