Jumat, September 07, 2007

Serial Peluang Korupsi - 5:

Di Jalan Raya (1)

Untuk menambah mengepul dapur istri, saya memberdayakan mobil carry saya dengan mengangkut anak-anak sekolah. Hitung-hitung sekalian mengantar anak saya sekolah juga. Sekitar lima tahun saya menjalankan usaha hidup seperti ini. Alhamdulillah bisa menggaji sopir dan membuat mobil saya bisa berjalan karena ada uang bensin dan oli lebih dari cukup. Tidak ada halangan berarti, sampai suatu ketika mobil saya dicegat oleh polantas. Mobil saya ditilang karena tidak memiliki izin usaha bus sekolah. Saya yang buta dengan perundang-undangan yang banyak sekali itu mempertanyakan sejak kapan kita harus punya izin usaha bus sekolah. Ternyata ada Perda-nya. Ya sudah saya mengalah. Maka saya ditilang. Untuk membantu program pemerintah (padahal sebenarnya karena saya kesal) saya sampaikan ke petugas yang menilang saya. Bahwa kalau memang mau menegakkan perturan, polantas tidak perlu berpanas-panas di jalan raya. Cukup nongkrong aja di depan sekolah. Pasti puluhan mobil tertangkap. Sekalian bisa memberi pencerahan kepada para sopir, bahwa usaha antar jemput anak sekolah harus berizin. Saya menyebutkan 3-4 sekolah di Cikarang yang banyak menggunakan jasa antar jemput untuk murid-muridnya. Tapi sang petugas hanya tersenyum kecut. Entah apa artinya hanya dia dan Allah yang tahu.

Ketika mendatangi persidangan pada tempat yang disebutkan dalam surat tilang, sopir saya di arahkan ke kantor polisi tertentu. Ternyata STNK mobil saya ada di sana. Untuk menebusnya tidak perlu sidang. Cukup sopir saya menyerahkan uang 80 ribu dan STNK pun sudah berpindah tangan! Ketika dilapori hal ini sore harinya, kali ini saya yang tersenyum kecut!

Lho, apa gunanya surat tilang. Apa gunanya saya patuh tidak memberikan uang damai, kalai ujung-ujungnya uang saya toh tidak masuk ke kas negara. Tapi jadi bancaan kantong petugas!

Suatu Sabtu saya naik motor dari Cikarang ke Cibitung. Di perjalanan ada razia surat-surat kendaraan dan SIM. Merasa surat saya lengkap saya berhenti dengan santai. Ketika saya membuka dompet saya, ternyata saya hanya menemukan SIM C saya. STNK-nya tidak saya temukan, meskipun saya sudah teliti membuka lembar-lembar struk ATM dari dompet saya. Saya teringat, bahwa STNK tertinggal di salah satu kantong baju saya yang saya pakai beberapa hari yang lalu. Kejadiannya ketika parkir motor di suatu pertokoan, saya harus menunjukkan STNK kepada petugas ketika meninggalkan tempat parkir. Setelah itu saya tidak mengembalikannya ke dompet saya, tapi ke kantong baju. Karena tidak disiplin menempatkan sesuatu pada tempatnya maka sekarang saya menerima akibatnya. Saya ditilang karena tidak bisa menunjukkan STNK.

Kata Polisi seharusnya kalau tidak punya STNK, yang ditahan adalah motornya tapi Pak Polisi dengan kebijaksanaannya cukup menahan SIM C saya, meskipun saya sebenarnya merelakan motor saya ditahan. Setelah itu Polisi mengeluarkan kebijaksanaan lagi, bahwa kalau keberatan ikut sidang bisa menitipkan uang Rp 75.000,- kepadanya. Karena pengalaman terdahulu, saya memilih titip uang saja. Toh sama-sama ujung-ujungnya uang tilang masuk kantong petugas. Tapi karena saya masih harus meneruskan perjalanan, saya minta tanda bukti bahwa saya sudah ditilang. Kalau tanpa tanda bukti, saya khawatir di depan ada tilang lagi, saya jadi tekor kor. Apa jawaban Pak Polisi? ”kalau gitu, Bapak sidang aja, deh.” Wow, ngambek ni yee.... Karena curiga, ujung-ujungnya uang saya ditilep juga, maka saya minta diberi kemudahan. Karena menggunakan bahasa Jawa, maka akhirnya saya diarahkan untuk menebus SIM saya di Polres Kabupaten Bekasi yang ada di Cikarang, dekat rumah saya.
Pada hari H saya ambil SIM saya. Setelah membuka data base yang berisi besarnya denda setiap kesalahan, ternyata benar saya harus bayar Rp. 75.000,- Saya coba menawar. Akhirnya petugas memberikan diskon Rp. 5.000,-. Jangan tanya kuitansi, karena sudah saya tanyakan, dan ternyata tidak ada. Oh kasihan negeriku, banyak enterpreneur di kantor pemerintahnya.

Tidak ada komentar: